Catatan Dahlan Iskan

Sakit Meninggal

×

Sakit Meninggal

Sebarkan artikel ini
Kris Suyanto (kiri).
Oleh : Dahlan Iskan

 

“SAYA tidak mengadukan beliau ke polisi,” ujar Kris Suyanto, tentang mengapa Ir Ryantori sampai menjadi terdakwa. Sampai pun meninggal dunia (Disway 12 November 2020: Pasak Pendek).

Saya kenal Kris. Sesama Surabaya. Terutama karena Kris aktif menjalankan pemasaran konstruksi sarang laba-laba yang ditemukan Ir Ryantori.

Saya juga kenal Ryantori sejak saya masih wartawan muda dulu. Apalagi Ryantori menemukan teknologi konstruksi sarang laba-laba itu bersama tokoh muda PDI-Perjuangan garis keras: Ir Soetjipto. Saya sering bersama Soetjipto di awal-awal perjuangan membela Ibu Megawati Soekarno Putri dari perlakuan Orde Baru.

“Justru saya yang diadukan ke polisi oleh Ryantori. Juga digugat di pengadilan perdata,” tambah Kris.

Kris kini sakit-sakitan. Sejak tiga tahun lalu. Hidupnya ditopang kursi roda di Jakarta.

Ryantori sendiri meninggal dunia minggu lalu. Itu setelah beberapa kali disidangkan di pengadilan negeri Sidoarjo sebagai terdakwa. Yakni dalam  perkara pemalsuan paten penemuannya sendiri.

Lalu siapa yang mengadukan Ryantori ke polisi? Ceritanya panjang. Yang tidak mungkin saya dapatkan dalam satu hari.

Itulah sebabnya naskah Disway dua hari lalu masih menimbulkan banyak pertanyaan. Saya menyadari kekurangan itu. Banyak pembaca yang menyatakan penasaran. Bahkan seorang pembaca, wanita Disway itu, sampai mengirimkan daftar panjang pertanyaan yang belum terjawab di tulisan hari itu. Dia bertindak seperti redaktur saya yang berani memarahi wartawannya: mengapa satu tulisan masih menyisakan banyak pertanyaan seperti itu.

Ya sudah. Saya pun harus menghubungi banyak pihak.

Istri dan anak-anak Ryantori saya hubungi: tidak ada yang tahu. Ryantori memang tidak pernah melibatkan istrinya soal keruwetan di perusahaan. Dua anaknya –wanita semua– juga kurang tahu. Anak yang di Amerika itu, adik Lissy, ternyata wanita. Yang sudah 10 tahun bekerja sebagai desainer perhiasan di dekat Chicago. Lissy sendiri menjadi pelatih pilates: jauh dari urusan konstruksi.

Saya juga harus menghubungi pengacara Ryantori. Untung ketemu: ternyata Dr Siti Marwiyah SH MH. Ternyata saya kenal beliau: adik perempuan Pak Mahfud MD –Menko Polhukam. Yang juga wakil rektor I Universitas Dr Sutomo (Unitomo) Surabaya. Yang S-1 dan S-2-nya di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja. Dan S-3-nya di Universitas Brawijaya Malang.

Saya juga harus menghubungi Hadi Waluyo, mantan partner Kris yang kini menjadi dirut di perusahaan Ryantori. Lalu  menghubungi Ir Puguh, lulusan ITB yang jadi direktur di perusahaan bersama Hadi Waluyo.

Tentu saya juga berkali-kali telepon Kris Suyanto yang lagi sakit itu. Ia lulusan Unesa (d/h IKIP Surabaya) untuk pendidikan teknik. Sejak dulu saya sering berkomunikasi dengan Kris.

Hasil menghubungi banyak pihak itu: saya bingung.

Urusan sederhana ini ternyata ruwet kalau sudah menyangkut proyek (baca: uang).

Lalu saya menghubungi Ir Setya Budiyanto. Ia yang mengawasi proyek Jatim Expo yang saya bangun dengan konstruksi sarang laba-laba itu. Yang sudah 15 tahun tidak terjadi masalah apa pun itu. Saya ingin ia membantu: siapa sih sebenarnya yang ”salah” di antara pertemanan itu.

Pembaca Disway telah membuat saya serasa menjadi wartawan muda lagi.

Begitu banyak yang harus saya hubungi. Begitu banyak dokumen yang harus saya baca. Hanya untuk menghasilkan satu tulisan –yang mungkin akan segera dilupakan ini.

Ir Ryantori itu memang genius. Seperti umumnya orang teknik, ia tidak begitu peduli dengan urusan marketing dan keuangan. Hidupnya begitu sederhana. Apalagi berpartner dengan Ir Soetjipto yang otaknya hanya penuh dengan Mega, Megawati, Megawati Soekarno dan Megawati Soekarnoputri.

Soetjipto, seperti yang saya tahu, pejah gesang nderek Bu Mega. Yang akhirnya ia menjadi anggota DPR dan Sekjen DPP PDI Perjuangan.

Dua orang ini mempercayakan teknologi baru sarang laba-laba kepada salah satu pegawai di perusahaan itu: Kris Suyanto. Kris dinilai jago dalam lobi, meyakinkan orang dan mau bekerja keras.

Ada dua hal yang dipercayakan pada Kris: menguruskan hak paten sarang laba-laba dan mencari proyek.

Dalam perjalanannya Ryantori dan Soetjipto memercayai Kris lebih tinggi lagi: agar Kris memegang total pemasaran konstruksi sarang laba-laba.

Kris sendiri punya perusahaan. Perusahaan milik Kris inilah yang memegang hak sarang laba-laba. Di perusahaan itu Kris punya partner bernama Hadi Waluyo.

Kepercayaan kepada Kris itu dilengkapi dengan perjanjian: setiap dapat proyek harus disisihkan anggaran 10 persen –dari nilai proyek–  untuk biaya teknologi.

Biaya teknologi itu meliputi desain, royalti, dan pengawasan.

Dari yang 10 persen itu dibagi dua: Kris masih dapat 75 persen dan Ryantori/Soetjipto dapat 25 persen.

Setelah Soetjipto meninggal bagian itu jatuh ke Jagat Hari Seno, anak sulungnya.

Saya tidak mau masuk ke apa yang terjadi dengan pembagian itu. Juga berapa banyak proyek yang didapat. Saya tidak ingin memihak salah satu.

Sekian tahun kemudian terjadilah cerita di Disway yang lalu. Ryantori bermobil menuju Malang. Sampai di Pandaan, di jalan yang menanjak itu, truk besar di depannya mogok. Tidak kuat lagi menaiki tanjakan.

Ryantori dalam bahaya. Truk itu bisa mundur mengenai mobilnya. Lalu kernet truk tersebut turun membawa balok kayu. Ia lari ke roda belakang. Ia mengganjalkan balok itu ke belakang roda. Truk tidak bisa bergerak lagi.

Melihat itu otak Ryantori berputar: bagaimana bisa, balok sekecil itu mampu menahan truk sebesar itu.

Saya juga sering melihat adegan kernet mengganjal truk dengan balok, tapi otak saya tidak pernah mempertanyakannya.

Melihat adegan itu Ryantori langsung menemukan ide: tiang pasak bisa dipakai sebagai penahan kemiringan bangunan.

Ia mengakui ada sedikit kelemahan di penemuan sarang laba-labanya itu. Yakni bangunan bisa miring. Terutama kalau pengerjaannya kurang diawasi.

Dengan tiang pasak itu sarang laba-laba menjadi sangat sempurna: aman dan murah. Ramah pula pada gempa.

Prinsip konstruksi sarang laba-laba adalah: tanpa tiang pancang.

Seluruh dasar gedung terbuat dari hamparan beton tapi berbentuk segi tiga-segi tiga kecil. Segi tiga itu terbuat dari beton yang saling berhubungan di sudut-sudutnya.

Dalam pengerjaannya ­–kalau pengawasannya kurang baik– bisa saja terjadi, sudut-sudut yang lancip itu tidak terisi adonan semen. Berarti kekuatan sudut itu berkurang.

Maka setelah melihat adegan truk yang rodanya diganjal balok kecil itu, timbul ide baru Ryantori: tiang pasak.

Yakni: di bawah jaringan laba-laba tadi diberi tiang pasak sedalam 6 meter. Bisa lebih pendek atau panjang sesuai dengan beban proyek.

Pasak itu terbuat dari dua pipa beda ukuran. Yakni pipa bergaris tengah 8 sentimeter yang di dalamnya diisi pipa bergaris tengah 6 sentimeter.

Tiap sekitar 500 m2 hamparan diberi satu tiang pasak pendek seperti itu.

Fungsi pipa yang lebih kecil di dalam pipa yang lebih besar tadi mirip fungsi balok yang mengganjal truk besar itu. Maka kalau saja bangunan baru itu berproses miring, pipa yang di dalam itu menekan dinding bagian dalam pipa yang lebih besar.

Balok pengganjal truk bisa menjadi prinsip kekuatan konstruksi.

Saya sudah tidak muda untuk menelusuri lebih lanjut: mengapa Ryantori tidak mengajak Kris lagi memasarkan teknologi terbarunya itu.

Mengapa Ryantori justru mengajak Hadi Waluyo yang selama itu dikenal sebagai partner Kris di perusahaan yang memasarkan sarang laba-laba itu.

Saya juga tidak mampu mewawancari Ryantori dari atas makamnya.

Saya juga tidak sampai hati membebani pertanyaan-pertanyaan berat untuk Kris yang lagi sakit.

Untuk konstruksi tiang pasak ini Ryantori mematenkan penemuannya itu di luar sarang laba-laba.

Apakah itu boleh?

Apakah itu tidak ”berkhianat” dengan sarang laba-laba?

Ryantori selalu berargumentasi begini: semula ada orang menemukan sedotan. Yang untuk menyedot minuman dari gelas atau botol itu. Berikutnya ada orang menemukan pembelok sedotan. Agar gelas atau botolnya tidak perlu dimiringkan. Apakah penemu belokan itu dilarang menggunakan sedotan?

Saya tidak ahli hak paten. Silakan saja siapa pun berpendapat.

Tapi pihak Kris merasa paten tiang pasak itu seharusnya menjadi satu dengan sarang laba-laba.

Dalam praktik di lapangan kian banyak proyek yang menggunakan konstruksi tiang pasak itu. Tentu digabungkan dengan sarang laba-laba.

Setiap ada proyek yang menggunakan konstruksi itu, menurut Hadi, pihak Kris selalu mengancam akan memperkarakan.

Akhirnya banyak yang takut menggunakan teknologi itu. Maka pihak Ryantori mengadu ke polisi. Kris sebagai tersangka. Perkara ini berujung pada SP3 untuk Kris.

Ryantori juga menggugat perdata. Ia percayakan gugatannya itu pada pengacara di Jakarta. Ternyata, kata Puguh, pengacara itu tidak pernah menghadiri sidang. Tanpa memberi tahu pihak Ryantori. Di perdata ini si ilmuwan kalah.

Tapi Hadi, Puguh, dan Ryantori terus memasarkan konstruksi tiang pasak itu. Ketika mendapat proyek di RSUD Sidoarjo, Jatim, Ryantori jadi tersangka. Di Mabes Polri. Sekaligus untuk beberapa proyek: Polda Riau, RSUD Gorontalo, dan RSUD Sidoarjo.

Perkara itu ditangani oleh pengadilan Sidoarjo. Sampai sebelum Ryantori meninggal sidangnya baru sampai tahap pemeriksaan saksi. Yakni dari pihak Kris. Para saksi mengakui semua itu temuan Ryantori. Tapi haknya sudah ada di perusahaan Kris.

Ryantori sendiri sempat heran mengapa hak paten itu bisa atas nama perusahaan Kris. Bukan atas nama Ryantori dan Soetjipto. Padahal, dulu itu, Ryantori-Soetjipto hanya minta kepada karyawannya yang bernama Kris untuk menguruskan hak paten.

Menurut dokumen di sidang pengadilan itu, Kris memang bukan yang mengadukan Ryantori ke polisi.

Yang mengadukan adalah Yudhi Prabhawa.

Ia adalah komisaris di perusahaan Kris itu.(dis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *