Catatan Dahlan Iskan

Listrik Apung

×

Listrik Apung

Sebarkan artikel ini
MODEL panel surya yang akan dipasang di Waduk Cirata (AGUNG RAJASA-ANTARA)
Oleh : Dahlan Iskan

 

 

DANAU ini akan menjadi penghasil listrik tenaga surya terbesar di Indonesia: Danau Cirata.

Tenaga surya itu akan diapungkan di atas danau. Mengapung di atas air. Listrik yang dihasilkan: 100 MW. Itu luar biasa besar untuk ukuran proyek listrik tenaga surya. Yang selama ini, proyek paling besar, hanya sekitar 1 MW. Itu pun tidak banyak.

Mendengar kata 100 MW, pertanyaan saya langsung begini: seberapa luas hamparan panel suryanya nanti?

Saya bisa bayangkan: pasti luas sekali. Setiap 1 MW tenaga surya memerlukan tanah 100 hektare. Kalau di atas tanah.

Tentu di atas danau pun akan sama. Ternyata benar. Untuk proyek PLTS di Danau Cirata itu panel suryanya akan seluas 200 hektare. Hampir sama dengan 200 lapangan sepak bola.


RANGKAIAN panel surya di atas danau yang akan dikembangkan Masdar Solar Energy dan PJB di Danau Cirata. (MASDAR SOLAR ENERGY)

Tentu, di Danau Cirata itu tidak masalah. Luas permukaan air Danau Cirata  62 km2 –terluas di Jawa. Letaknya di antara Kabupaten Purwakarta, Bandung Barat dan Cianjur. Kalau Anda naik mobil dari Jakarta ke Bandung, lewat tol, posisi danau itu di kanan jalan. Tentu tidak terlihat dari jalan tol. Jauh di balik gunung di arah barat sana.

Pemilik proyek itu adalah PT PJB –anak perusahaan PLN. Bekerja sama dengan Masdar Corporation dari Uni Emirat Arab (UEA). Water breaking-nya –pengganti istilah ground breaking– sudah dilakukan bulan lalu.


Peresmian proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung berkapasitas 145 MW di Waduk Cirata, Bandung Barat. (KBRI ABU DHABI)

Tentu tidak pakai cangkul. Melainkan siwur. Untuk menciduk air dan menyuarakannya ke permukaan danau.

Proyek ini kelihatannya pasti jadi. Dua investornya serius semua. PJB adalah anak perusahaan PLN paling kuat. PJB sudah sering bikin sejarah. PJB-lah yang pertama memiliki unit PLTU 1.000 MW di Indonesia. Artinya, satu pembangkit saja bisa menghasilkan 1.000 MW. Di Cilacap. Lalu dua unit lagi, ukuran yang sama, di pantai utara Banten. Itu hasil kerja sama dengan swasta nasional.

Sebenarnya, izin pertama pembangunan unit 1.000 MW seperti itu diberikan kepada grup Adaro. Di Batang, Jateng. Yang kalau Anda lewat tol, antara Tegal-Semarang, terlihat megah di kiri tol.

Adaro bekerja sama dengan Jepang. Menggunakan teknologi Jepang dan kontraktor Jepang. Tapi sampai sekarang PLTU itu masih belum selesai. Disalip oleh Cilacap dan Banten itu –dua-duanya teknologi RRT dengan kontraktor RRT.

Partner PJB di proyek Danau Cirata kali ini pun serius. Dari grup yang sangat terkenal di dunia: Mubadalah Group. Induk dari Masdar Corporation.

Masdar adalah pemilik pembangkit listrik tenaga surya pertama di gurun pasir. Hanya sistemnya baru: pakai CSP –concentrated solar power. Bukan solar panel. Yakni: sinar matahari dipantulkan lewat ribuan cermin besar ke satu titik di atas tower setinggi sekitar 100 meter. Di “titik panas” itu dipasang tangki air. Mendidih. Menghasilkan uap. Uap itu diubah menjadi bertekanan tinggi. Agar mampu memutar turbin. Putaran turbin itu dihubungkan dengan generator. Putaran generator menghasilkan listrik.

Teknologi CSP itu masih mahal sekali. Listrik yang dihasilkannya bisa 7 kali lebih mahal dari batu bara. Atau 3 kali lebih mahal dari solar cell yang-dilengkapi baterai.

Tentu solar cell yang di Waduk Cirata nanti bisa murah. Tidak harus dilengkapi baterai. Harganya hanya 5,8 cent dolar. Disalurkan ke PLN siang hari: ketika ada sinar matahari.

Sebenarnya PLN, untuk siang hari, sekarang ini, sudah kelebihan listrik. Banyak sekali. Itu gara-gara pandemi –dan rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum itu.

Andai PLTS raksasa ini tidak di Waduk Cirata mungkin PLN akan menolak membelinya. Pertama, listrik sudah berlebih. Kedua, pasokan listrik dari PLTS seperti itu tidak stabil –tergantung cuaca. Ketidakstabilan itu bisa mengganggu sistem besar di PLN yang sangat peka.

Tapi karena letaknya di Waduk Cirata tidak akan mengganggu sistem PLN. Di waduk itu PJB sudah memiliki pembangkit listrik tenaga air (air terjun). Juga besar sekali: 1.000 MW. Yang dipasokkan ke PLN khusus untuk sore/malam hari. Yakni saat pemakaian listrik tinggi sekali.

Listrik dari PLTS 100 MW tadi akan lebih dulu disinkronkan dengan listrik PLTA itu. Baru kemudian dikirim ke PLN.

Selama ini, PJB juga sudah punya PLTS di Cirata. Di atas tanah. Kapasitasnya 1 MW. Sejak itu sinkronisasi sistemnya  sudah mapan.

Bagaimana cara mengapung kan panel surya itu di atas danau?

Biasa saja. Panel itu dipasang di atas rangkaian. Rangkaian itu dipasang di atas pengapung. Pengapungnya terbuat dari GRP –yang mirip jeriken plastik itu. Sekarang ini sudah banyak dermaga kapal yang diapungkan di atas GRP.

Luasan 200 hektare solar panel itu tentu dibagi ke blok-blok kecil. Agar perahu bisa lewat di sela-selanya. Untuk pemeliharaan. Terutama untuk pembersihan permukaan solar panel. Sejauh ini tahi burung adalah kotoran yang bisa mengganggu solar panel.

Kalau proyek ini sukses –selesai tahun 2022– tentu menjadi inspirasi proyek berikutnya. Terutama bagi daerah yang punya banyak danau.

Apalagi Masdar berkomitmen untuk membawa industri solar cell ke Indonesia –dari Tiongkok.

Kapasitas 100 MW tentu memerlukan solar panel yang sangat banyak. Memadai sudah untuk diproduksi di dalam negeri.

Memang selalu akan ada cerita dari Waduk Cirata.(dis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *