Opini

Politik Bumbu Hoax

×

Politik Bumbu Hoax

Sebarkan artikel ini

Oleh: Grace Seska Essing
Mahasiswa Universitas Pasifik Pulau Morotai

URGENT! Indonesia saat ini tengah digoncang angin besar. Satu lagi masalah muncul menambah sesak daftar pekerjaan pemerintah. Masalah kali ini bukan soal fluktuasi nilai tukar rupiah yang belum sembuh dari angka kritis.
Masalah kali ini bahkan lebih berbahaya dan merugikan daripada persoalan para koruptor maupun bencana alam serta kalkulasi kerugiannya. Melainkan saat ini kita tengah dihadapkan dengan hoax. mengapa saya menyebutnya angin besar? Sebab kekuatannya yang besar cukup mampu meluluhlantahkan persatuan dan kesatuan bangsa kita.
Lantas apa makna dari hoax itu sendiri ? Dalam Bahasa Inggris Hoax berarti berita bohong. sejarah penggunaan kata hoax bermula dari pernyataan seorang filsuf asal inggris Robet Nares yang berpendapat bahwa Hoax berasal dari kata “Hocus” yang berarti menipu. Hocus sendiri merupakan mantra sulap yang merupakan kependekan dari “Hocus Pokus”.
Teori lain mengatakan istilah Hoax pertama kali muncul dikalangan netter Amerika,mengambil nama dari sebuah judul film produksi tahun 2006 yang berjudul “The Hoax” film drama Amerika ini dianggap telah melakukan banyak kebohongan dan oleh karena itulah setiap kali muncul berita palsu, para netter beramai-ramai menyebutnya sebagai Hoax.
Hoax juga masuk dalam KBBI yang memiliki arti serupa namun disebut hoaks yang artinya berita bohong dan atau berita tidak bersumber. Dapat disimpulkan hoax merupakan sebuah tindakan manipulatif atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada namun dibuat-buat hingga menjadi benar adanya yang dibawa dari satu orang kemudian disebarkan kepada yang lainnya dengan tujuan tidak lain adalah untuk mempengaruhi orang.
Hoax sebenarnya hanyalah persoalan bohong-berbohong yang tadinya dianggap dosa kecil yang nampak sepele namun tanpa sadar efeknya mampu menimbulkan efek domino (satu kena maka semua juga kena) NKRI menjadi taruhan jika para pemainnya amatiran. Disitulah urgensinya!
Belakangan hoax menjadi topik yang hangat diperbincangkan karena ditengarai bersumber dari kaum elit politik, kaum yang cukup berpengaruh dimata publik namun dapat diperkirakan kredibilitas mereka akan menurun akibat kemunculan Hoax tersebut.
Seperti diketahui ketika menyambut tahun politik atmosfirnya akan berubah memanas diikuti dengan sentimen publik yang serta-merta meningkat demi mempertahankan kandidatnya masing-masing yang dianggap pejuang rakyat. Hal tersebut memang biasa terjadi dalam kontestasi politik yang sekiranya dianggap sebagai bumbu stimulus untuk menarik perhatian masyarakat. Namun miris situasi yang terjadi hari ini adalah politik yang dibumbuhi dengan hoax.
Sadarkah bahwa efeknya tidak main-main, kita bisa saksikan satu kebohongan kecil saja dilempar ke publik sudah cukup memantik kericuhan berkepanjangan. Dalam waktu yang singkat publik sudah heboh sana-sini. Headlinenya berhamburan diberbagai media membahas apa sebenarnya motif si pelaku? Aparat lebih sibuk lagi mencari tahu siapa dalang dari semua kekacauan tersebut. Beritanya bahkan masih terus ditayangkan hingga saat ini dengan rentetan kasus hoax yang terus bergulir dari satu topik ketopik yang lain. Kasus sebelumnya bahkan belum selesai sampai sekarang barangkali diam-diam menunggu deal-dealan dari para elite yang berkepentingan.
Bagai jamur ditengah musim hujan, hoax begitu cepat menyebar ketika keinginan untuk menjadi yang “lebih tahu” dilakukan tanpa proses klarifikasi. Sebagai orang yang tidak ingin disebut ketinggalan, kita pun ikut-ikutan mendongkrak rating demi mempertahankan trending padahal sudah ketahuan kalau sebenarnya semua telah disetting.
Fatalnya, saat kita disuguhi suatu informasi kita cepat sekali menelan informasi itu mentah-mentah tanpa menyelediki sumber serta keakuratannya. Kita gegabah dalam membuat satu simpulan dan abai akan fakta lain yang seharusnya perlu untuk ditelisik lebih dalam lagi. Akibatnya kita dengan mudah terseret pada narasi-narasi yang sebenarnya sengaja dibangun. Percaya atau tidak bahwa masalah ini dapat membawa buntut yang panjang.
Persoalan hoax bukan hanya cerita tentang untung-rugi siapa yang berbohong serta siapa yang dibohongi tetapi hoax juga menyebabkan berbagai opini yang berbenturan membuat masyarakat dapat terjebak dalam sebuah pertikaian besar sehingga emergencinya adalah dimana arogansi mampu memutus silaturahmi. Mengingat Indonesia adalah bangsa majemuk yang masih berupaya merawat keberagaman, jelaslah bahwa perpecahan adalah hal yang sangat ditakutkan.
Dalam dunia politik, hoax bisa saja dianggap fair dalam permainan antar lawan politik tetapi imbas dimainkannya trik-trik hoax tanpa disadari justru akan berimplikasi pada masyarakat yang sama sekali tidak tahu-menahu soal skenario tersebut. Masyarakat ibarat penonton yang hanya melihat sekilas dari luar tanpa terlibat secara langsung dengan para aktor. mereka hanya menangkap apa yang kelihatan tetapi tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dibelakang layar.
Hal ini tentu saja akan mengaburkan penilaian masyarakat. Seharusnya kesadaran untuk membangun Trust terhadap masyarakat lebih diutamakan demi meyakinkan masyarakat bahwa visi dan misi yang mereka pamerkan bukan jualan semata. Sebab betapa tidak jika Hoax akhirnya dijadikan amunisi paling strategis bagi para kompetitor maka kita pantas menyebut model politik kita bak panggung dagelan yang hanya menampilkan drama para elite.
Masyarakat jelas akan merasa dibodohi karena menyaksikan tontonan politik yang penuh dengan intrik. Padahal yang kita harapkan panggung politik hari ini dimanfaatkan sebaik-sebaiknya sebagai sarana edukasi yang dapat mencerdaskan masyarakat. Masyarakat butuh pencerahan bahwa politik itu merupakan sesuatu yang penting dan wajib diketahui bagi semua lapisan masyarakat terutama bagi kalangan anak muda yang apatis terhadap politik namun lagi-lagi dengan munculnya skenario politik yang penuh dengan kebohongan jelas sudah merendahkan nalar berpikir bahkan menjatuhkan martabat demokrasi bangsa kita.
Melihat masalah hoax yang berbelit-belit bagai benang kusut yang sulit diuraikan, penulis kemudian berasumsi bahwa kita bukan hanya telah mengalami dis-informasi yakni suatu penyampaian informasi yang salah dengan faktor disengaja untuk membingungkan orang lain. Namun juga kita mesti akui bersama bahwa bangsa kita memang krisis dalam hal membaca sehingga tidak heran kalau kita dapat dengan mudah terkecoh pada sebuah informasi yang kita terima karena pada dasarnya kita malas untuk membaca dan menggali sebuah informasi lebih dalam lagi.
Lantas siapa yang mesti disalahkan atas kegaduhan akibat hoax ini? Apakah para elit politik yang dalam hal ini berlaku sebagai produsen mengemas informasi bodong? Apakah media yang dalam hal ini juga turut mendapat keuntungan sebagai distributor informasi? Ataukah kita sendiri yang terlalu “polos” bersedia menjadi konsumen menerima informasi tersebut tanpa tawar-menawar? Silahkan mengambil kesimpulan sendiri.
Kenyataannya, kita hidup di zaman yang serba praktis, semuanya dapat terjadi dalam waktu hanya sepersekian detik. Apalagi penggunaan media social yang tidak terkontrol dan telah melewati batas-batas privasi mengakibatkan berbagai informasi dapat beredar dan hampir tidak bisa dibendung lagi sehingga mudah saja bagi kita terseret pada berita yang menyesatkan. Maka dari itu sangat penting jika kita berhenti sejenak untuk melihat lagi dan memahami informasi apa yang disodorkan didepan kita.
Cerdaslah dalam menyaring berbagai informasi yang kita lihat dan dengar baik itu melalui media massa, media sosial maupun yang disampaikan secara langsung dari orang-perorang. Jangan sekali-kali percaya dengan isu-isu viral yang akhirnya justru malah membodohi kita. Ada baiknya jika kita cukup mempercayai informasi yang sudah jelas sumbernya serta didukung dengan fakta dan data yang valid.
Akan lebih berbahaya jika kita menerima suatu informasi bahkan juga ikut-ikutan menyebarkannya jika kita sendiri tidak mengetahui secara pasti kebenarannya karena hal tersebut bukan hanya berujung pada kekacauan ditengah masyarakat tetapi juga akan merugikan diri kita sendiri. Pasal 28 ayat 1 UU ITE dengan tegas menjelaskan setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan,terancam bisa terkena pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda maksimal 1 miliar.
Sangat disayangkan bukan saat pemerintah sedang berupaya menekan sensitifitas isu-isu SARA yang sebelumnya sempat marak terjadi namun kita justru sibuk menggembar-gemborkan isu-isu plastikan yakni hoax itu sendiri. Padahal bukankah tanggung jawab menjaga keutuhan bangsa adalah kewajiban kita semua? Maka mari sudahi saja.
Kegaduhan ini hanya menguras energi kita. Energi kebersamaan yang baru kita peroleh ketika menjadi tuan rumah Asian Games kemarin. Euphoria kemenangan masih sangat terasa, seluruh elemen masyarakat bersatu, berbangga bersama dan berpelukan merayakan keberhasilan. Namun munculnya Hoax yang ikut melahirkan opini-opini menyesatkan justru meluruhkan semuanya, merenggangkan persatuan yang tadinya begitu erat. lagi-lagi Kebhinekaan kita dipertanyakan? Apa benar kita menghargai keberagaman ? jika hanya karena beragam opini justru membuat kita terpecah-belah.
Kita semua tahu bahwa bagi para elite yang mencita-citai kekuasaan, publik merupakan pasar politik yang menjanjikan peluang. Setiap lapisan masyarakat juga diwajibkan untuk berpartisipasi mengambil bagian dalam kontestasi politik sebagaimana aturan konstitusi bangsa kita. Dalam hal ini kita ada pada siklus sama-sama bertanggung jawab akan keberlangsungan negara kita. Namun tentu saja kita tidak mau ikut-ikutan terseret dalam pasar politik yang gaduh dengan Hoax. kita bosan dengan tontonan yang itu-itu saja.
Masyarakat butuh gebrakan yang baru, dimana ada program-program terbarukan yang dapat ditawarkan sebagai solusi atas masalah yang belum dapat dientaskan pada pemerintahan sebelumnya. Bukannya drama para elite politik yang hanya sibuk mencari panggung demi mendompleng popularitas. Logika sederhana adalah jika permainan hoax dianggap menguntungkan bagi para elite politik lalu masyarakat dapat apa ?
Tahun ke tahun cara berpolitik kita seharusnya lebih berkembang kearah yang lebih maju namun faktanya model politik kita masih bertandang pada hal-hal procedural yang sama sekali tidak esensial. semestinya kontestasi politik dimanfaatkan sebagai ajang beradu mutu dan prestasi oleh para kandidat yang diwakilkan. Kita juga ingin melihat tampilan etika dan moral mereka layaknya seorang pemimpin sehingga melalui cerminan para kandidat tersebut maka masyarakat dengan sendirinya akan ikut teredukasi tentang bagaimana model berpolitik yang ideal serta patuh pada konstitusi dan nilai-nilai demokrasi. Masyarakat tentu mengharapkan pesta demokrasi yang diadakan hanya 5 tahun sekali ini dapat berjalan lancar, terbuka dan bermartabat. Kita sama sekali tidak ingin perhelatan akbar ini malah dikacaukan dengan persoalan Hoax dan isu-isu sampah yang akhirnya malah memecah belah . NKRI jelas terlalu berharga bila ditukar dengan hal remeh-temeh semacam itu.
Kemudian yang masih menjadi masalah adalah praksis ideologi kita juga masih sangat lemah dalam hal perpolitikan. Meskipun setiap masyarakat berhak ikut bermain diruang politik seperti menyumbangkan hak suara misalnya tetapi tidak semua dari mereka yang paham/melek politik. Masyarakat tidak memiliki cukup keahlian dalam menilai kualitas jualan politik dipasar politik para elite. Sehingga mungkin saja kita akan terus terjebak pada pola permainan para elit politik.
Fenomena “politik bumbu hoax” yang terjadi hari ini kemudian memaksa kita untuk segera mengambil langkah konkrit. Setidaknya untuk terlebih dahulu mencegah bibit-bibit hoax yang mungkin dapat memprovokasi massa bahkan juga menimbulkan dampak yang lebih ekstrem yakni disintegrasi bangsa. penulis berasumsi bahwa Pendidikan politik tetaplah menjadi pilihan wajib yang harus terus diberlakukan kepada masyarakat.
Berangkat dari kasus-kasus hoax serta kejadian dis-informasi yang banyak kali mengecohkan masyarakat maka pendidikan politik dipandang penting untuk diterapkan. Lantas dengan cara apa? Dalam hal inilah peran akademisi, aktivis, bahkan tokoh-tokoh masyarakat yang berintegritas sangatlah dibutuhkan dalam rangka menciptakan ruang komunikasi atau semacam dialog publik guna mensosialisasikan pendidikan politik yang dimaksud.
Kehadiran mereka tidak lain adalah untuk memberikan informasi yang valid kepada masyarakat sekaligus memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi serta memaknai sebuah kontestasi politik. Pendidikan politik tersebut bukan hanya sebuah wejangan atau pengantar sebelum memasuki kontestasi politik tetapi lebih kepada media pembelajaran sekaligus evaluasi tentang siklus politik yang selama ini berjalan.
Hal ini diyakini mampu menuntun paradigma yang tidak menyesatkan masyarakat sehingga nantinya masyarakat diharapkan bisa menilai sebuah informasi yang berkaitan dengan politik dengan berdasarkan pada perspektif masing-masing tanpa harus mengikuti mainstream yang telah dicampuradukan dengan berbagai kepentingan.
Penulis meyakini bahwa opini bisa saja bermacam-macam dan itu menarik tetapi berbahaya jika opini yang ada hanya mengikuti pola yang sengaja dikonstruksikan. Maka wajib bagi kita untuk menelaah lebih jauh seperti apa sebenarnya dinamika politik yang sedang terjadi hari ini sehingga dengan didasarkan pada muatan informasi yang ada mengenai situasi politik tersebut kita tidak akan mudah hanyut kedalam pusaran arus Hoax.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *