Kolom

Investor Butuh Kepastian Hukum

×

Investor Butuh Kepastian Hukum

Sebarkan artikel ini
Masyta Cristallin (Foto : Jawa Pos)

Oleh: Masyita Crystallin

Kepala Ekonom DBS Indonesia

 

JIKA dibandingkan dengan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, magnitude susunan Kabinet Indonesia Maju terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG) tidak terlampau besar.

Pada 2014, total selama beberapa pekan IHSG naik 9 persen. Saat ini kenaikannya hanya 5 persen sejak awal Oktober.

Namun, bukan berarti investor asing tidak merespons dengan baik menteri kabinet pilihan Jokowi sekarang. Sebab, pergerakan IHSG umumnya mengikuti pergerakan bursa Asia yang juga lebih banyak dipengaruhi sentimen global. Di pasar bond, dampak juga ada, tetapi lebih ke pasar sekunder meski pengaruhnya kecil sekali.

Pemerintah punya target jangka panjang untuk mencapai kestabilan makroekonomi dan lepas dari low middle income country pada 2045.

Pembangunan infrastruktur sepertinya masih menjadi prioritas. Sebagian menterinya juga sama. Malah ada penambahan peran seperti Kemenko Kemaritiman dan Investasi.

Dalam hal penanaman modal, yang perlu diperhatikan adalah online single submission (OSS) yang belum maksimal diterapkan di lapangan. Belum lagi, kita juga bersaing dengan negara-negara lain dalam hal perizinan.

Untuk Kementerian Keuangan, pada periode sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani bisa membawa defisit fiskal tetap terjaga setidaknya hingga tahun lalu. Di negara-negara lain, sebut saja Filipina dan India, ketika menjelang pemilu, kebijakan fiskal selalu lebih longgar. Nah, sampai tahun lalu Indonesia bisa menjaga kondisi fiskal tetap prudent.

Ke depan, harus ada kebijakan fiskal yang kontra siklus. Sebab, kondisi perekonomian global sedang memasuki masa resesi. Bahkan, beberapa pihak mengatakan, ada kemungkinan mengarah ke krisis. Saat kondisi ekonomi kita tumbuh 5 persen pada semester I, ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi sedikit melemah pada semester II. Nah, kalau Indonesia ingin menjadi negara maju pada 2045, pada 2020 hingga 2045 rata-rata pertumbuhan ekonomi harus di atas 6 persen.

Bank Indonesia (BI) sudah melakukan easing (pelonggaran) dengan menurunkan suku bunga BI 7 days reverse repo rate (BI-7DRRR) empat kali. Termasuk, melonggarkan sejumlah kebijakan makroprudensial. Namun, karena perekonomian sedang slow, terutama dalam hal demand properti, kebijakan fiskal harus kontra siklus. Sebab, untuk meningkatkan pertumbuhan, tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan moneter.

Sebagai Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam jangka pendek perlu membantu kebijakan yang mendorong stabilitas. Dalam jangka panjang, perlu didorong potential growth.

Pengalaman beliau sebagai menteri perindustrian diharapkan bisa mendorong revitalisasi di manufaktur. Sebab, kalau mau mendorong pertumbuhan ekonomi di atas potensi 5 persen, harus ada mesin yang bisa bergerak kencang, yaitu manufacturing sector.

Selain itu, yang harus didorong adalah ekspor barang bernilai tambah tinggi dan peningkatan serapan tenaga kerja.

Peran lebih besar dibutuhkan, terutama dalam hal omnibus law. Kemarin kita kurang berhasil menarik relokasi investasi dari perang dagang karena kalah oleh Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Sebenarnya, dari sisi potensi, kita cukup bagus. Tinggal memperbaiki lagi kemudahan berinvestasi, melakukan simplifikasi regulasi, dan terus meningkatkan daya saing.

Ada beberapa variabel lain yang lebih penting untuk keputusan investasi, selain insentif pajak yang perlu ditangani seperti kemudahan berbisnis, biaya logistik yang tinggi, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Bagi investor asing dan prospek bisnis asing, posisi Indonesia di mata investor masih sangat baik. Rupiah akan cenderung stabil hingga akhir tahun dengan asumsi aliran modal dan neraca perdagangan stabil. Rupiah diprediksi tetap 14.200–14.400 per USD. Kemudian, rupiah akan sedikit terdepresiasi pada 2020 karena percepatan pembangunan infrastruktur jika dibandingkan dengan 2019.

Di luar itu, secara keseluruhan, hal penting lainnya adalah memperhatikan penegakan hukum. Investor tentu berharap isu pemberantasan korupsi menjadi hal yang diperhatikan oleh pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Dari sisi bond yield, Indonesia memang masih unggul karena merupakan one of the highest di antara negara-negara lainnya. Tetapi, untuk FDI (foreign direct investment), kondisi perpolitikan, hukum, dan keamanan tentu lebih dipertimbangkan.

Ketika di Indonesia ada protes masyarakat mengenai perlakuan terhadap KPK, di negara lain sebenarnya juga ada protes meski case-nya berbeda. Sebut saja Hongkong yang aksi protes massanya tidak kalah besar jika dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia. Bahkan, magnitude-nya ke pasar keuangan Asia juga lebih besar.

Artinya, meski Indonesia sempat mengalami gejolak, investor masih memandang Indonesia secara keseluruhan.

Secara umum, investor masih memandang kondisi politik kita stabil. Tetapi, penegakan hukum tetap perlu dilakukan oleh pemerintah. Apakah dalam bentuk perppu atau yang lainnya. Sebab, kepastian hukum dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah juga menjadi pertimbangan investor.(*)

Sumber: https://www.jawapos.com/opini/29/10/2019/investor-butuh-kepastian-hukum/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *