Opini

Ada Ancaman Terhadap Mangrove

×

Ada Ancaman Terhadap Mangrove

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi: Hutan Mangrove (Foto : net)
Defrit Luma

Oleh: Defrit Luma dan Junior Sakalaty
Mahasiswa Program Studi Kehutanan, Universitas Halmahera

 

SECARA etimologi Mangrove berasal dari kata mangue (bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar. Hutan Mangrove sebagai hutan yang mampu tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang-surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis tumbuhan seperti Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, dan sebagainya.

Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia serta memiliki biodiversitas yang paling tinggi. Dari panjang garis pantai sebesar 95,181 km2 dan luasan hutan mangrove sebesar 3.489.140,68 ha, diperkirakan luasan setara dengan 23 % ekosistem Mangrove dunia.

Peran mangrove yang kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari diantaranya memberikan berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan serat, pengendalian sedimen dan bahkan menjadi perlindungan pantai dari erosi serta badai atau tsunami. Tipe perakaran dari jenis Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp dapat meredam hantaman gelombang dan sekaligus berperan sebagai pengikat lumpur yang dibawa oleh aliran sungai. Hutan mangrove juga dapat berperan dalam mencegah terjadinya intrusi air laut.

Menelaah pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan sehingga upaya konservasi menjadi suatu keharusan. Informasi tentang ancaman yang dapat menyebabkan kerusakan mangrove penting untuk diketahui sebagai data dasar dalam kajian konservasi yang terpadu. Kerusakan mangrove dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan salah satunya yaitu  pencemaran lingkungan.

Pencemaran lingkungan dapat berupa pencemaran minyak dan logam berat. Pencemaran yang berasal dari tumpahan minyak akan membentuk lapisan minyak dipermukaan perairan maupun pada lantai hutan (substrat) mangrove serta gumpalan belangkin (teer). Karena tumbuhan mangrove mempunyai perakaran yang khas (misalnya jenis Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp.) yang berperan untuk menangkap segala material yang berasal dari laut maupun daratan, maka tumpahan minyak (polutan hydrocarbon) tersebut akhirnya juga akan terperangkap di areal hutan mangrove.

Jika konsentrasi polutan sudah melebihi ambang batas lingkungan, maka polutan hidrokarbon tersebut akan menyebabkan musnahnya sumberdaya mangrove. Limbah minyak juga akan menyebabkan kematian terhadap biota yang hidup pada perakaran mangrove maupun pada substratnya.

Kontaminasi logam berat seperti kadmium (Cd), air raksa (Hg) dan timbal (Pb) pada mangrove dapat disebabkan oleh buangan limbah pabrik pengolah logam berat, perusahan verkrom, perusahan vernikel dan kegiatan industri lainnya.

Dalam Jurnal Biologi Tropis tahun 2018 dilaporkan bahwa tumbuhan mangrove memiliki kemampuan hiperakumulator logam berat. Artinya mangrove memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyimpan logam berat dalam jaringan tubuh seperti daun, batang dan akar yang terbawa di dalam sedimen, sebagian sumber hara tersebut dibutuhkan untuk melakukan proses-proses metabolisme. Namun, akumulasi logam berat dalam air dan sedimen dapat mempengaruhi biota lain di sekitar mangrove misalnya udang, kerang dan ikan.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat disekitar hutan mangrove dan semaraknya pembangunan yang memanfaatkan areal hutan, mengakibatkan terjadinya perubahan dan perambahan hutan mangrove bahkan ada kemungkinan hilangnya ekosistem tersebut.

Di samping itu, tidak jarang bahwa kegiatan manusia untuk memanfaatkan lahan mangrove dimotivasi oleh pola pemikiran yang cenderung pada kebutuhan ekonomi secara signifikan. Oleh sebab itu untuk menjawab setiap kebutuhan dari masyarakat yang ada disekitar hutan mangrove salah satu alternatif yang dilakukan adalah untuk mengonversi lahan tersebut.

Sejumlah kegiatan masyarakat pantai yang mengkonversi hutan mangrove adalah untuk lahan pemukiman, pertanian atau perkebunan, pertambakan udang atau ikan, pembuatan garam, pertambangan dan kegiatan lainnya. Namun dengan terbatasnya lahan untuk pemukiman khususnya di wilayah yang berpenduduk padat, maka masyarakat cenderung untuk melirik kawasan  mangrove dan kemudian terpaksa digunakan untuk mendirikan rumah.

Di sisi lain ada kegiatan penambangan di pesisir khususnya daerah hutan mangrove. Kegitan penambangan disekitar hutan mangrove adalah pengilangan hasil tambang. Resikonya adalah hutan mangrove akan tercemar karena limbah dan proses untuk memperoleh hasil penambangan.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah pencucian, pemisahan kimiawi dan penapisan, limbah dari kegiatan ini dibuang langsung ke daerah hutan mangrove tentunya akan berdampak pada ekosistem hutan mangrove dan biota-biota yang ada di dalamnya. Adapula kegiatan lain yang dilakukan disekitar hutan mangrove adalah pertambakan dan pertanian, areal ini dibuka untuk penampungan air laut untuk dijadikan kristalisasi garam dapur.

Kegiatan ini tentu akan berdampak buruk bagi areal hutan mangrove karena daerah tersebut akan terjadi peningkatan kadar garam dan kandungan pirit (FeS2) yang tinggi, kondisi yang anaerob dan akibatnya lahan ini tidak cocok untuk pertanian maupun pertambakan. Lahan mangrove yang dibuka untuk kegiatan tersebut akan menyebabkan proses oksidasi mengeluarkan asam sulfat (H2SO4) yang tinggi, sehingga tanah menjadi sangat asam dan mengandung banyak garam terlarut.

Reklamasi pada kawasan hutan mangrove akan mengakibatkan kerusakan fisik seperti erosi dan abrasi, hilangnya habitat dari biota-biota yang bernaung dikawasan hutan mangrove dan tentunya akan berdampak pula pada kawasan hutan mangrove itu sendiri.

Melihat ancaman-ancaman dapat terjadi di kawasan hutan mangrove, maka pelesatarian mengenai hutan mangrove yang memperhatikan aspek korservasi lingkungan harus dikedepankan dan disosialisasikan oleh pemerintah, penentu kebijakan dan masyarakat sehingga dapat menyatukan persepsi yang sama dalam melihat permasalahan yang terjadi bagi kelestarian kawasan hutan mangrove.

Berbagai pihak harus memiliki komitmen yang tinggi dan tetap konsisten dalam penegakkan hukum yang berlaku seperti pelaksanaan undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil. Tanpa penegakkan hukum yang tegas, maka sangat sulit untuk dihindari tentang ancaman-ancaman yang terjadi dalam kawasan hutan mangrove dan semua akan menerima dampak negatif dari setiap persoalan tersebut.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *