Catatan Dahlan Iskan

Pesanan Vaksin

×

Pesanan Vaksin

Sebarkan artikel ini
Oleh : Dahlan Iskan

 

MENGAPA kita membeli vaksin Sinovac, Tiongkok? Kok bukan Pfizer-nya Amerika Serikat?

Saya cenderung mensyukuri saja keputusan tersebut. Sambil terus mengkritisi perkembangan berikutnya. Terutama soal efektivitasnya.

Kalau pun waktu itu kita memutuskan membeli Pfizer saya tidak bisa membayangkan betapa rumit penanganan logistiknya.

Terutama karena vaksin Covid produksi Pfizer –dan juga Moderna– itu harus disimpan dalam suhu minus-70 derajat Celsius. Biofarma di Bandung tentu memiliki fasilitas itu. Tapi bagaimana mendistribusikannya ke daerah-daerah? Lalu bagaimana menyimpannya di puskesmas-puskesmas atau RSUD?

Tentu fasilitas itu bisa diadakan. Tapi menjadi ribet pengadaan kotak atau lemari bersuhu minus 70 derajat itu. Jangan-jangan hanya spec-nya yang minus 70 tapi isinya hanya mie tanpa merek.

Memang vaksin itu masih bisa bertahan setelah dikeluarkan dari penyimpan minus 70 derajat. Tapi maksimal hanya lima hari. Setelah itu tidak bisa dipakai lagi.

Sedang vaksin Covid dari  Sinovac bisa disimpan di dalam kulkas bersuhu minus 8 derajat. Bahkan masih bisa di suhu minus 2 derajat.

Fasilitas penyimpanan seperti itu banyak dimiliki siapa saja. Di mana-mana. Tinggal bagaimana jajaran tim vaksinasi bisa disiplin. Jangan sampai ada satu mata rantai distribusi yang teledor atau menganggap enteng.

Itulah yang terjadi di Korea Selatan dua bulan lalu. Ketika penduduk di sana dianjurkan menjalani vaksinasi antiflu. Untuk menghadapi musim dingin sekarang ini.

Hebohnya Anda sudah tahu: beberapa orang meninggal dunia. Hoaks pun banyak beredar: mereka itu meninggal akibat menjalani vaksinasi Covid. Padahal itu vaksinasi antiflu.

Penelitian pun dilakukan. Ternyata ditemukan ada yang menaruh kardus berisi vaksin  antiflu di luar pendingin. Dianggap masih ada toleransi. Toh udara di luar sudah mulai masuk musim dingin.

Bayangkan kalau kita mendatangkan vaksin Pfizer. Bayangkan juga kebiasaan sembrono kita-kita ini. Maka dari sudut handling di lapangan, saya merasa vaksin Sinovac lebih cocok dengan ”budaya” sembrono kita.

Tentu kita masih harus menunggu pemberitahuan resmi: berapa persen efektivitas vaksin Sinovac itu. Ekspektasi kita pun tidak setinggi vaksin Pfizer yang rata-rata bisa 95 persen. Atau 90 persen untuk golongan umur di atas 60 tahun.

Kalau pun vaksin Sinovac bisa 85 persen baiknya tetap kita terima. Artinya, dari 100 orang yang menjalani vaksinasi ada 15 orang yang tidak muncul imunitasnya.

Kita sudah berharap banyak vaksinasi lah jalan keluar dari pandemi ini.

Boleh dikata, sekarang ini dunia sedang berebut vaksin. Antar negara kaya pun berebut barang yang sama.

Karena itu Inggris melangkah lebih dulu: menyetujui penggunaan vaksin Pfizer. Langkah kuda Inggris ini pun bikin sewot Amerika: kok bisa-bisanya Inggris mengeluarkan persetujuan lebih cepat dari Amerika.

Itu sampai membuat Presiden Donald Trump marah-marah: bagaimana Amerika bisa kalah cepat.

Ternyata prosedur persetujuan di Inggris memang lebih cepat. Di sana tidak perlu tahap ”uji publik”. Sedang di Amerika tahap uji publik itu mutlak.

Uji publik di Amerika itu baru dilakukan tadi malam. Waktu Jakarta. Lewat satu forum yang dilaksanakan secara online. Belum tahu hasilnya seperti apa.

Meski namanya uji publik yang diundang tetap saja terbatas. Yakni Hanya para ahli vaksin. Dari berbagai lembaga dan universitas. Jumlah mereka 15 orang pilihan. Penyelenggaranya: FDA –badan otoritas makanan dan obat-obatan Amerika. Setelah uji publik itulah FDA baru bersikap: apakah vaksin Pfizer dan Moderna diizinkan disuntikkan. Itu pun dengan status penggunaan darurat.

Trump rupanya serba tidak sabar.

Sehari sebelum uji publik FDA  itu Presiden Trump mengadakan acara khusus di Gedung Putih: KTT Vaksin. Semua pabrik obat diundang. Demikian juga lembaga terkait. Trump kelihatannya ingin menumpahkan kejengkelannya di KTT itu. Terutama mengapa vaksin itu tidak bisa tersedia tepat waktu. ”Tepat waktu” yang dimaksud Trump tentunya adalah sebelum Pilpres.

Karena itu Pfizer dan Moderna menyatakan secara terbuka: tidak mau menghadiri KTT di Gedung Putih itu. Betapa beraninya. Daripada ditekan-tekan.

Pfizer juga berani mengumumkan ini: tidak bisa memenuhi permintaan tambahan dari pemerintah Amerika.

Jatah untuk Amerika adalah 100 juta. Itulah angka yang sudah dialokasikan. Sesuai dengan kontrak pembelian yang dilakukan Trump.

Tentu 100 juta itu tidak cukup. Amerika perlu sekitar 300 juta –dua kali suntik. Mungkin soal ini pula yang membuat Pfizer menolak diundang ke Gedung Putih.

Padahal Trump-lah yang menetapkan program Operation Warp Speed. Yang bisa mempercepat penemuan dan produksi vaksin Covid. Yakni dengan cara memberi dana triliunan kepada pabrik obat. Sebagai ”uang pemesanan di muka” sebanyak 100 juta unit.

Dalam target Operation Warp Speed itu Pfizer mampu memproduksi 200 juta. Maka Trump menyangka 200 juta itu untuk Amerika sendiri.

Ternyata tidak. Pfizer melihat bukti pemesanan: Amerika ”hanya” pesan 100 juta. Maka selebihnya ia jual ke negara-negara lain. Termasuk Inggris. Uangnya pun sudah diterima. Barang harus dikirim.

“Maka untuk pemesanan tambahan dari Amerika itu baru bisa dikirim Juni atau Juli 2021,” ujar eksekutif Pfizer seperti secara luas diberitakan di media Amerika.

Jangan-jangan kita juga punya persoalan mengenai ”pemesanan di muka” itu. Kok berita kedatangan vaksin Sinovac kemarin hanya menyebut jumlah 1,5 juta unit. Padahal penegasan pemerintah tempo hari menyebut: di bulan November bisa dikirim 10 juta. Setelah itu setiap bulan 10 juta.

Saya masih sedikit berharap angka di berita kedatangan itulah yang tidak benar.(dis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *