Nasional

Strategi Pemerintah Masih Dipertanyakan

×

Strategi Pemerintah Masih Dipertanyakan

Sebarkan artikel ini
Suasana Jalan Jenderal Sudirman Jakarta tampak lengang pasca mewabahnya Covid-19 FOTO: GETTY IMAGES

Sebulan Idonesia Berperang Melawan Covid-19

Sebulan telah berlalu sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dua pasien positif korona pertama di Indonesia. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda pandemi bakal berakhir. Jumlah pasien Covid-19 bahkan mendekati angka 2 ribu orang.

 

HARIANHALMAHERA.COM – Bendera perang melawan Covid-19 memang telah dikibarkan pemerintah. Kebijakan demi kebijakan dikeluarkan. Hanya, pemerintah belum berani memutuskan karantina wilayah. Meski hanya untuk wilayah Jabodetabek yang menjadi episentrum persebaran Covid-19 di Indonesia. Opsi yang dipilih adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Sesuai ketentuan, PSBB bisa berupa peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, serta pembatasan kegiatan di tempat umum. Tiga hal tersebut sebenarnya sudah dilakukan sebelum kebijakan PSBB dikeluarkan. Karena itu, banyak yang menganggap pemerintah terlambat mengambil sikap.

Pendiri Kawal Covid-19 Ainun Najib mendorong pemerintah lebih terbuka kepada rakyat. Bila memang problem yang menghalangi kebijakan karantina wilayah adalah anggaran, seharusnya disampaikan kepada publik secara terbuka. ”Kalau karena kemampuan postur fiskal APBN tidak sanggup, sampaikan saja. Rakyat akan mengapresiasi,” tuturnya Rabu (1/4).

Menurut Ainun, kebijakan PSBB sudah terlambat. ”Ini hanya memberikan hitam di atas putih (pengesahan hukum, Red) saja,” lanjutnya. Ainun tetap mendorong pemerintah untuk memutuskan karantina wilayah. Minimal untuk wilayah Jabodetabek. ”Seharusnya sekarang karantina wilayah itu se-Jawa, tapi ya minimal Jabodetabek,” tutur pria kelahiran Gresik, Jatim, tersebut.

Lewat karantina wilayah, setidaknya ada dua hal yang bisa mendapatkan ketegasan. Pertama, kejelasan bahwa kebutuhan hidup rakyat kecil ditanggung negara. Itu sangat jelas di karantina wilayah. Berbeda dengan kondisi saat ini yang serba-tidak jelas. Perekonomian rakyat kecil terdampak, tapi tidak ada jaminan penghidupan dari pemerintah.

Ketegasan berikutnya adalah orang tidak boleh pindah dari zona merah ke zona lain. Yang terjadi saat ini adalah imbauan terus-menerus. Bahkan, presiden sampai berharap ada kebijakan yang lebih tegas. Seharusnya justru presidenlah yang menegaskan itu semua. ”Kalau presiden saja sudah berharap ada kebijakan yang lebih tegas, siapa lagi yang kita harapkan untuk tegas?” cetusnya.

Meskipun demikian, Ainun dan tim Kawal Covid-19 tak lantas pesimistis dengan kondisi yang ada. Justru, saat ini dia makin optimistis. Bukan karena kebijakan pemerintah, melainkan karena kesadaran masyarakat. Sudah banyak kampung yang melakukan karantina wilayah. Juga semakin banyak yang mengenakan masker dalam kegiatan sehari-hari.

Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara yang juga mantan menteri kehakiman dan hak asasi manusia, mengatakan bahwa penetapan darurat kesehatan melalui keppres 11/2020 sudah terlambat. Meski keppres itu dibarengi PP 21/2020, Yusril mengungkapkan tidak lantas memperbaiki keadaan.

Yusril menguraikan, PP memang memberikan peluang bagi pemda untuk melaksanakan PSBB. Termasuk mengatur mobilitas orang dan barang. Namun, tetap saja hal itu sulit dilakukan. Sebab, ada batasan-batasan yang tidak dijangkau PP. Misalnya, pemda tidak bisa serta-merta meminta bantuan TNI-Polri saat memperketat pintu keluar masuk orang dan barang.

PP juga tidak memberikan kewenangan kepada aparat keamanan untuk mengawasi keluar masuknya barang maupun orang di daerah yang memberlakukan PSBB. ”Pemerintah daerah paling hanya dapat mengerahkan satpol PP yang memang berada di bawah mereka,” tegasnya.

Aparat keamanan bisa terlibat aktif saat karantina wilayah diberlakukan. Itu sesuai dengan ketentuan UU Kekarantinaan Kesehatan. ”Karantina wilayah hampir sama dengan lockdown yang dikenal di negara-negara lain seperti Malaysia dan Filipina,” ungkap Yusril. Dalam kondisi tersebut, orang tidak diizinkan keluar atau masuk. Selain itu, ada kewajiban memenuhi kebutuhan dasar masyarakat ketika pemerintah menetapkan karantina wilayah.

Menurut Yusril, mungkin saja saat ini pemerintah lebih memilih PSBB ketimbang karantina wilayah karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Apalagi, kewajiban itu menjadi tanggung jawab pusat. ”Bukan tanggung jawab pemerintah daerah,” imbuh dia.

Penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga mendapat catatan dari Ombudsman RI. Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih menyebutkan, berdasar hasil pantauan sementara, layanan kesehatan di Indonesia tidak siap menghadapi pandemi Covid-19. Ombudsman telah memantau beberapa rumah sakit rujukan. ”Tampak sekali kita tidak siap karena wabah ini meluas sangat cepat. Maka, perlu dilakukan langkah-langkah mempercepat pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana, termasuk penyediaan tenaga medis,” jelas Alamsyah di kantor ombudsman kemarin.

Ombudsman menilai, perlu ada pemenuhan kebutuhan tenaga sukarela kesehatan. Ombudsman juga mendorong pemerintah melalui Kementerian Perindustrian untuk memastikan pemutakhiran informasi soal ketersediaan dan distribusi alat-alat kesehatan yang dibutuhkan.

Alamsyah pun menyoroti rencana penerapan darurat sipil. Menurut dia, darurat sipil sebetulnya tidak diperlukan karena mekanisme hukum di Indonesia yang ada saat ini sudah cukup. ”Kami memandang aturan darurat sipil itu jauh dari konteks pengendalian sosial dan hukum dalam konteks wabah maupun bencana. UU Karantina Wilayah, KUHP, dan UU Kepolisian sudah memiliki skema-skema yang cukup efektif untuk mendukung pembatasan sosial berskala besar ini,” lanjutnya.(jpg)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *