KECUALI di tingkat Provinsi, seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat Kabupaten/Kota sudah selesai dilakukan tim seleksi (timsel). Setiap daerah pun sudah ada 10 nama yang nantinya disaring lima orang untuk menjadi penyelenggara.
Terlepas siapa yang akan terpilih, publik berharap, seleksi komisioner KPU kali ini melahirkan penyelenggara yang benar-benar professional dan berintegritas.
Sebab, berbicara soal pemilihan umum (Pemilu) khususnya di Malut, yang selalu menjadi sorotan adalah penyelenggara. Kita mungkin bisa berkaca pada karut-marutnya hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur dan wakil gubernur tiga edisi sebelumnya.
Perjalanan pesta demokrasi lima tahunan itu selalu bermasalah hingga berujung konflik social yang muaranya berawal dari penyelenggara. Di Pilgub 2007 misalnya. Terjadinya penggelembungan suara di tiga kecamatan di Halmahera Barat, mengakibatkan pelantikan pasangan terpilih baru dilakukan setahun kemudian.
Hal ini lantas menjadikan Pilgub Malut saat itu sebagai Pilkada terlama dan terpanjang di Indonesia. Serajah kelam di tahun 2007 pun berlanjut pada Pilgub edisi 2013 dan 2018 yang juga akar masalahnya dari penyelenggara.
Memang, jika dibandingkan dengan pemilihan presiden (pilpres) di Malut, hamper tidak muncul masalah sama sekali. Tapi, mengingat Pilpres kali ini berbarengan dengan pemilihan legislatif yang itu melibatkan banyak kontestan (caleg). Maka potensi terjadinya pelanggaran oleh penyelenggara terbuka lebar.
Kita mungkin ingat pada Pileg 2014 lalu. Dimana KPU Malut juga harus menggelar perhitungan suara ulang akibat adanya perselisihan jumlah suara caleg DPR RI.
Karenanya, tantangan penyelenggara di pemilu kali ini cukup besar. Apalagi, sesuai pemetaan yang dilakukan Polri, Malut masuk dalam 10 besar daerah paling rawan di Pemilu.
Yang patut dikhwatirkan juga kualitas mereka yang nantinya lolos seleksi dan menjadi penyelenggara. Mepetnya tahapan seleksi dengan hari pencoblosan yang tinggal hitungan pecan, sudah barang tentu menuntut penyelenggara yang betul-betul siap.
Mengingat mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan tugas-tugas kemepiluan.
Memang, jika melihat nama-nama yang diumumkan timsel yang sebagian besar didominasi petahana, tentu tidak terlalu menjadi persoalan. Sebab mereka sudah kenyang pengalaman soal kepemiluan.
Tapi patut diingat, pemilu kali ini tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Tugas mereka tidak hanya mengawal proses demokrasi berjalan jujur dan adil. Tapi lebih dari itu harus menjamin dan mengawal agar suara rakyat tersalurkan dengan baik.
Maka dari itu, menghadapi pesta dmeokrasi kali ini, pemahanan soal kepemiluan saja tidak cukup. Butuh integritas kuat dari seorang penyelenggara agar sejarah kelam pemilu sebelumnya tidak terulang lagi di pemilu kali ini. (*)