Maluku Utara

4 Kumbang Spesies Baru Ditemukan di Malut

×

4 Kumbang Spesies Baru Ditemukan di Malut

Sebarkan artikel ini
Inilah tampak empat spesies baru kumbang yang ditemukan para peneliti di Malut. FOTO ISTIMEWA

HARIANHALMAHERA.COM– Hutan Maluku Utara (Malut) ternyata menyimpan banyak spesies langka yang diincar para peneliti dunia. Jika sebelumnya, nama Malut mendunia seiring ditemukannya serangga raksasa temuan yang pernah ditemukan Alfred Russel Wallace (megachile pluto), oleh peneliti dari mancanegara, terbaru pulau ini juga ditemukan empat spesies baru kumbang Chafer (Coleoptera Scarabaeidae).
Keempat spesies baru kumbang dari genus Epholcis ini ditemukan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Raden Pramesa Narakusumo bersama Michael Balke dari Zoologische Staatssammlung München, Jerman.
“Dari bukti ini terlihat kesenjangan utama spesies Epholcis di wilayah Papua karena belum pernah ada laporan sebelumnya. Kemungkinan karena pendeskripsian beberapa spesies Epholcis sebagai Maechidius masih kurang seksama, adanya kemiripan kedua kumbang tersebut dan kurangnya pengumpulan spesimen,” ujar Pramesa sebagaimana yang dikutip dari laman detik.com, Rabu (12/2).
Dia menyebutkan, keempat spesies baru itu diberi nama Epholcis Acutus, Epholcis Arcuatus, Epholcis Cakalele, dan Epholcis Obiensis. Selanjutnya satu lectotipe yaitu Maechidius moluccanus Moser, dipertelakan kembali dan dipindahkan (synonymy) ke marga Epholcis sebagai Epholcis Moluccanus (Moser).
Untuk diketahui, hingga saat ini tercatat sepuluh spesies Epholcis yang berhasil ditemukan. Enam diantaranya teridentifikasi tahun 1957 oleh Britton di New Queensland dan New South Wales, Australia. Sedangkan empat spesies baru yang ditemukan ini merupakan catatan baru di wilayah Malut yaitu, Halmahera, Obi, dan Kepulauan Ternate.
Dijelaskan, kumbang Epholcis merupakan serangga malam (nocturnal) yang memakan daun pohon Eucalyptus di Australia dan juga bunga cengkeh (Syzigium sp.). “Sedangkan di Maluku, keduanya memakan tumbuhan dari familia Myrtaceae,” jelasnya
Penamaan keempat spesies baru tersebut salah satunya didasari oleh ciri fisik seperti acutus yang memiliki arti ‘berujung tajam’ dari sudut bagian pronotum juga arcuatus yang berarti ‘berbentuk busur’ dilihat dari bentuk kaki belakang yang melengkung. Sedangkan nama jenis, lanjut Pramesa, cakalele diambil dari nama tarian tradisional Maluku dan obiensis merujuk pada Pulau Obi sebagai lokasi penemuan.
Pramesa menjelaskan, metode yang digunakan untuk identifikasi spesies baru tersebut menggunakan metode taksonomi klasik lewat pendeskripsian morfologi yang tepat dan ringkas. “Metode ini mengandalkan penelitian morfologi, penelusuran melalui publikasi lawas, dan studi banding dari satu museum ke museum lain,” ungkap Pramesa.
Selain itu, dia menuturkan metode ini berbeda dengan yang digunakan saat penemuan 110 jenis kumbang moncong Trigonopterus yang menggunakan metode Integrative Taxonomy atau Turbo Taxonomy yang mengintegrasikan metode taksonomi klasik dengan teknik genetika molekuler.
Dia mengatakan, potensi penemuan jenis-jenis kumbang baru di wilayah Indonesia masih sangat besar. Berbagai koleksi spesimen kumbang yang saat ini disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense dari berbagai hasil ekspedisi memerlukan upaya identifikasi dari para ahli dan peneliti untuk penentuan jenisnya.
“Kesempatan untuk menggeluti bidang taksonomi masih sangat terbuka lebar, khususnya bagi para peneliti muda, mahasiswa, maupun masyarakat ilmiah,” tutupnya.
Sebelumnya, identifikasi holotipe kumbang ini telah dilakukan sejak tahun 2015 dan spesimen tersebut didapat dari koleksi Museum Zoologicum Bogoriense Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI dan Naturalis Biodiversity Centre, Leiden, Belanda. (dtc/pur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *