HalutMaluku Utara

Penanganan Jembatan Kali Tiabo Ditaksir Butuh Rp 4 M

×

Penanganan Jembatan Kali Tiabo Ditaksir Butuh Rp 4 M

Sebarkan artikel ini
BUTUH JEMBATAN DARURAT: Warga melintas sungai Tiabo dengan rakit yang dibuat secara swadaya oleh warga sekitar Sungai (Foto : Ardi Tomagola Harian Halmahera)

HARIANHALMAHERA.COM–Pemerintah Provinsi (Pemprov) melalui Dinas PUPR masih belum bisa memutuskan kapan jembatan darurat di Kali Tiabo Desa Ngidiho Kecamatan Galela Barat (Galbar) akan mulai dibangun pasca ambrukya jembatan penghubung itu awal Januari lalu.

Dalam rapat bersama dengan BPKAD, Dinas PUPR, BPDB kemarin, Komisi III DPRD Provinsi berharap jembatan penyebrangan darurat itu secepatanya dibangun. Soal teknisnya ada di Dinas PUPR.

“Mau bikin timbunan dengan menggunakan kurep samping kiri kanan dengan menggunakan bahan lokal kelapa samping kiri kanan kemudian timbunan  sepanjang 57 meter itu atau juga bisa pakai jembatan anti beding walaupun pekerjaan agak lama,” kata ketua Komisi III Zulkifli H Umar.

Soal anggarannya, Deprov telah merekomendasikan untuk dilakukan perubahan peraturan gubernur (Pergub) tentang pelaksanaan APBD 2021. Dengan begitu, anggaran yang ada di pos Dana Tak Terduga (DTT) bisa dipakai.

Total anggaran DTT di APBD 2021 diploting sebesar Rp 15 miliar masing-masing Rp 5 Miliar untuk tanggap daruta sisanya Rp 10 Miliar untuk penanganan Covid. Sementara, berdasarkan taksiran sementara PUPR, pembangunan jembatan darurat itu membutuhkan anggaran sekitar Rp 4 Miliar.  “Tapi itu jembatan dan daerah sekitar jembatan dan itu untuk persiapan jembatan darurat,” terangnya.

Sedangkan untuk penanganan perumahan warga yang rusak, menurutnya masih membutuhkan waktu. Meski begitu, dari hasil kunjunannya ke lokasi, memang harus direlokasi.

“Cuman sekarang ini menjadi tanggungjawab siapa. Pemerintah provinsi, kabupaten atau pusat. Itu yang harus dikordinasikan secara baik jangan sampai seperti di Halsel sampai sekarang juga belum tuntas. Karena itu butuh biaya yang tidak sedikit,” katanaya.

Walau belum ada koordinasi, Dewan sudah meminta setidaknya Dipserkim sudah ada menghitung gambaran berapa anggarannya total yang dibutuhkan untuk relokasi. “Penanganannya apakah pemerintah provinsi atau pemerintah pusat itu urusannya nanti. Yang terpenting sekarang merencanakan berapa kira- kira alokasi anggaran yang bisa disiapkan untuk itu,” bebernya.

Yang penting untuk saat ini yang harus dilakukan yakni membangun jembatan darurat lebih dulu. “Memang anggaran untuk bencana sebenarnya kecil apalagi. Jadi fokus di jembatan Tiabo dahulu nanti kalau ada perubahan anggaran barulah dialokasikan untuk Halbar,” katanya.

Sementara Sekprov Malut Samsuddin A Kadir mengatakan soal model dan bentuk jembatan darurat ini akan dikoordinasikan dengan pihak Balai Wilayah Sungai (WS) karena penataan sungai berubah aliran. “Kebutulan besok (hari ini, red) Wamen PUPR datang, mudah – mudahan kita sampaikan permintaan karena dana DTT  kita juga terbatas,” jelasnya.

Menurutnya, kalau penanganan dilihat dimana kabupaten/kota sudah  biasanya Pemprov juga memberikan suport  terutama kalau  terjadi bencana dengan langka pertama adalah tanggapnya. “Terkait rehabilitasi dan rekonstruksi itu kan langkah kedua. Tapi karena jembatan Tiabo juga sangat mempengaruhi aktifitas  pencaharian  masyarakat, maka penanganannya harusdipercepat. Mudah- mudahan secepatnya kita memberikan bantuan juga,” harapnya.

Ditempat terpisah, Kepala BWS Malut Bebi Hendrawibawa menyebutkan terdapat 10 sungai rawan banjir di Malut.  10 sungai rawan banjir tersebut di antaranya Sungai Kobe dan Wairoro di Halmahera Tengah, Sungai Momoi, Dua, Oboi, dan Meja di Halmahera Timur , Sungai Mitra di Pulau Morotai dan serta Sungai Katana dan Yaro di Halut.

Olehnya, BWS pun merencanakan pengendalian banjir di 10 sungai tersebut pada tahun ini.  Menurut dia, sungai Tiabo di Halut, yang meluap baru-baru ini hingga menghancurkan jalan penghubung justru tak masuk kategori sungai rawan banjir.

Ia baru dikategorikan rawan banjir jika jembatan di atas sungai terendam saat banjir melanda.  “Itu kan karena air ‘belok’, dan ada material pohon yang hanyut sehingga mengenai akses jalan. Pohon utuh, yang artinya jatuh dengan sendirinya akibat daya ikat tanahnya tidak kuat lagi atau catchment area-nya relatif gundul. Dan suangi-sungai yang ada di Maluku Utara ini rata-rata belum punya tanggul penahan banjir. Harusnya sungai, ada bantaran, baru dibangun tanggul banjir,” ujarnya sebagaimana yang dilansir kumparan.com.

Tahun ini kata dia BWS Malut akan melakukan Survei Investigasi Desain (SID) yang akan menghasilkan dokumen perencanaan pengendalian banjir. Sebab sejauh ini sebagian besar sungai rawan banjir di Malut belum punya dokumen tersebut.

“Jadi saat kita menurunkan dana, dari APBN maupun non-APBN, tidak bisa serta merta turun. Harus ada perencanaan, namanya gimana, baru bisa keluar,” kata Bebi.

Ia menjelaskan, pengendalian banjir di Malut sebagian besar terkendala pembebasan lahan di sekitar sungai. Sebab alokasi anggaran yang diusulkan baru akan diakomodir jika lahan telah dibebaskan.

Namun sejauh ini, Pemerintah Daerah belum aktif berinisiatif membebaskan lahan untuk pembuatan tanggul penahan banjir.

“Kalau kita tunggu tanahnya bebas, kapan dana turun? Padahal kita harus sharing, dana fisiknya BWS, dana pembebasan lahannya Pemda yang tanggulangi,” ungkapnya.  “Kami tidak mau dana sudah turun, tender sudah selesai, tapi kontraktor tidak bisa kerja gara-gara tanah belum dibebaskan,” sambugnya.

Bebi memaparkan, banjir terjadi karena dua faktor. Faktor perubahan catchment area dan faktor manusia. Dia mencontohkan, di Weda, Halteng, ada penggalian tambang batuan yang memblokade aliran sungai. Alhasil, saat turun hujan air pasti meluap ke permukiman warga.  “Tapi setelah kita diskusi dengan Bupati Halteng, beliau menyadari bahwa masyarakat kita masih sangat butuh edukasi untuk menjaga alam,” imbuhnya.

Perencanaan pengendalian banjir, kata Bebi, diutamakan untuk sungai-sungai yang dekat permukiman warga. Ia mencontohkan lagi, saat banjir di Kao Barat, Halut kemarin, aliran air termasuk lemah namun banyak warga terdampak sebab sungai terletak di dekat permukiman padat penduduk.  “Jadi dari 10 sungai rawan banjir itu akan dipilah-pilah mana yang harus didahulukan,” tukasnya.

Ia berharao, kunjungan Wamen PUPR John Wetipo ke Malut bisa dimemanfaatkan Pemda itu untuk menyampaikan kebutuhan masing-masing.  “Jika PAD terbatas, kebutuhan yang tidak bisa ditangani Pemda langsung lemparkan ke Pempus, mumpung besok Wamen datang,” tandas Bebi.(lfa/kmp/pur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *