Editorial

Selamatkan Desa

×

Selamatkan Desa

Sebarkan artikel ini

SEBELUM negara ini mengubah kebijakan kepemiluan dari dipilih parlemen menjadi pemilihan langsung, faktanya desa lebih dulu menerapkan pemilihan langsung oleh masyarakat. Namun, saat itu belum banyak yang tertarik untuk menjadi pemimpin di desa.

Pasca adanya kebijakan dana desa yang mulai dikucurkan tahun 2015, kemudian berlomba-lomba orang ‘kembali’ ke desa. Tergiur dengan aliran dana yang cukup besar, sehingga orang-orang kembali menunjukkan kepeduliannya untuk desa.

Niatnya bagus untuk kesejahteraan dan kemandirian masyarakat di desa. Namun, harapan tidak sesuai dengan harapan. Desa justru menjadi menjadi ladang baru untuk mengais pendapatan. Tren korupsi meningkat. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut desa menjadi sumber korupsi baru di daerah.

Pada 2016-2017, ICW merilis ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa. Dari 110 kasus itu, pelakunya rata-rata dilakukan kepala desa (Kades). Lanjut di 2018, tercatat 96 kasus korupsi. Kerugian negara yang dihasilkan pun mencapai Rp37,2 miliar.

Itu terdiri dari kasus korupsi di sektor infrastruktur anggaran desa yang mencapai 49 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp17,1 miliar, dan kasus korupsi sektor non-infrastruktur sebanyak 47 kasus dengan kerugian negara Rp20 miliar.

Khusus di Kabupaten Halmahera Utara (Halut), penyalahgunaan anggaran desa ini tidak bisa dianggap remeh. Ini akibat kurangnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa dan minimnya pengawasan menjadi penyebab kondisi ini. Wajar jika Harian Halmahera, pada edisi Senin (26/8) menjadikan Pilkades sebagai berita utama: Jangan Pilih Calon kades ‘Suka Makan’ Dana Desa.

Media tentunya punya peran untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. ‘Keberpihakan’ ini tetap mengedepankan aturan etis dan profesi yang termaktub dalam UU Pers dan kode etik jurnalistik (KEJ).

Pemilihan judul yang diambil sudah diprediksi bakal memunculkan banyak tafsiran. Salah satu yang pasti, kenapa baru calon seakan sudah diketahui suka makan dana desa. Ada beberapa pertimbangan. Pertama korupsi tidak pernah dilakukan sendiri-sendiri, korupsi hampir pasti melibatkan orang kedua, ketiga, dan seterusnya.

Banyak catatan, orang-orang yang mencalonkan diri, punya keterkaitan. Kemudian, rata-rata yang mencalonkan diri hanya berputar-putar pada nama yang sama dan pada jaringan keterkaitan, seperti kekerabatan atau dinasti. Namanya politik praktis, tujuannya melanggengkan kekuasaan.

Karena itu, menjadi saran agar dipertimbangkan seseorang yang memiliki kemampuan dalam manajemen, meski seseorang itu baru dalam kontestasi di desa. Karena yang dibutuhkan adalah orang yang serius dan punya visi jelas, mau dibawa kemana desa ke depan.

Ingat bahwa dari sekira 74 ribu desa se-Indonesia, bisa dihitung dengan jari desa-desa yang sukses mengelola dana miliaran itu. Bahkan, hanya beberapa desa yang sukses mandiri tanpa lagi ketergantungan dengan dana desa. Ya, karena desa memiliki pendapatn sendiri yang jumlahnya lebih besar dari dana bantuan pemerintah itu.

Terakhir, pengawasan. Harus diakui meski sudah ada MoU antara pemerintah dengan kepolisian dan kejaksaan, namun kerjasama itu seolah tidak membawa pengaruh. Ini artinya pengawasan masih kurang. Selain itu, penindakan yang memberikan efek jera juga kurang.

Pemerintah daerah harusnya konsisten dalam upaya perang terhadap korupsi. Artinya, pemeriksaan jangan hanya berhenti pada audit internal. Tapi, harus dilanjutkan hingga pertanggungjawaban melalui meja hijau. Biar ada efek jeranya. Mari selamatkan desa dengan memilih calon yang benar-benar kompeten.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Editorial

HARI Raya Idul Firi di Indonesia masih identik dengan…