Opini

Politik Demokrasi Pasca Pilkada

×

Politik Demokrasi Pasca Pilkada

Sebarkan artikel ini
iLUSTRASI Pencoblosan. (foto: jawapos.com)

Oleh: Renals Y Talaba SIP MIP

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Halmahera

 

PILKADA merupakan sebuah mekanisme dan prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin di tingkat lokal/sirkulasi kekuasan lima tahunan, baik di tingkat propinsi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, maupun di tingkat kabupaten/kota untuk memilih bupati/wakil bupati dan/atau wali kota dan wakil walikota.

Sirkulasi kekuasaan tersebut disambut antusias oleh segenap warga daerah, dengan pertimbangan argumentasi berfariasi dan asumsi yang logis, misalnya antusias karena pilkada bakal melahirkan pemimpin baru yang lebi baik dari sebelumnya. Asumsi yang lainnya, pilkada hanya sebuah mekanisme dan prosedur lazim, tetapi pemimpin yang sudah diketahui oleh warga, perlu dipertahankan untuk menuntaskan sisa program yang belum dilaksanakan.

Ditinjau dari konsep politik secara normati,  menurut aspek klasik, bahwa politik merupakan “kebaikan bersama”, yang seyogyanya dibicarakan dan diputuskan bersama oleh warga daerah. Secara tersirat, pilkada dapat diterjemahkan sebagai forum untuk membicarakan dan memutuskan kepentingan bersama, kepentingan memilih pemimpin yang nantinya akan mengusahakan kebaikan bersama atau keinginan rakyat.

Dalam realitasnya, secara struktural, menurut pendekatan sistem politik demokrasi, dalam penyelenggaraan pilkada dimungkinkan adanya perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan (konflik) di antara individu dan individu, individu dengan  kelompk, kelompok dengan kelompok dan bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah.

Penyebabnya karena masalah perbedaan kepentingan, yang satu hendak memiliki dan yang lainnya hendak mempertahankan yang sudah dimiliki.

Namun, mekanisme dan prosedur demokrasi juga memungkinkan perlu adanya kesimbangan mengatur konflik hingga tercapainya penyelesaian dalam bentuk kesepakatan (konses). Demikian mekanisme dan prosedur demokrasi yang mestinya menjadi pertimbangan dalam setiap perhelatan pesta demokrasi lima tahunan.

Ditinjau dari aspek politik, menurut ukuran pendidikan politik, Kabupaten Halmahera Utara baru empat kali menyelenggarakan pilkada, itu artinya bahwa warga masyarakatnya dianggap masi muda usianya untuk mendapat pengalaman, mengerti dan mengetahui konsep politik yang seharusnya dan yang senyatanya (normatif dan empirik) serta mengerti dan mengetahu mekanisme dan prosedur pilkada yang demokratis.

Dalam pemilihan kepala daerah tahun 2020, terdapat dua kandidat  yang bertarung yakni petahana dan pendatang baru. Masing-masing calon mengusung slogan/jargonnya sendiri, petahana sendiri mengusung jargon politik “lanjutkan dan tuntaskan”, sementara pendatang baru mengusung jargon politik “gerakan perubahan”.

Tensi politik antar kedua kubu sangat panas, dimana dapat disaksikan bahwa proses pilkada di Kabupaten Halmahera Utara, tidak hanya sampai pada tahapan pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan calon terpilih. Proses ini kemudian berlajut hingga ke Mahkama Konstitusi (MK), yang kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan Suara Ulang (PSU) dan Pemungutan Suara Susulan (PSS), yang perolehan suaranya dimenangkan oleh kandidat petahana. Demikian hiruk pikuk politik demokrasi yang dapat digambarkan pada pilkada serentak tahun 2020 di Kabupaten Halmahera Utara.

Dalam menganalisa kasus pilkada di Kabupaten Halmahera Utara tahun 2020, digunakan pendekatan konflik dan konsensus. Menurut Ramlan Surbakti, dalam ilmu-ilmu sosial, dikenal dua pendekatan yang saling bertentangan untuk memandang masyarakat, yakni pendekatan struktural-fungsional (konsensus) dan pendekatan struktural konflik.

Pendekatan konsensus berasumsi masyarakat mencakup bagian-bagian yang berbeda fungsi tetapi saling berhubungan satu sama lain secara fungsional, bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar suatu nilai yang disepakati bersama sehingga masyarakat selalu dalam keadaan keseimbangan dan harmonis.

Sedangkan pendekatan konflik berasumsi, masyarakat mencakup pelbagai bagian yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Selain itu, masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan dari kelompok yang dominan sehingga masyarakat selalu dalam keadaan konflik.

Dengan demikian, konflik politik dalam pilkada dapat dirumuskan secara longgar sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemeintah.

Menurut Paul Conn, situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum conflict). Situasi konflik ini bersifat antagonistik sehingga tidak mungkin tercapainya kompromi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Tidak mungkin ada kerja sama, karena yang dipertaruhkan adalah harga diri, masalah hidup, jabatan penting dalam pemerintahan, proyek, kekayaan dan hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja (pihak pemenang akan semuanya).

Sedangkan konflik menang-menang ialah suatu situasi konflik dalam mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masi mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut, dimana hasil kompetisi akan dmikmati kedua pihak, tetapi tidak secara maksimal.

Dapat digambarkan pemahaman dan perilaku politik baik kandidat maupun timsesnya dari fenomena kontestasi pilkada tahun 2020, dimana untuk tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan politik, segala daya dan upaya dipergunakan untuk tujuan tersebut, sebagai bentuk riil politik dari “art posible”, yakni menyalurkan kemahiran berpolitik, mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat pemilih, dengan cara dan strategi yang sudah dipersiapkan yang dianggap mutakhir.

Daya dan upaya yang dilakukan oleh masing-masing kandidat dan timses, baik di dunia maya maupun di lapangan, seringkali muncul sebagai isu, opini dan pernyataan terbuka yang memancing publik untuk menanggapinya.

Sejalan dengan konsepsi demokrasi, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama dalam kontestasi pilkada, konflik politik atas dasar kepentingan atau perbedaan pasti selalu ada. Perbedaan pendapat, ide, gagasan, atau aspirasi yang disampaikan dengan berbagai argumen yang mungkin bertentangan atau bertolak belakang.

Kelompk-kelompok masyarakat, kelompok kepentingan dan kekuatan sosial politik yang ada berdasarkan kepentingan kelompoknya dan demi kepentingan tertentu gencar melakukan bargaining demi kepentingannya serta berjuang untuk mencapai tujuan-tujuannya. Dalam posisi seperti inilah sering terjadi benturan dan konflik.

Persoalannya, bagaimana kelompok-kelompok masyarakat itu mengabdikan diri demi kepentingan masyarakat, daerah, bangsa dan negara dan dapat menghindari diri dari sekedar mementingkan dirinya sendiri, kelompok atau golongannya?

Dalam sistem politik demokrasi, kesempatan politik bagi stiap individu dijamin dengan hukum. Setiap individu memiliki kebebasan untuk mengejar tujuan hidupnya. Untuk itu, setiap individu harus menggunakan kesempatan politik dengan menggabungkan diri ke dalam organisasi sukarela untuk bersama-sama mempengaruhi pemerintah, salah satunya mencari dukungan suara untuk seorang calon, sehingga dalam membuat kebijakan setelah terpilih dapat menguntungkan mereka.

Selain itu, demokrasi menekankan persamaan kesempatan ekonomi dari pemerataan hasil oleh pemerintah. Hal ini berarti setiap orang bebas mencari dan mendayagunakan kekayaan sepanjang dalam batas-batas yang disepakati bersama, seperti pesaingan bebas yang wajar, memperhatikan undang-undang anti monopoli, dan peka pada lingkungan hidup, agar tidak terjadi ketegangan antara tujuan-tujuan materil dan tujuan-tujuan moril.

Konflik terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama, tetapi konflik akan selalu menuju ke arah kesepakatan (konsensus). Dengan demikian, politik demokrasi pasca pilkada, ialah bersatu dalam perbedaan. Karena kita terikat dan senantiasa mempertahankan subkultur; suku, daerah, ras, agama dan adat istiadat yang merupakan nilai-nilai kearifan lokal, yang lebih tinggi nilainya dibandingkan kepentingan individu atau kelompok.

Pada sisi yang lain, kita terikat pada lembaga demokrasi, saling percaya dan kesediaan berkompromi dan bekerja sama. Konflik pilkada ialah gejala serba hadir, artinya dapat menimbulkan benturan dan pertentantangan, tetapi keterikatan dan kepercayaan pada sistem politik demokrasi serta pada subkultur dan tujuan bersama, konflik pasca pilkada harus melahirkan konsensus.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *