Kolom

Seni Membela Alam

×

Seni Membela Alam

Sebarkan artikel ini
Saras Dewi (Jawa Pos)

Oleh: Saras Dewi

Dosen Filsafat UI

 

LUKISAN berjudul Sukinah karya Dewi Candraningrum tergantung di lorong berwarna serbaputih. Sorot mata Sukinah tajam, seraya mewartakan keteguhan hatinya.

Deretan lukisan Dewi Candraningrum yang berjudul Naga Kendeng adalah bentuk luapan kesedihan, kemarahan, serta perlawanan terhadap siasat yang tengah menggerogoti pegunungan Kendeng. Dewi Candraningrum melukis wajah Sukinah dengan semen, sebagai pengingat, para petani-petani yang kehidupannya terancam oleh pabrik semen.

Tidak jauh dari rangkaian lukisan Naga Kendeng, tergantung dalam ruang segi panjang berwarna merah terang, lukisan Citra Sasmita. Lukisan yang diberikan judul Timur Merah Project II adalah suatu pengejawantahan kekuatan dari Ibu Bumi.

Diiringi tembang berbahasa Bali, lukisan itu menyeruak dengan tubuh perempuan dan lidah-lidah api. Pada sisi dinding tertulis dengan aksara raksasa, “Hutan dan gunung menyimpan musim-musim asing yang menawarkan rasa dingin yang terlampau dingin atau terik yang menjadikan semua makhluk semakin fana; semakin larut dengan usia dunia.”

Citra Sasmita menciptakan babad baru, narasi baru, bahwa Bumi yang acapkali digambarkan sebagai seorang perempuan, seorang Ibu, bukan berarti tidak berdaya. Alam sanggup menampilkan kemarahan yang dahsyat.

Karya Dea Widya yang berjudul Rumah yang Telanjang juga adalah suatu gugatan terhadap penjajahan ruang, bagaimana gagasan tentang tempat tinggal, juga kehidupan urban, semakin tercerabut dari rasa hangat, lekat dan ramah dengan lingkungan hidup.

Begitu pula dengan Prilla Tania, seorang perupa yang konsisten mengangkat isu-isu lingkungan. Melalui karyanya yang berjudul Ibu Termenung Bapak Merenung Anak Menanggung, ia menampilkan suatu eksperimentasi. Dalam eksperimen tersebut, ia mengundang para pengunjung untuk turut berkolaborasi, menggambarkan perasaannya terkait lingkungan hidup. Alih-alih menampakkan hubungan yang harmonis dengan alam, apa yang muncul adalah goresan-goresan yang vandalis, yang memperolok problem lingkungan, meremehkan kehancuran ekosistem. Kesemrawutan coretan yang terpampang, merupakan bukti satu fragmen pantulan pola pikir masyarakat yang masih menyangkal krisis iklim.

Kesangsian terhadap krisis iklim juga mencengkram politik di Indonesia. Ini nampak pada maklumat visi Indonesia Maju. Lingkungan hidup masih terabaikan, penekanan pada produktivitas, juga pertumbuhan ekonomi, bahkan imbauan untuk memangkas segala tata laksana perijinan demi kelancaran investasi. Komposisi kabinet baru pun menghadirkan kekhawatiran bagi para pemerhati lingkungan, bahwa dalam transaksi politik, alam Indonesia masih menjadi sekadar mahar, atau barang untuk mengikat pertalian elite politik.

Realitas ekonomi-politik di Indonesia memang menggunakan susunan berbahasa yang berjarak dari pelestarian lingkungan hidup. Jargon-jargon ekonomi dan politik yang dipekikkan; pembangunan, produksi, keuntungan, kemajuan, kompetisi, keunggulan, seluruhnya berbenturan dengan gagasan keberlanjutan.

Contoh ini dapat dilihat dari bagaimana industri kelapa sawit diprioritaskan, meski dengan kepungan kritik dikarenakan industri tersebut menimbulkan dampak lingkungan yang berujung dengan bencana kebakaran hutan. Karhutla yang berulang terjadi setiap tahunnya adalah nestapa bagi masyarakat.

Hegemoni bahasa politik dan ekonomi yang menihilkan hak lingkungan hidup, kini ditantang dengan bermunculannya wacana tandingan yang menggunakan seni. Seni adalah medium protes yang berupaya menempatkan alam kembali sebagai subjek. Tita Salina, seorang seniman dari Sumatra berduka melihat kampung halamannya terbakar. Instalasi yang ia ciptakan berjudul Ritual Tahunan Antroposentris merupakan suatu sindiran, bahwa keserakahan manusia akan menjadi pusara bagi dirinya sendiri.

Tita Salina menciptakan suatu instalasi kotak kaca. Kotak tersebut berwarna merah yang merepresentasikan warna langit Jambi yang seolah-olah berdarah disebabkan oleh kebakaran. Di dalam kotak kaca tersebut ia membakar gambut yang ia bawa dari kampung halamannya. Para pengunjung dapat meletakkan kepala mereka ke dalam instalasi dan menghirup asap yang begitu menyesakkan. Instalasi ini adalah suatu medium empati, suatu upaya memahami penderitaan masyarakat yang harus hidup tercekik asap.

Puisi dari Taufik Wijaya juga merupakan sanggahan terhadap normalisasi karhutla akibat bahasa ekonomi dan politik yang abai pada lingkungan hidup. Ia mengatakan; Gambut bukan hanya api//Gambut adalah air, udara dan rumah bagi semua makhluknya//Gambut merangkai sejarah bangsa ini.

Dalam konteks ini, baik sastra maupun seni rupa berfungsi lebih daripada tujuan estetisnya semata, seni adalah instrumen emotif untuk menjangkau makna alam yang semakin pudar.

Vandalisme ekologis yang dilakukan oleh manusia atas nama kemajuan tidak akan menciptakan keunggulan apa pun. Adakah keunggulan manusia di atas kebinasaan lingkungan hidup?(*)

Sumber: https://www.jawapos.com/opini/02/11/2019/seni-membela-alam/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *