Opini

Ketahanan Pangan dan Gizi di Tengah Covid-19

×

Ketahanan Pangan dan Gizi di Tengah Covid-19

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ali Khomsan

Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB

 

DENGAN adanya wabah covid-19, keluhan utama masyarakat ialah bagaimana menyambung hidup sehari-hari untuk keperluan pemenuhan pangan. Bagi pekerja harian, kondisi kehidupan saat ini ibarat kiamat kecil yang membuat ekonomi keluarga hancur.

Pemerintah kini sedang sibuk untuk meluncurkan berbagai bantuan untuk keluarga-keluarga terdampak covid-19. Derap ekonomi masyarakat yang mandek di berbagai sektor telah mengakibatkan penderitaan tiada terperi. Orang miskin harus tetap mendapat garansi untuk mengakses berbagai pelayanan yang menjadi haknya, terutama akses terhadap pangan.

Covid-19 baru disadari keberadaannya di Indonesia pada awal Maret 2020. Belum ada survei sosial ekonomi untuk menghitung jumlah orang miskin baru. Data sebelumnya menyebutkan jumlah orang miskin sekitar 25 juta orang. Kini orang-orang yang dulu masuk kategori nyaris atau rentan miskin sudah berjatuhan ke kelompok miskin. Ketika industri terhenti, pemutusan hubungan kerja bagi pegawai harian sungguh tidak terelakkan.

Demikian pula pengurangan jam kerja yang tentunya berdampak pada take home pay yang dibawa pulang ke rumah sebagai penghasilan keluarga. Indonesia dan banyak negara lain merasakan bencana hebat akibat covid- 19. Rakyat dituntut kesabarannya untuk menghadapi situasi sulit saat ini. Pemerintah sedang berjuang keras untuk mengatasi problem kesehatan masyarakat, problem ekonomi, sosial, dan pangan masyarakat.

 

Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan keluarga menyangkut tiga hal penting, yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan. Aspek ketersediaan pangan tergantung pada sumber daya alam, fisik, dan manusia. Di tengah wabah covid-19, ketersediaan juga terkendala oleh terbatasnya pilihan pangan di pasaran, berkurangnya tukang sayur keliling, dan banyaknya warung penjual makanan kaki lima yang tutup.

Sementara itu, akses pangan hanya dapat terjadi apabila rumah tangga mempunyai penghasilan yang cukup. Covid-19 yang menyebabkan penghasilan masyarakat merosot drastis tentu menyebabkan gangguan akses pangan. Berbagai bantuan pemerintah semisal program pembagian sembako ataupun Program Keluarga Harapan (PKH) untuk sementara dapat menjadi penolong untuk mengatasi situasi kurang pangan yang mungkin terjadi di tingkat keluarga.

Selanjutnya, setelah akses pangan ialah konsumsi pangan yang akan sangat menentukan apakah seluruh anggota keluarga nantinya bisa mencapai derajat kesehatan yang optimal. Kondisi ketahanan pangan keluarga yang rapuh memunculkan kekhawatiran lanjutan yaitu memburuknya status gizi masyarakat.

Ketahanan gizi merupakan cerminan intake gizi dan status gizi masyarakat yang menjadi input bagi terbentuknya individu yang sehat. Banyak faktor yang menentukan ketahanan gizi. Kemiskinan yang menyebabkan sulitnya akses pangan diyakini sebagai faktor terpenting yang menghalangi terwujudnya ketahanan gizi yang maksimal.

Munculnya masalah gizi kurang, termasuk stunting yang dialami negara-negara sedang berkembang, merupakan indikasi lemahnya ketahanan gizi di kalangan penduduknya. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penderita gizi kurang (malnutrisi) masih relatif tinggi, meski ini diakui sudah lebih baik daripada dekade sebelumnya.

Kita juga masih harus mengatasi persoalan bayi BBLR (berat badan lahir rendah/ <2,5 kg). Kasus BBLR bisa terjadi ketika ibu hamil mengalami kurang pangan. Covid-19 bisa jadi menyebabkan kurangnya kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi masyarakat. Ibu hamil termasuk kelompok rawan yang bisa terdampak kurang pangan akibat covid-19 yang memorakporandakan ekonomi masyarakat.

Setelah covid-19 mereda nanti, kiranya perlu ada survei gizi untuk mencermati dampak ketidaktahanan pangan keluarga selama wabah dan output kelahiran. Indikator yang bisa dipertimbangkan ialah jumlah bayi BBLR yang lahir pascawabah covid-19.

Angka kematian bayi memiliki kaitan erat dengan status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan hal ini menjadikan dirinya rawan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai anak-anak bayi ialah diare dan infeksi saluran pernapasan.

Dalam hal angka kematian bayi ini, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Khususnya, Singapura dan Malaysia. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi sangat rendah yaitu masing-masing 3 dan 7 per 1000, sedangkan Indonesia 21 per 1000.

Prioritas Tinggi

Bertambahnya jumlah orang miskin baru (semula nyaris atau rentan miskin) di Indonesia akibat covid-19 menyebabkan ketahanan gizi mereka rapuh. Setelah wabah berlalu, kita perlu menggenjot kembali agenda pembangunan ketahanan pangan dan gizi sebagai prioritas.

Kita tidak menutup mata bahwa program-program gizi telah mengurangi angka malnutrisi, tetapi sebenarnya apa yang kita lakukan masih jauh dari harapan. Gambaran global malnutrisi menunjukkan satu di antara tiga anakanak Indonesia bertubuh pendek. Stunting atau tubuh pendek merupakan cermin kurang gizi kronis yang telah berlangsung lama. Program gizi perlu mendapatkan prioritas tinggi karena menyangkut nasib bangsa di masa depan.

Ini sejalan dengan tekad pemerintah untuk berkonsentrasi dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Pembiayaan programprogram pembangunan di bidang gizi kini memiliki nilai yang lebih siginifi kan terutama untuk program pengurangan stunting. Investasi di bidang gizi merupakan investasi berdurasi panjang.

Oleh karena itu, dampaknya mungkin baru akan muncul setelah beberapa dekade. Kalau semua pihak sudah menyadari hal ini, bangsa kita akan mampu mengatasi ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain dan memperbaiki SDM yang terpuruk. Kelestarian (sustainability) suatu program akan menjamin pemecahan masalah yang lebih baik. Kelestarian ini dapat dipertahankan apabila semua stakeholders mempunyai rasa memiliki terhadap suatu program.

Untuk program gizi, maka yang dimaksud dengan stakeholders ialah masyarakat, pemimpin informal, pemerintah yang dalam hal ini diwakili kementerian yang relevan, kalangan legislatif, LSM, dan sektor swasta. Dengan demikian, gizi akan menjadi isu yang disadari semua pihak dan pada akhirnya dapat menjadi indikator keberhasilan pembangunan.(*)

(Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/304831-ketahanan-pangan-dan-gizi-di-tengah-covid-19)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *