Opini

Mencegah Wabah Virus Kemiskinan

×

Mencegah Wabah Virus Kemiskinan

Sebarkan artikel ini
Foto : MI/ADAM DWI

Oleh: Enny Sri Hartati

Pengamat Ekonomi

 

BERDASARKAN rilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang miskin pada September 2019 turun menjadi 24,79 juta orang atau secara persentase tingkat kemiskinan absolut secara nasional menjadi 9,22%, yang berarti turun dari sebelumnya 9,66% (September 2018).

Demikian juga tingkat kemiskinan relatif atau angka ketimpangan pengeluaran (gini ratio) juga turun menjadi 0,38. Hal itu diklaim sebagai keberhasilan program penanggulangan kemiskinan, seperti bantuan sosial (Bansos), Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan pangan nontunai (BPNT) yang ditujukan masyarakat miskin.

Sayangnya, prestasi pemerintah yang cukup menggembirakan tersebut seolah tak bergaung ketika tiba-tiba publik dikagetkan rilis Bank Dunia menjelang akhir Januari 2020. Dalam laporannya bertajuk Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class, Bank Dunia menyebutkan bahwa terdapat 115 juta penduduk Indonesia atau sekitar 45% yang masih masuk kategori rentan miskin, sementara penduduk yang tergolong kelas menengah baru mencapai 52 juta orang atau sekitar 20%. Artinya, hanya terdapat satu dari lima orang penduduk Indonesia yang sudah masuk kelompok kelas menengah.

Sebenarnya, tidak ada perbedaan sama sekali antara rilis BPS dan Bank Dunia tersebut. Data penurunan tingkat kemiskinan BPS berdasarkan jumlah penduduk yang pengeluarannya sudah di atas garis kemiskinan (GK), yang mana GK Nasional September 2019 sebesar Rp440.538 per bulan/kapita atau Rp2.017.664 per rumah tangga. Sementara itu, GK untuk perkotaan Rp458.380 per bulan/kapita dan GK untuk perdesaan Rp418.514 per bulan/kapita.

Angka GK tersebut sebagai dasar menghitung kemampuan memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan, komposisi GK terdiri atas 73,75% makanan dan 26,25% bukan makanan. Artinya, seseorang dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp15 ribu per hari. Sementara itu, menurut Bank Dunia, sekalipun pengeluarannya sudah di atas garis kemiskinan, mereka belum masuk pada kategori kelas menengah.

Itu karena kriteria kelas menengah ialah jika rata-rata pengeluarannya berkisar Rp1,2 juta sampai Rp6 juta per orang/bulan, sementara penduduk yang rata-rata pengeluarannya antara Rp532 ribu sampai Rp1,2 juta per orang/bulan masih mencapai 115 juta orang. Dengan demikian, kelompok ini bisa dipandang dari dua sisi, yaitu bisa dikategorikan calon penduduk kelas menengah (aspiring middle class) satu sisi, tapi juga bisa masuk kelompok rentan miskin atau calon kelompok miskin.

Masalah Krusial

Namun, dari dua rilis tersebut, terdapat dua kesamaan yang secara objektif tidak terbantahkan, yaitu Indonesia memang berhasil mengurangi penduduk miskin hingga single digit (9,22%) dari total penduduk. Sayangnya, sekalipun jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan terus berkurang, gagal mendorong penduduk calon kelas menengah menjadi naik kelas ke kelompok kelas menengah.

Terlepas dari sisi persamaan maupun perbedaan dari dua rilis terkait dengan kondisi kemiskinan di Indonesia tersebut, setidaknya terdapat lima masalah yang masih krusial. Pertama, kemampuan pengurangan kemiskinan semakin menurun dan lamban. Selama 5 tahun terakhir, September 2014 September 2019, angka kemiskinan hanya sebesar 1,74%. Sebagai perbandingan periode 2004-2009, angka kemiskinan turun jauh lebih besar, yaitu 3,19% dari 14,15% (2004) menjadi 10,96% (2009).

Padahal, sejak 2018, kemiskinan sudah berada di level single digit. Apalagi jika dibandingkan dengan besaran total alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan yang mencapai lebih dari Rp100 triliun. Ironisnya, jumlah pengurangan kemiskinan dalam kurun waktu 1 tahun jika dibandingkan dengan September 2018 hanya turun sebesar 0,88 juta orang (0,44%). Padahal, target sasaran program BPNT saja mencapai 15,5 juta rumah tangga.

Kedua, tingkat kemiskinan perdesaan masih tinggi double digit, yaitu 12,60%, sementara tingkat kemiskinan perkotaan tinggal 6,56%. Kemampuan penurunan angka kemiskinan di desa terbilang stagnan, bahkan semakin mengecil. Padahal, pada 1980, tingkat kemiskinan perdesaan mencapai 28,4% dan perkotaan 29%. Namun, pada 1990, tingkat kemiskinan desa menurun menjadi 14,3%, sedangkan perkotaan masih 16,8%. Pasca-1990 hingga 2019 tingkat kemiskinan di desa selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan kota. Alhasil, 60,23% penduduk miskin tinggal di perdesaan dan 39,77% di perkotaan.

Ketiga, masih terdapat kelompok penduduk yang masuk kategori kemiskinan kronis. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) di atas 1, yang mana perkotaan 1,02, bahkan perdesaan 2,11. Potensi semakin terjadinya kemiskinan kronis di perdesan dialami petani dan buruh tani. Memang upah buruh tani secara nominal pada Desember 2019 sebesar Rp54.723 rupiah/hari atau naik 0,13% (mtm).

Hanya secara riil upahnya sebesar Rp38.205/hari atau minus 0,14% (mtm). Salah satu faktornya ialah laju inflasi perdesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju inflasi perkotaan, sementara hasil produksi petani tidak mengalami kenaikan secara signifikan, sebagai dalih upaya stabilisasi harga pangan. Memang, sumbangan pengeluaran bahan makanan, terutama beras, terhadap kemiskinan sangat tinggi, di perdesaan 25,82% dan di perkotaan 20,35%.

Tingginya pengeluaran makanan menggambarkan sangat terbatasnya kemampuan keluarga miskin memenuhi kebutuhan dasar lainnya yang nonpangan, seperti kesehatan dan pendidikan. Kondisi ini tentu berisiko, masih tingginya jumlah anak kurang gizi, angka kematian ibu melahirkan, dan angka kematian bayi.

Keempat, kelompok terbesar penduduk Indonesia, 115 juta orang berada pada kelompok near poor. Artinya, sangat rentan atau vulnerable terhadap perubahan. Karenanya, pemerintah harus hati-hati dengan desain kebijakan terkait dengan kenaikan harga yang diatur pemerintah, terutama sekali terhadap harga energi, baik bahan bakar minyak (BBM), listrik, maupun gas.

Wacana pemerintah untuk mencabut subsidi gas 3 kg harus didahului kajian dan kalkulasi yang benar-benar matang serta komprehensif. Jangan sampai upaya penghematan dari subsidi gas, justru babak belur dihajar dampak penurunan daya beli masyrakat. Pasalnya, dampak kenaikan harga elpiji tidak hanya menyasar rumah tangga, tetapi juga pelaku usaha mikro kecil, termasuk bisnis rintisan (startup) yang masih rentan terhadap risiko usaha.

Kelima, gagal mendorong bertambahnya kelas menengah. Artinya, desain program pengentasan rakyat dari kemiskinan tidak efektif mengeluarkan orang miskin menjadi mandiri. Mestinya program PKH dikolaborasikan dengan program konkret pengembangan UMKM. Dengan demikian, mampu menghasilkan kegiatan-kegiatan produktif yang menciptakan lapangan kerja dalam jangka panjang, termasuk optimalisasi dana desa agar efektif sebagai instrumen untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan. Dana desa diprioritaskan untuk program pemberdayaan ekonomi perdesaan.

Basis ekonomi perdesaan rata-rata ialah pertanian. Dana desa dapat fokus meningkatkan nilai tambah dan produktivitas produk-produk unggulan desa (Prukades), antara lain melalui upaya stabilisasi harga komoditas pertanian di tingkat petani. Terlebih untuk melakukan pengolahan pascapanen Prukades serta memanfaatkan perbaikan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas yang memperluas pemasaran dan distribusinya.

Bisa Turun

Jika lima masalah krusial tersebut serius ditangani secara konkret, besar harapan tidak hanya terjadi penurunan angka kemiskinan. Lebih dari itu sekaligus keberhasilan pemerintah menjadikan orang yang tadinya miskin naik kelas menjadi kelas menengah. Pasalnya, saat ini konsumsi kelas menengah Indonesia menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi.

Sekalipun jumlah kelas menengah hanya 1/5, porsinya hampir setengah dari belanja seluruh rumah tangga Indonesia. Artinya, jika kelas menengah ini meningkat dari 20% menjadi 30% saja, konsumsi rumah tangga secara agregat pasti akan di atas 5,3%. Pasalnya, pertumbuhan konsumsi kelas menengah rata-rata sekitar 12% per tahun.

Untuk mendorong tumbuhnya kelas menengah utamanya ialah mendorong peningkatan produktivitas nasional melalui efisiensi dan daya saing perekonomian domestik, yaitu melalui transformasi dominasi kegiatan konsumtif menjadi lebih meningkatkan kegiatan produktif, terutama menciptakan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif untuk menarik investasi ke sektor riil.

Di samping itu, tak kalah penting juga memperkuat kualitas pendidikan dan layanan kesehatan. Pasalnya, itu prasyarat minimal untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul. Melalui layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, dengan sendirinya akan mendorong keterampilan, keahlian, kecakapan, dan profesionalisme tenaga kerja. Apalagi pemerintah telah memiliki afirmatif kebijakan melalui alokasi dana pendidikan dan kesehatan yang sifatnya mandatori masing-masing sebesar 20% dan 5% dalam APBN. Indonesia tidak perlu lagi mengandalkan tenaga kerja murah sebagai daya tarik investasi ke sektor padat karya sehingga mengurbankan kesejahteraan buruh.

Sebaliknya, jika program penanggulangan kemiskinan hanya menghasilkan angka penurunan jumlah penduduk miskin semata tanpa diikuti pergeseran kemampuan daya beli masyarakat secara memadai, niscaya akan sangat rentan terhadap berbagai gejolak perekonomian. Apalagi di tengah arus globalisasi atau keterbukaan ekonomi, kekhawatiran kerentanan masyarakat bergeser ke jurang kemiskinan tidak beda jauh seperti wabah virus korona. Karenanya, perlu kewaspadaan dan langkah antisipatif dan mitigasi risiko yang serius.

Wacana pemerintah untuk mencabut subsidi gas 3 kg harus didahului kajian dan kalkulasi yang benar-benar matang serta komprehensif. Jangan sampai upaya penghematan dari subsidi gas, justru babak belur dihajar dampak penurunan daya beli masyrakat. Pasalnya, dampak kenaikan harga elpiji tidak hanya menyasar rumah tangga, tetapi juga pelaku usaha mikro kecil.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/287395-mencegah-wabah-virus-kemiskinan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *