Opini

Genosida Ekologi; Respon Terhadap Bencana Alam di Halmahera

×

Genosida Ekologi; Respon Terhadap Bencana Alam di Halmahera

Sebarkan artikel ini
Fitra Booko

Oleh: Fitra Booko

Pemerhati Sosial Lingkungan

 

 

BENCANA alam rentan terjadi menghantui kondisi bangsa ini secara nasional pada awal tahun 2021. Bencana terus melanda berbagai daerah. Mulai dari Bencana banjir di daerah Kalimantan Selatan, sejak awal 11-12 Januari 2021 yang menelan korban jiwa tidak sedikit jumlahnya, sementara puluhan ribu rumah warga terendam akibat dari luapan air Sungai Barito dan terpaksa harus di ungsikan.

Di susul dengan gempa bumi berkekuatan 6,2 magnitudo yang mengguncang daerah Sulawesi Barat Kabupaten Mamuju dan Majene, pada 15 Januari 2021, kontras ribuan rumah warga rusak total. Kepulauan Jawa, di Sumedang Jawa Barat pun mengalami bencana tanah longsor yang menelan korban jiwa sekitar 40 orang warga yang meninggal dunia.

Hal yang sama, bencana banjir pun dialami oleh warga Kabupaten Halmahera Utara. Banjir di Kecamatan Kao, empat Kecamatn Galela dan Kecamatan Loloda Utara, pada Jumat, 15 Januari 2021. Beberapa rumah warga dan sejumlah infrastruktur ikut rusak. Salah satunya, jembatan Kali Tiabo di Desa Ngidiho Kecamata Galela Barat, sebagai penghubung akses transportasi ke Kecamatan Galela Utara dan Loloda amblas di terjang banjir.

Sementara warga yang paling terdampak akibat bencana banjir di Kecamatan Galela Barat adalah warga Desa Roko yang secara geografis warga tersebut bermukim di bantaran Sungai Tiabo. Luapan sungai ini, menodong warga setempat untuk mengunsi. Kurang lebih sejumlah 313 kepala keluarga (KK) dan 1016 jiwa, yang menghuni desa Roko diungsikan ke desa-desa tetangga sebagai langkah antipatik jatuhnya korban jiwa manakala terjadi banjir susulan.

Dalam merespon sederet persoalan diatas, bahwa kini realitas dunia semakin terpola, batas antara yang nayata semakin kabur tidak menentu, ambiguitas yang materi dan immateril, hingga disrupsi menghantui urat nadinya kehidupan sosial. Sementara pada kesempatan lain, pencemaran lingkungan semakin menegara kalau bukan mengakar, pada akhirnya mengancam berbagai sektor kehidupan.

Bencana alam_(banjir, gempa bumi, dll) merupakan sinyal kuat dari semakin rusaknya daya tahan ekologis yang selama ini telah menanggung beban ganda. Secara retoris, fenomena ini tidaklah diterima begitu saja dan atau diterima apa adanya. Sebagaimana sesekali imaginasi publik yang bergelegar bahwa bencana alam yang melanda suatu wilayah atau daerah akibat dari tingginya curah hujan.

Secara bersamaan diapit dengan nada sinisme bahwa banjir juga merupakan cobaan yang datang dari sang pencipta alam semesta_(Tuhan). Hal ini harus di[sang]kal dengan seksama. Adalah kerusakan ekologi sebagai faktor mendasar meluapnya banjir dan Tuhan tidaklah se[jahat] yang sedang dibayangkan sedemikian rupa. Maka dalam melihat masalah bencana banjir tersebut menegasikan bahwa genosida ekologi (eksploitasi sumber daya alam) oleh kelompok pemiliki modal berselancar sangat leluasa di daratan Halmahera.

Subordinasi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) sangatlah potensial memicu melebarnya bencana alam_(banjir) di Halmahera Utara dan sekitarnya. Maraknya korporasi atau investasi yang masuk pada dasarnya ikut mendorong deforestasi hutan Halmahera. Di sinilah sangat ironi meletakkan masalah mendasar bencana alam di daratan Halmahera

umumnya. Pada titik kulminasi inilah, satu hipotesa yang menggelitik dalam buku

Telikungan kapitalisme global menjadi isyarat bahwa “setiap upaya utuk memberikan diagnosa dan terapi atas persoalan (konflik, bencana alam dll) yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterkaitan dengan konstelasi global (akumulasi capital), niscaya akan menemui kegagalan” (lihat, Hasyim Wahid, dkk.1999:2).

Dalam konteks ini, kita di tuntut membedah relasi kuasa global, mempelajari pengaruh-pengaruhnya, mengingatkan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi dan memberikan alternatif-alternatif sebuah peristiwa yang sedang dan akan terjadi, baik di tingkat lokal, regional maupun secara nasional, yang memiliki pengaruh kuatnya relasi dialektis antara peran negara di pasar domestik dan proses akumulasi capital oleh dunia global.

Halmahera dalam Kepungan Oligarki Ekstraktif

Sebagai seorang individu yang menekuni belajar ilmu-ilmu sosial terutama sosiologi, sedikit mengerti asumsi dasar dari sebuah teori “tetesan ke bawah” (Trickle down effect).

Bahwa terkadang kesejahteraan yang diasumsikan nyaris kandas di tengah jalan. Hanya sebatas jalan pembuka, setelahnya habis manis sepahnya di buang. Kalaupun hal ini direalisasi, mungkin hanya beberapa tetesan kencing. Padahal, polusi, kerusakan lingkungan, sabotase lahan, pencemaran ekosistem khususnya di Halmahera adalah bagian dari sejumput menodong majunya isi perut pemilik modal melalui kran investasi.

Seperti satire yang sedang berkembang “Halmahera tinggal ampasnya” itu pun, ampasnya juga sudah tercemari oleh limba dan Maluku Utara bukan toilet. TEMPO.CO, mencatat bahwa ada sebanyak 335 izin usaha pertambangan, sementara dari jumlah izin tersebut sebanyak 108 izin usaha pertambangan yang bermasalah (edisi Senin, 9 Juni 2014).

Secara selektif, daratan Halmahera ini memiliki anatomi (geo)-ekonomi

cukup signifikan yang itu dapat memantik minat bagi para investasi asing (lagi) antrian panjang untuk mengeruh semua isi kandungan sumber daya yang sedang di milikinya.

Daya tarik (geo)-ekonomi_(cengkeh, pala, kopra, emas, nikel, mangan, pasir besi, uranium dll) membuat daratan Halmahera tidaklah absen dari jeratan para pemilik modal_(capital). Maka berkaitan dengan bencana banjir merupakan suatu persoalan yang bersumber dari ruang eksternal (external shock) yang memberikan dampak serius terhadap rusaknya ekologis.

Sementara itu, negara_(pemerintah) masih terus abai oleh fakta bercana alam yang selama ini terus dilanda pulau panjang Halmahera. Pendeknya, negara semakin eksklusi ekologis (pengabaian linkungan) ketimbang inklusi ekologis yang sejatinya sebagai sumber kehidupan.

Dalam bukunya Republik Kapling, Prof. Tamrin Tomagola, dengan begitu kritis mendokumentasikan sikap bernegara melalui paham state nationalism cenderung dengan mata mendelik (menutup mata). Sesungguhnya setiap jengkal dan petak bumi Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam satuan kapling ekonomi-politik dengan skala modal yang ditanam dan jumlah upeti yang diselundupkan.

Hal ini bertalian dengan persoalan Timika untuk Freeport, Lhoksumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Monsanta, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont Internasional, Teluk Bintuni, Papua Barat untuk Britis Petroleum, Kalimantan Timur unntuk PT. Kaltim Prima Coal dan pulai Deawata Bali nyaris telah menjadi negara bagian ke-19 dari Australia (lihat, cet-I. 2006:219-220).

Membayangkan negeri ini sejak process of being hingga hari ini sebagai negeri yang utuh (lagi) menyatu adalah kegalauan imginasi negara yang sedang mandul (pula) latah, alpa dan ompong.

Kembali pada aspek ruang (space) geo-ekonomi, sekaligus mendikotomi sebagai suatu isyarat masifnya ekspansi oligarki. Di beberapa kabupaten/kota umumnya di Provinsi Maluku Utara. Tercatat sejumlah izin usaha pertambangan yang semakin menegara. Di Halmahera Utara misalnya, Kecamatan Loloda, pertambangan Mangan untuk PT. Dewi Rinjani dengan operasi produksi sebesar 901,20 ha dan PT. Mineral Elok Sejahtera, luas produksi 834,55 ha.

Pasir Besi untuk PT. Karya Intan Maksima dengan izin konsesi produksi 2.237,00 ha, Mineral Logam, di kuasai oleh PT. Sumber Ardi Swarna, luas wilayah 1.544,00 ha. Sementara di kecamatan Galela Barat, pertambangan Emas untuk PT. Halmahera Jaya Mining, dengan luas wilayah produksi sebesar 1.500,00 ha, di tambah dengan 1 (satu) izin komoditi Tapioka oleh PT. Buana Wira Lestari Mas anak perusahaan dari PT. Global Agronusa Indonesia, luas wilayah produksi sebesar 2.500.00Ha. Belum lagi daerah di Kecamatan Kao-Malifut, di bawah komando PT. Nusa Halmahera Mineral, yang masa produksinya sudah mulai purna bakti dan beberapa izin pertambangan lainnya yang belum teridenditifikasi.

Kemudian di Halmahera Selatan, sekitar 55 izin usaha pertambangan (284,650,57 ha) termasuk di dalamnya izin usaha PT. Amazing Tabara dan PT. Harita Group. Ekspansi modal asing tak berhenti di situ saja. Di Halmahera Timur, kurang lebih 34 izin usaha pertambangan dengan luas wilayah operasinya sebesar 197,463,79 ha. Termasuk di dalamnya izin usaha pertambangan PT. Weda Bay Industrial Park (IWIP). Di tambah dengan 2 izin Perkebunan Sawit dan 2 izin Hutan tanaman Industri.

Menyusul Halmahera Tengah, sekitar 66 izin pertambangan yang sedang beroperasi dengan luas wilayah kurang lebih 142,964,62 ha, termasuk di dalamnya izin operasi pertambangan PT. Tekindo dan PT. Gunung Mas Group (GMG) dan 2 izin Perkebunan Sawit yang dengan lahan produksinya 11,870,00 ha. Kemungkinan besar beberapa Kabupaten/kota lainnya di Provinsi Maluku Utara pun tidaklah jauh berbeda mengalami infiltrasi modal asing besar-besaran.

Mencermati farian fakta diatas, Pertama, sudah bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa negara (pemerintah) dengan kekuatan politiknya, menggunakan logika ekonomi diatas segalanya dalam rangka melindungi kepentingan investor melalui penerbitan izin usaha pertambangan dll.

Disinilah diskontinuitas atas cara bernegara kita hari ini. Bahwa kebutuhan modal asing (aneksasi sumber daya alam) tidaklah selalu sejalan dengan kebutuhan rakyat suatu bangsa, negara dan daerah. Sementara kecelakaan ekologis akibat dari kerusakan linkungan, hanyalah sebatas “teras mistis‟ (the mystical core) yang sedang diperagakan oleh negara/pemerintah setempat.

Kedua, secara asimetris, negara dan kapital (modal) adalah satu mata rantai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi superioritas negara (pemerintah) tidaklah harus tunduk dan atau tersandera pada akumulasi hukum pasar pemilik modal dan mendiaspora sebagai “dewa penyelamat‟ melalui perlindungan kekuasaan politik sekaligus mendelegitimasinya melalui kekuatan hukum.

Ketiga, daratan Halmahera merupakan oase (sumber kehidupan) masyarakat Moloku Kie Raha bukan sumber persekutuan ekploitasi bagi korporat oligaki ekstraktif dan kepentingan terselubung aktor-aktor politik negara. Bahwa menjaga dan melindungi hutan Halmahera adalah sebuah keniscayaan sebagai kontinyu (keberlanjutan) kehidupan di masa

kini dan akan datang.

Kenichi Ohmae, dalam Telikungan Kapitalisme Global (lihat, Hasyim Wahid, dkk. 1999:32) memprediksikan akan terjadi suatu kondisi di negara-negara sedang berkembang manakala suburnya infiltrasi modal, mengalami perubahan kondisional yang dalam istilahnya di kenal sebagai Nation of Corporations (bangsa perusahaan) dan State of Markets (negara pasar).

Penanaman modal asing melalui korporasi pertambangan (emas, nikel, mangan, pasir besi, uranium, batu bara dll) menunjukan suatu bukti nyata meluasnya relasi kuasa modal dan sekaligus memicu lajunya krisis lingkungan. Pada titik ini, proses perubahan sosial berselancar yang dikenal dengan konsep masyarakat industri. Sebagaimana yang di prediksikan oleh Ohmae, diatas.

Daratan Halmahera adalah bagian eklektik dari “potret gelisa” akibat kepungan oligarki (pula) infiltrasi modal asing_(IMF&WTO) dalam suatu siklus skema SAP (Struktural Adjustment Program). Pendeknya, bukan hanya kekuatan otoritas NAFTA (North American Free Trade Agreement) yang bermain pada daratan Halmahera, tetapi juga ada sebagian kekuatan dari ASEAN yang turut andil sebagai kolaborasi kekuatan memperebutkan (geo)ekonomi, yang kini dikenal dengan AFTA (Asean Free Trade Agrement) secara bersamaan.

Maka pada konteks ini, penulis sangatlah berselera dengan nada lantang dari bapak Republik yang terlupakan. “Bangsa ini telah merdeka, barang siapa saja yang datang mengganggu kemerdekaan kita adalah bangsa agresor yang harus di boikot dan di perangi” (Tan Malaka).

Mengakhiri tulisan singkat ini, penulis mengingatkan kembali bahwa bencana banjir di Halmahera merupakan bagian integral dari daya rusak ekologis yang selama ini di eksploitasi. Oleh karena itu, menjaga dan melindungi hutan Halmahera adalah hikayat nilai moral dari “Jiko ma-kolano‟ “penguasa teluk”; “Kie ma-kolano‟ “penguasa gunung”; “Kolano

Maluku atau Alam Makolano‟ “penguasa maluku”; dan “Dehe ma-kolano‟ “penguasa tanjung” (baca, M. Adnan Amal. Kepulauan Rempah-rempah:23).

Selain itu, nilai moral dari “bo-boso” (pamali/larangan) yang dapat merusak lingkungan mestinya kembali di hidupkan dan “beseso” (pesan para tetuah) harus menjadi panglima bagi setiap kebijakan yang coba diapit oleh negara (pemerintah) setempat.

Dengan demikian, Halmahera tidak akan kembali terluka dan terbebas dari beban ganda ekologis. “Bergeraklah wahai anak muda para kolano dan kapita Moloku Kie Raha negeri para Raj-raja. Berilah ilham pada rakyat Halmahera. Bergerak bersama, memukul mundur oligarki perusak lingkungan sebelum negeri ini telanjur tenggelam di dalam limba Korporat”.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *