Opini

Pandemi Covid-19 dan Kesadaran Kolektif

×

Pandemi Covid-19 dan Kesadaran Kolektif

Sebarkan artikel ini
Direktur Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM, Satgas Covid-19 UGM Riris Andono Ahmad

Oleh: Riris Andono Ahmad

Direktur Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM, Satgas Covid-19 UGM

SUDAH 33 hari berlalu sejak kasus pertama coronavirus disease 2019 (covid-19) diumumkan pemerintah Indonesia. Sejak itu laporan tentang jumlah kasus baru meningkat secara eksponensial dari waktu ke waktu. Hingga tulisan ini dibuat Minggu (5/4), tercatat ada 2.092 kasus dengan 106 kasus baru di hari sebelumnya.

Penambahan kasus yang luar biasa, ditambah informasi jumlah kasus di berbagai negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol, kasusnya meningkat jauh melebihi apa yang terjadi di Tiongkok, semakin menambah kepanikan di benak publik. Kepanikan ini diperparah dengan berbagai berita yang cenderung bombastis di berbagai media massa maupun media sosial. Pandemi kepanikan itu jauh lebih cepat menyebar jika dibandingkan dengan pandemi penyakitnya itu sendiri.

Secara epidemiologi, covid-19 bisa sangat cepat menular karena virus SARS-Cov2 adalah virus yang sama sekali baru bagi manusia. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang punya kekebalan terhadap virus ini. Akibatnya, setiap kasus covid-19 bisa menyebabkan 2-3 kasus baru. Bandingkan dengan dengan influenza biasa yang angka reproduksinya hanya 1,5 kasus baru. Artinya, kecepatan penyebaran covid-19 dua kali lebih cepat jika dibandingkan dengan penyakit infl uenza biasa.

Hal ini kemudian diperparah dengan angka kematian akibat covid-19 yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan infl uenza. Sampai saat ini angka kematian akibat covid-19 di Indonesia mencapai 9,1%, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kematian global sebesar 5,3%. Meskipun begitu, angka kematian dan juga jumlah kasus sebenarnya masih dipertanyakan akurasinya, mengingat kemampuan diagnosis dan penemuan kasus Indonesia diprediksi baru berkisar 2%-5% dari kapasitas yang seharusnya diperlukan untuk menemukan kasus covid-19 yang terjadi.

Tanpa intervensi yang memadai, dengan angka reproduksi 2-3 kasus baru, diperkirakan 70% populasi akan terinfeksi, sebelum wabah ini akan berhenti. Angka 70% merupakan tingkat imunitas kelompok (herd immunity), yakni sebagian besar populasi sudah kebal terhadap penyakit ini. Ketika itu terjadi virus SARS-Cov2 akan kesulitan untuk mencari orang yang masih belum punya kekebalan dan akhirnya berhenti menularkan.

Menurut prediksi modelling yang dibuat tim UGM, kekebalan kelompok dapat tercapai dalam waktu 1-2 bulan dalam sebuah populasi. Populasi di sini bisa dianggap mewakili penduduk di kota besar karena populasi tersebut yang paling berisiko untuk terjadi wabah. Jadi, tanpa adanya intervensi, sebenarnya wabah covid-19 akan bisa hilang dengan sendirinya.

Akan tetapi, dengan dampak yang sangat mengerikan, menggunakan estimasi Worldometer mengenai jumlah penduduk perkotaan di Indonesia 2019, sebesar 151 juta jiwa, diperkirakan ada 105 juta penduduk akan terinfeksi. Sebanyak 20% (berdasarkan data di Wuhan) atau sebesar 21 juta orang akan memerlukan perawatan di rumah sakit dan lebih dari 500 ribu membutuhkan layanan perawatan intensif. Jumlah yang sangat besar yang tidak mampu ditampung sistem kesehatan Indonesia dan menimbulkan krisis kesehatan.

Dialami Banyak Negara

Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk meningkatkan kapasitas diagnosis, membangun fasiltas rumah sakit baru, mengalihfungsikan berbagai fasilitas untuk menangani pasien covid-19, maupun menerapkan kebijakan social distancing. Banyak kritikan yang mengatakan pemerintah sangat lamban dalam merespons krisis kesehatan ini. Beberapa kebijakan pemerintah pada awal-awal terjadinya pandemi di Indonesia dianggap tidak pas. Akan tetapi, hal ini juga dialami pemerintahan banyak negara. Hampir tidak ada negara yang siap menghadapi pandemi ini.

Kelangkaan alat diagnosis, alat pelindung diri (APD), jumlah tempat tidur, maupun fasilitas isolasi, dan perawatan intensif terjadi secara global. Business Insider pada 3 April lalu menulis, pemerintah Donald Trump ‘membajak’ pengiriman 200 ribu masker produksi perusahaan 3M yang seharusnya dikirim ke Jerman. Pemerintah Trump juga meminta bantuan kepada Tiongkok, lawan perang dagangnya, untuk membantu mengatasi pandemi di Amerika Serikat.

Dengan tingginya demand terhadap berbagai kebutuhan fasilitas medis secara global, bisa dipahami betapa sulitnya pemerintah untuk bisa memenuhi kebutuhan peningkatan kapasitas medis di seluruh tingkat fasilitas kesehatan. Secara faktual berbagai peralatan biomedis masih harus diimpor. Negara-negara penghasil saat ini sedang berlomba mengamankan stok untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan tersebut terus dicoba dipenuhi dengan melakukan berbagai intervensi, dengan mengajak sektor industri maupun pemerintah negara sahabat untuk dapat mengejar ketertinggalan tersebut.

Di sisi lain, momen pandemi menumbuhkan kesadaran banyak elemen masyarakat untuk bahumembahu mengatasi krisis ini. Budaya gotong royong sebagai salah satu nilai hidup bangsa bertumbuh kembali. Berbagai inisiatif penggalangan dana, pembuatan berbagai APD, hand sanitizer, maupun membantu ekonomi masyarakat kelas bawah yang paling terdampak bermunculan.

Potensi tersebut apabila dapat diorganisasikan dengan baik, di samping kemungkinan pemanfaatan potensi dana zakat umat yang sangat besar dapat menjadi sumber daya yang sangat strategis untuk menangani krisis ini. Tentu saja, inisiatif ini membutuhkan dukungan bagi semua pihak. Sesuatu yang saat ini agak sulit dilakukan mengingat sudah sangat terfragmentasinya masyarakat secara politik maupun ekspresi keagamaan.

Mengena Siapa Saja

Yang perlu kita sadari adalah ancaman pandemi ini menjadi ancaman bagi seluruh rakyat Indonesia. Virus SARSCov2 menyerang siapapun tanpa mengenal daerah, etnik, agama, maupun afiliasi politik. Penularan virus tersebut hanya mengikuti hukum alam penularan penyakit, yaitu 1. Apakah kita mempunyai kontak dekat dengan orang yang sudah terinfeksi, 2. Apakah kita sudah mempunyai kekebalan terhadap virus tersebut.

Oleh karena itu, banyak orang yang tertular virus ini disebabkan kegiatan yang sifatnya berkerumun secara massal, seperti seminar, beberapa kegiatan pengajian, maupun kebaktian yang diadakan di gereja. Oleh karena itu, ancaman covid-19 haruslah dipandang sebagai ancaman bagi seluruh bangsa.

Satu hal yang bisa dilakukan semua orang adalah patuh dengan kebijakan pembatasan sosial. Pembatasan sosial adalah satu-satunya intervensi yang pada saat ini dapat dilakukan untuk memutuskan rantai penularan. Melakukan pembatasan sosial secara benar dan konsisten, terbukti mampu menurunkan angka penularan secara bermakna.

Laporan dari kejadian pandemi flu Spanyol pada 1918, menunjukkan kota-kota di Amerika yang melakukan kebijakan physical distancing mempunyai kasus dan korban meninggal yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kota-kota yang tidak memberlakukan hal tersebut. Physical distancing efektif memutus rantai penularan karena virus tidak dapat berpindah tempat sendiri. Manusialah yang menyebarkan virus ketika berinteraksi dengan orang lain.

Kebijakan pembatasan sosial tentu mempunyai dampak yang tidak disukai banyak orang. Kita punya kebutuhan bersosialisasi yang sangat besar. Bekerja, belajar, berekreasi, maupun beribadah dewasa ini membutuhkan interaksi di ruang publik yang sangat besar. Melaksanakan pembatasan sosial akan menyebabkan kita kehilangan semua rutinitas yang sudah menjadi bagian dari hidup kita. Kehilangan tersebut tidak hanya dapat mengganggu secara psikologis, tetapi juga secara ekonomis. Dampak tersebut akan memengaruhi kepatuhan seseorang terhadap kebijakan physical distancing.

Salah satu risiko terhadap keberhasilan social distancing adalah meningkatnya frekuensi kegiatan keagamaan selama bulan puasa mendatang. Tradisi safari Ramadan bisa meningkatkan sirkulasi virus SARS-Cov2 di populasi. Tradisi mudik Lebaran juga akan meningkatkan risiko terjadinya penularan dan outbreak baru covid19 dari daerah zona merah seperti Kawasan Jabodetabek ke berbagai daerah nonkasus di Pulau Jawa.

Waspadai Pandemi Kedua

Tanpa adanya kesadaran individuindividu perantau untuk tidak mudik dan tetap abai melakukan pembatasan sosial, akan berakibat adanya gelombang kedua pandemi covid-19 di berbagai daerah di Jawa. Hal itu akan berlangsung tiga minggu hingga satu bulan pascamudik Lebaran. Hal ini bisa terjadi karena puncak penularan bisa terjadi pada awal minggu ketiga setelah pemudik yang terinfeksi datang ke kota tersebut. Apabila hal tersebut terjadi, Indonesia akan mengalami krisis yang lebih besar lagi jika dibandingkan dengan yang terjadi saat ini.

Tentu saja, kita tidak menginginkan hal itu terjadi. Saat ini pun Indonesia telah begitu kesulitan untuk beradaptasi dan mengelola krisis yang sedang terjadi. Kita semua dapat mempunyai peran agar wabah ini tidak bertambah buruk dan cepat teratasi. Pemerintah melalui berbagai mekanisme tengah berusaha mengejar ketertinggalan sistem kesehatan untuk dapat menemukan dan memisahkan mereka yang telah terinfeksi dari populasi yang belum terinfeksi.

Rencana skrining komunitas dan peningkatan jumlah laboratorium, rumah sakit, serta fasilitas karantina lain akan mampu mengakomodasi kebutuhan layanan kesehatan. Kemampuan tersebut juga akan meningkatkan efektivitas pemotongan rantai penularan karena mereka yang terinfeksi tidak dapat lagi menularkan melalui isolasi dan karantina.

Di sisi lain, masyarakat dapat dikoordinasikan untuk dapat membantu menggali potensi sumber daya bagi dukungan kepada petugas kesehatan, dukungan psikososial, dan ekonomi bagi keluarga terdampak, saling mendukung secara sosial untuk melakukan pembatasan fisik, serta melakukan tindakan pencegahan komunitas, seperti melakukan penyemprotan disinfektan sarana-sarana umum di komunitas.

Di samping itu, juga untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan kemasyarakatan dapat tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip tindakan pencegahan penularan di komunitas. Sinergi dan kesadaran kolektif berbagai elemen masyarakat dan pemerintah niscaya akan menjadi modal besar bagi bangsa Indonesia untuk cepat keluar dari krisis kemanusiaan ini.(*)

(Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/301509-pandemi-covid-19-dan-kesadaran-kolektif)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *