Editorial

Kredibilitas KPPS

×

Kredibilitas KPPS

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi: Foto Net

BADAN Pengawas Penilu (Bawaslu) sudah mengumumkan delapan modus yang kemungkinan bisa saja terjadi di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Modus-modus ini lebih diarahkan pada calon anggota legislatif (caleg).

Modus-modus ini sebenarnya bukan model baru. Ini sudah sering disampaikan saat menghadapi pemilihan legislatif. Namun, ini menjadi penting untuk mendapat perhatian serius karena saat ini semua masyarakat sedang terkonsentrasi pada pemilihan presiden (Pilpres). Akhirnya, Pileg dilupakan. Belum lagi, banyaknya caleg dalam surat suara memberikan kesulitan tersendiri dalam mengawasi suara masing-masing caleg.

Kemudian, dari waktu pungut hitung yang sudah dilakukan simulasi, memang rawan. Paling cepat proses pungut hitung berakhir pada Pukul 02.00 dini hari. Di waktu itu, tidak ada lagi yang mengawasi. Lembaga pengawas yang sudah mendaftarkan diri ke KPU, toh sebagian besar hanya lembaga survei. Setelah dapatkan datanya, selesailah pengawasan.

Mengharapkan masyarakat, sangat tidak mungkin. Punya aktivitas masing-masing, sehingga tidak bisa melakukan pengawasan dari pungut hitung, kemudian rekapitulasi di kecamatan hingga tingkat kabupatebn/kota dan provinsi.

Dari delapan modus itu, paling memungkinkan dilakukan adalah pengalihan suara. Seperti perolehan suara caleg satu ke caleg lain dalam daerah pemilihan (dapil) dan parpol yang sama. Saksi parpol bisa saja meminta persetujuan KPPS dan PPK, berdalih bahwa pengalihan suara merupakan urusan internal partai politik.

Menjaga jangan sampai ini terjadi, tentunya yang memiliki peran besar adalah penyelenggara itu sendiri. Terutama di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Kecamatan (PPK). Anggota KPPS harus betul-betul memahami aturan, jeli melihat segala bentuk modus kecurangan, dan berani mengambil sikap tegas jika itu bentuk kecurangan. Ini sudah diingatkan KPU RI. Jangan sampai KPPS terindikasi partai politik atau mendukung salah satu pasangan capres maupun caleg.

Masalahnya, sebagai ujung tombak KPPS dan PPK kurang mendapat perharian serius. Pertama soal honorarium yang terbilang kecil. Kemudian, syarat menjadi anggota KPPS dan PPK yang tidak merujuk pada kompetensi. Selain itu, mereka juga tidak mendapat pelatihan yang cukup.

Dengan keterbatasan ekonomi, ditambah minimnya honorarium, ini bisa menjadi celah memperbesar kemungkinan terjadinya kecurangan sebagaimana yang dikhawatirkan Bawaslu. Hal ini diperparah dengan minim pengetahuan terkait kepemiluan karena tidak mendapatkan pelatihan yang cukup.

Semoga saja ini tidak menjadi kenyataan. Karena itu, peran serta masyarakat dan kredibilitas penyelenggara sangat menentukan pemilu yang akan berlangsung pada 17 April nanti, didasarkan pada kejujuranb atau tidak.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Editorial

SEBELUM negara ini mengubah kebijakan kepemiluan dari dipilih parlemen…