Catatan Dahlan Iskan

Kabinet Nasib

×

Kabinet Nasib

Sebarkan artikel ini
Oleh : Dahlan Iskan

 

 

ENAM menteri baru itu semuanya menarik. Trio basket kembali bersatu di kabinet. Semula, trio itu berbeda jalan –di Pilpres lalu. Erick Thohir ikut Presiden Jokowi. Sandiaga Uno menjadi lawan politik di seberangnya. Muhammad Lutfi ambil posisi netral.

Kini, setelah reshuffle kabinet Selasa lalu, trio itu bersatu lagi. Erick tetap di menteri BUMN, Lutfi menjadi menteri perdagangan, serta Sandi menjabat menteri pariwisata dan ekonomi kreatif.

Itulah tiga sahabat seumur dari generasi baru Indonesia. Sama-sama orang kaya, sama-sama muda, sama-sama lulusan Amerika, dan sama-sama penggemar basket.

Mereka juga sama-sama Islam –dari generasi Islam Amerika. Yang sangat toleran. Yang ”menjadi kaya” itu sama pentingnya dengan beriman.

Hanya saja sedikit kurang ideal. Kalau saja Sandi bisa di kementerian perindustrian, sebenarnya trio itu akan bisa menjadi sentral kebangkitan ekonomi baru Indonesia: BUMN-Perdagangan-Perindustrian.

Tapi di dunia politik mengharapkan yang serba ideal juga tidak realistis. Bahwa Sandi sudah mau masuk kabinet itu sudah luar biasa. Pasti ada lobi yang sangat mengharukan: sampai Sandi bersedia masuk kabinet.

Begitu ngototnya Sandi untuk tetap di luar kabinet. Untuk bisa merawat pengikutnya yang telanjur besar di kalangan anak muda.

Tapi pengikutnya itu sendiri sudah mulai terbelah. Terutama sejak Prabowo –pasangan Sandi di Pilpres yang sangat keras tahun lalu– ikut Presiden Jokowi di kabinet Indonesia Maju.

Bayangan saya, Erick dan Lutfi-lah yang merayu Sandi. Demi bersatunya trio itu kembali. Juga demi kemajuan Indonesia.

Lutfi sendiri, kepala BKPM dan menteri perdagangan di zaman Presiden SBY, akhirnya mendapat posisi yang pas. Baginya. Dan bagi Indonesia.

Sudah begitu lama kementerian perdagangan ini berubah menjadi perdagangan politik. Lengkap dengan isu-isu fee impor segala macam komoditas.

Kini kementerian itu sudah kembali ke pangkuan orang yang mestinya benar: Lutfi.

Bahwa Sandi menangani pariwisata dan ekonomi kreatif sebenarnya terlalu kecil. Tapi begitu Covid-19 hilang, sektor ini memang andalan kita. Sandi rasanya juga tidak ada masalah berpasangan dengan wakil menteri yang putri konglomerat Hary Tanoesoedibjo itu.

Yang reshuffle ini juga sangat menarik adalah tampilnya Budi Gunadi Sadikin. Ia menjadi menteri kesehatan. Ia bukan dokter. Ia sarjana fisika nuklir. Ia bankir.

Memang sudah lama ada ide bahwa menteri kesehatan tidak harus dokter. Bahkan untuk sementara sebaiknya jangan dokter.

Dengan dijabat bukan dokter mungkin justru lebih adil bagi para dokter  –semua kubu tidak ada yang mendapatkannya. Ti-ji-ti-beh.

Dan lagi, yang terpenting, di posisi menteri, adalah kemampuan manajerialnya. Budi pasti mampu. Toh ia dibantu wakil menteri yang dokter. Yakni Dr. dr. Dante Saksono Harbuwono. Ahli penyakit dalam dari UI. Dengan gelar doktor dari Jepang.

Dokter Dante juga punya kemampuan manajerial yang unggul. Ia berkecimpung di Pertamedika –grup rumah sakit di bawah Pertamina. Yang kini menjadi induk seluruh rumah sakit milik BUMN.

Prestasi Budi Sadikin sangat menonjol saat menjadi dirut Bank Mandiri. Lalu menjadi dirut Inalum yang legendaris –yang jadi lokomotif pengambilalihan Freeport. Budi Sadikin-lah otak dan operator pengambilalihan Freeport itu.

Maka pantas sekali kalau kemudian ia menjadi wakil menteri BUMN. Dan kini menjadi menteri –lucu sekali– Menteri Kesehatan.

Di tengah pandemi ini menangani manajerial bidang kesehatan sangatlah penting. Otak Budi sangat besar untuk bisa menampung dan menganalisis bidang yang rumit dan penuh ego ini.

Kalangan dokter sendiri sudah lama membicarakan ini: pun untuk jabatan direktur sebuah rumah sakit, tidak harus  seorang dokter. Tapi harus seorang manajer yang hebat –yang dia/ia bisa saja seorang dokter.

Rasanya saya tidak fair menulis soal ini. Ssstttt…. Saya orang pertama bukan insinyur menjadi Dirut PLN.

Yang juga tidak saya sangka adalah pengangkatan Sakti Wahyu Trenggono menjadi menteri kelautan dan perikanan.

Ia pengusaha murni. Bidang usahanya tower Telkom. Ia-lah pemilik tower terbesar di Indonesia. Kayanya bukan main.

Trenggono sudah lama mendapat jatah menjadi menteri. Perannya memenangkan Presiden Jokowi sangat besar. Sejak periode pertama.

Bahkan Trenggono pernah mendadak dipanggil pulang dari Australia. Agar bisa dilantik menjadi Menteri BUMN.

Ternyata yang dilantik adalah Rini Soemarno.

Di periode ke-2 Presiden Jokowi, akhirnya Trenggono masuk kabinet –meski di posisi wakil menteri Pertahanan.

Tapi setidaknya Trenggono sudah ”latihan” menjadi birokrat. Agar tidak kaget lagi. Bahwa menjadi menteri itu ibarat ”pohonnya tinggi, buahnya jarang”.

Pohonnya tinggi berarti tiupan anginnya kencang. Buahnya jarang karena: Menteri itu gajinya kecil. Fasilitasnya tidak mewah. Tidak ada apa-apanya kalau ukurannya adalah kekayaannya saat ini. Maka untuk apa lagi korupsi –mestinya.

Hanya saja bidang ini baru bagi Trenggono. Tapi yang penting adalah kemampuan manajerial, leadership, dan kebersihan hati.

Kemampuan leadership dan manajerial tentu ia mampu. Soal kebersihan hati hanya ia sendiri yang tahu.

Yang tidak kalah menarik adalah naiknya Wali kota Surabaya Tri Rismaharini. Tapi Risma pantas mendapat jabatan itu. Saya tentu tahu persis kemampuannyi. Dan komitmennyi. Terutama pada orang kecil.

Dia wali kota yang sangat berprestasi. Pengubah kota Surabaya. Wajar kalau kepala daerah yang punya prestasi besar mendapat promosi yang memadai.

Dan… akhirnya soal menteri agama. Yaqut Cholil Qoumas itu. Ia menjadi lambang kembalinya kementerian agama ke pangkuan NU.

Ini persoalan besar di negeri ini. Itu juga harapan besar bagi NU. Apalagi ketika NU merasa telah habis-habisan memenangkan periode kedua Presiden Jokowi. Kok kementerian agama diberikan kepada Jenderal Fachrul Razi. Sampai-sampai Ketua Umum PB NU, Prof Dr Said Aqil Siroj, seperti ngambek habis-habisan terhadap Presiden Jokowi. Terutama kok ia tidak masuk kabinet. Lebih terutama lagi kok kementerian agama diserahkan ke orang lain.

Yaqut sendiri tidak mengira akan menjadi menteri agama. Ia merasa kakaknyalah yang lebih berpeluang: Yahya C Staquf. Dan memang, sang kakak yang mendapat tawaran menjadi menteri agama. Tapi sang kakak menolak.

Sang kakak –yang pernah menjadi juru bicara Presiden Gus Dur– punya kesibukan lain. Yang ia anggap lebih mulia. Yakni membawa model Islam Indonesia ke seluruh dunia. Ia ingin mengubah wajah Islam di seluruh dunia menjadi Islam yang toleran. Karena itu Staquf sampai harus pergi ke Israel –di tengah emosi dunia Islam yang anti-Israel.

Staquf merasa, dengan menjadi menteri kiprahnya tersebut menjadi lebih terbatas.

Maka sang adik yang diangkat menjadi menteri. Dua-duanya sama-sama pengasuh pesantren peninggalan leluhur mereka di Rembang. Ketika ayah mereka meninggal  –KH Cholil Bisri– keduanyalah yang memimpin pesantren di Rembang, Jateng, itu. Bersama paman mereka yang juga terkenal: KH Mustofa Bisri –kiai yang juga penyair kondang itu.

Mustofa Bisri punya menantu yang juga terkenal: Ulil Absar Abdala. Yang sering saya ikuti pengajiannya di YouTube. Yang membahas kitab filsafat Ihya Ulumuddin, karya besar Imam Al Ghazali itu.

Ayah KH Mustofa Bisri seorang kiai besar. Namanya: KH Bisri Mustofa. Yang terakhir ini adalah juga putra kiai besar di Rembang: KH Mustofa Bisri. Tiga generasi nama itu sama: hanya dibolak-balik.

Menteri Agama yang baru ini tentu punya tantangan besar. Untuk dirinya sendiri. Yakni bagaimana berubah dari milik satu golongan menjadi milik semua golongan. Juga bagaimana dari mengabdi ke satu golongan menjadi ke semua golongan.

Mungkin GP Ansor dan Banser –organisasi pemuda NU– akan tetap mempertahankannya sebagai ketua umum mereka. Saya tahu Ansor sangat mencintainya. Saat ia ke rumah saya yang mengantar puluhan Banser.

Tapi Yaqut tentu tahu kalau itu tidak bijaksana. Ia adalah sarjana sosiologi Universitas Indonesia. Ia tidak perlu diajari untuk memahami sosiologi berbangsa.

Apalagi wakil menteri agama itu pun sudah telanjur NU.

Rembang, kini menjadi kiblat baru bidang pemikiran keagamaan. Budaya Islam di Rembang kelihatannya memang berkembang sangat moderat sejak zaman kuno. Peradaban di Rembang dan sekitarnya –termasuk Lasem dan Juwana– memang tergolong tua.

Rembang pernah jadi pusat peradaban di masa lalu. Ketika wilayah itu berkembang lebih dulu. Pun secara ekonomi. Termasuk terjadinya persinggungan budaya yang intens antara Tionghoa, Islam, dan Jawa. Peninggalan-peninggalan budaya Tionghoa yang maju ada di sekitar Rembang ini.

Maka ulama muda yang sangat populer dan fleksibel saat ini juga datang dari Rembang: Gus Baha’. Yang pengikutnya di YouTube berjibun termasuk saya.

Alhasil, kabinet hasil reshuffle ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Tinggal nasib yang menentukan: apakah kita bisa menjadi bangsa yang nasibnya baik.(dis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *