Kolom

Mengantisipasi Resesi

×

Mengantisipasi Resesi

Sebarkan artikel ini
Rizal Taufikurrahman (Jawa Pos)

Oleh: M. Rizal Taufikurrahman
Head of Macroeconomic and Finance Indef

 

SEJAK tahun lalu, kondisi ekonomi global tidak dimungkiri mengalami perlambatan. Itu terlihat sejak arus investasi dan perdagangan global yang lesu akibat tensi perang dagang yang tak kunjung reda.

Ditambah dengan kebijakan moneter The Fed yang lebih longgar demi mendorong ruang pertumbuhan lebih tinggi.

Dari situ, kondisi perekonomian global pada triwulan II 2019 diperkirakan mengalami perlambatan. Itu tecermin dari data industri serta perdagangan di pasar global yang cenderung melemah. Nah, meski kondisi ekonomi beberapa negara mitra dagang Indonesia masih tumbuh positif, kita memerlukan antisipasi. Tidak boleh lengah dengan kondisi ekonomi global yang tidak bisa diprediksi.

Tiongkok, misalnya, yang tumbuh 6,2 persen pada kuartal II. Lebih lambat jika dibandingkan pertumbuhan 6,7 persen secara year-on-year (yoy) dan 6,4 persen secara quartal-to-quartal (qtq). Demikian juga Amerika Serikat. Pertumbuhannya kian melambat menjadi 2,3 persen pada kuartal kedua tahun ini dari 3,2 persen pada periode yang sama tahun lalu atau dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi kita pada kuartal II 2019 (yoy), berdasar data resmi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 5,05 persen. Raihan tersebut tercatat tumbuh jika dibandingkan dengan triwulan II 2018. Jika diperhatikan, pada kuartal II 2018-2019, ada penurunan laju pertumbuhan secara qtq meski hanya 0,01 persen.

Dengan kondisi seperti itu, apakah akan terjadi resesi di Indonesia? Hal itu bergantung pada beberapa indikator. Salah satunya, kondisi ekonomi di AS. Resesi atau tidak sangat bergantung juga pada kebijakan pemerintah Trump tentang trade dan currency war serta kebijakan The Fed. Juga, kondisi bunga investasi jangka panjang.

Beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini, pertama, sulitnya ekonomi dalam negeri mencapai pertumbuhan 6–7 persen. Itu, antara lain, disebabkan optimalisasi dan keseriusan dalam peningkatan industri manufaktur nasional yang belum berkembang sesuai harapan. Kedua, hilirisasi atau sektor industri manufaktur digenjot agar target 5,3 persen pertumbuhan ekonomi tercapai dengan pemenuhan pasar domestik dan perbaikan pasar ekspor. Ketiga, konsumsi dinaikkan dengan harapan menjaga pertumbuhan ekonomi serta neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (CAD) Indonesia yang masih defisit.

Karena itu, untuk mengantisipasi efek ekonomi global dan domestik yang sangat resistan terhadap perbaikan ekonomi saat ini, caranya adalah melakukan strategi antisipatif antara kebijakan fiskal dan moneter.

Dari sisi fiskal, yang seyogianya akan memperbaiki kinerja, antara lain, peningkatan penanaman modal asing sesuai dengan kebutuhan dan peningkatan produktivitas hilirisasi. Terutama industri manufaktur yang mampu mendorong supply-driven, baik domestik maupun pasar luar negeri. Kemudian, mengoptimalkan pemanfaatan infrastruktur yang dibangun baik pembangkit listrik, jalan raya bebas hambatan, maupun airport untuk mendorong perbaikan produksi agregat dan melakukan perbaikan iklim investasi domestik. Yang terakhir, memberikan berbagai insentif dan kemudahan fiskal bagi investor dalam negeri, terutama yang akan berinvestasi di industri manufaktur dalam mendongkrak sisi penawaran.

Dari sisi moneter, perlu dilakukan pengendalian terhadap nilai tukar USD terhadap rupiah. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terkendala akibat adanya tekanan nilai tukar yang berasal dari kegiatan impor. Dengan kata lain, perlu didorong perbaikan neraca pembayaran. Selain itu, terkait kenaikan harga komoditas akibat tingginya inflasi, Bank Indonesia perlu melakukan optimalisasi inflation targeting dengan stabilisasi volatilitas harga. Di antaranya, dengan meningkatkan kinerja tim pengendalian inflasi daerah (TPID), terutama pada barang-barang yang kontribusinya terhadap inflasi tinggi. Selanjutnya, BI bisa kembali menurunkan suku bunga acuan hingga efektif dan prudent. Harapannya hingga pada besaran 5 persen.

Dari uraian di atas, implikasinya adalah perlu dilakukan sinergisitas policy-mix. Yaitu, antara ekspansi fiskal dan ekspansi moneter secara sinergi dalam kurun waktu yang bersamaan. BI dan pemerintah perlu duduk bersama dan melakukan antisipasi resesi itu. Tidak hanya untuk jangka pendek, tetapi juga jangka panjang. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan dan diimplementasikan akan mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga sesuai dengan yang ditargetkan tahun ini: 5,3 persen.(*)

Sumber: https://www.jawapos.com/opini/10/09/2019/mengantisipasi-resesi/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *