Opini

Skenario Pilkada di Masa Kenormalan Baru

×

Skenario Pilkada di Masa Kenormalan Baru

Sebarkan artikel ini
Dok. Pribadi

Oleh: Yulhasni, Anggota KPU Sumatra Utara

 

TAHAPAN Pilkada Serentak 2020 akhirnya disepakati untuk dilanjutkan. Dalam rapat antara Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu pekan lalu, disepakati bahwa tahapan Pilkada 2020 mulai dijalankan kembali pada 15 Juni.

Pemungutan suara akan dihelat pada 9 Desember mendatang. Keseluruhan tahapan itu tetap harus disesuaikan dengan protokol kesehatan penanganan virus korona yang ketat.

Ketika Presiden Jokowi menandatangani Perppu Nomor 2 Tahun 2020 terkait Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang, maka ‘beban’ berat kini harus berada di KPU. Di sini, reputasi KPU sedang dipertaruhkan ke publik.

Sikap pemerintah sudah jelas sejak awal yakni mendukung pelaksanaan pilkada pada 9 Desember 2020 dengan tuntutan keberlangsungan proses demokrasi harus tetap berjalan. KPU, tentu saja, sudah menyiapkan skenario pergantian kekuasaan di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota tersebut.

Dalam draf PKPU, pelaksanaan pilkada telah dirancang sesuai dengan protokol kesehatan. Berbagai pihak telah memberi catatan penting pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pandemi covid-19. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) dalam rilisnya pada 23 April 2020 mengingatkan dengan hati-hati perihal keselamatan pemilih dan petugas, juga untuk mempertimbangkan kemampuan logistik dalam mencari alternatif jika melanjutkan pemilu, dan meminimalisasi risiko.

Di saat kita memasuki era kenormalan baru sebagai tanda kita mulai ‘berdamai’ dengan korona, maka pesta demokrasi lokal di sejumlah daerah akan memiliki banyak konsekuensi. Tentu saja berbagai skenario dalam menjalankan tahapan Pilkada 2020 penting disusun secara komprehensif.

Tentu, penyelenggara pilkada pada seluruh tingkatan tidak berharap menjadi korban fitnah baru jika kelak penyebaran korona memasuki fase gelombang kedua di Indonesia. Pelajaran berharga sudah dialami di Pemilu 2019 ketika sejumlah petugas KPPS wafat, maka muara kemarahan dialamatkan ke KPU.

Dalam situasi kurva atau grafik penyebaran covid-19 belum melandai, bahkan cenderung meningkat dari hari ke hari, maka pada tahapan Pilkada 2020 tidak ada landasan yuridis untuk dilakukan pemetaaan terhadap daerah zona merah, kuning, dan hijau. Artinya, KPU tidak diberi kewenangan untuk memilah-milah daerah tertentu dalam menjalankan tahapan pilkada.

Jika merujuk ke tahapan, ada 5 besar protokol yang mesti dimatangkan, yaitu mutarlih (pemutakhiran data pemilih), verifikasi dukungan paslon, rapat pleno terbuka, kampanye, dan pungut hitung. Berbagai skenario yang disusun, menurut hemat saya, tidak ada bedanya seperti permainan halang rintang. Jika tantangan pertama dapat dilalui, rintangan berikutnya harus mampu ditaklukkan agar sampai pada ujung permainan.

Mari kita mencermati berbagai skenario yang mungkin harus dikaji lebih mendalam. Todd Landman & Luca Di Gennaro Splendore dalam tulisan berjudul Pandemic Democracy: Elections and Covid-19 yang dimuat di Journal of Risk Research, 13 Mei 2020, menyebutkan bahwa periode pemilihan memiliki risiko dengan dampak tertinggi dan kemungkinan tertinggi untuk proses nominasi kandidat, kampanye, pemungutan suara, dan hasil penghitungan.

Pada tahapan mutarlih penting diketahui bahwa ada satu sistem yang selama ini menjadi dasar utama dalam keakuratan data pemilih, yakni kegiatan coklit door to door yang dipastikan bertemu langsung dengan calon pemilih. Skenario berikutnya ialah proses verifikasi syarat dukungan calon perseorangan.

Saat proses pendaftaran pasangan calon kepala daerah beberapa waktu lalu, KPU telah menerima syarat dukungan untuk 149 bakal pasangan calon (paslon) perseorangan (independen) pada Pilkada 2020. Terhadap kesemua­nya akan dilakukan verifikasi faktual syarat dukungan.

Pasal 48 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan verifikasi faktual dilakukan dengan metode sensus, dengan menemui langsung setiap pendukung calon oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS). Artinya, tidak ada perubahan pasal tersebut pada Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Pada konteks ini, giliran PPS yang mesti dibekali aspek keamanan sesuai protokol covid-19, dan dipastikan memunculkan tambahan anggaran.

Kampanye

Pada aspek kampanye pasangan calon, problem terbesar tentu saja terkait dengan pengawalan ketat para pendukung yang akan hadir. Meski sekarang lagi tren rapat Zoom meeting, untuk urusan kampanye cara seperti itu mustahil dapat dilakukan pasangan calon karena terkait faktor teknologi dan anggaran.

Langkah sederhana, misalnya dengan recorded campaign (kampanye terekam) yang diunggah di media sosial paslon atau cara-cara lain yang tidak menghadirkan massa sama sekali. Langkah yang paling ideal jika kemudian tahapan ini dilaksanakan ialah meniadakan rapat umum terbuka dan hanya penyampaian visi dan misi yang difasilitasi KPU.

Ujung dari segala proses pilkada ialah pemungutan suara di TPS. Belajar dari beberapa negara yang menyelenggarakan pemilihan lokal di masa pandemi covid-19, target partisipasi pemilih mungkin sulit tercapai. Berbagai pilihan jumlah pemilih di TPS (300, 400, dan 500 pemilih) tidak bisa menjadi jaminan antisipasi penyebaran korona.

Pada pemilihan lokal di wilayah selatan Bavaria (Jerman), sebagaimana dilansir IFES, putaran pertama digelar pada 15 Maret. Ketika itu pemilih mengenakan sarung ta­ngan dan banyak pemilih membawa pena sendiri ke tempat pemungutan suara. Seiring semakin meningkatnya wabah korona, Kanselir Jerman Angela Merkel memberlakukan ‘langkah-langkah radikal’ dengan memberlakukan sistem pemungutan suara melalui pos.

Di Korea Selatan, para pemilih yang datang ke TPS, selain diwajibkan menggunakan masker, oleh panitia juga disediakan sarung tangan untuk dipakai saat menggunakan hak pilih. Keseluruhan proses tersebut sangat bergantung pada ketersediaan anggaran di tiap-tiap daerah yang melaksanakan pilkada.

Berbagai skenario yang akan diciptakan KPU ke depan tentunya sudah membuat dua hal yang penting dalam hak asasi manusia; hak suara dan hak kesehatan. Jika kedua hal itu dapat tercapai, negara lain harus belajar ke Indonesia bagaimana menjalankan pemilihan di tengah pandemi covid-19.(*)

(Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/319183-skenario-pilkada-di-masa-kenormalan-baru)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *