HalutNasional

196 Kades di Halut Tajir, Terima Rp2,4 Juta Per Bulan

×

196 Kades di Halut Tajir, Terima Rp2,4 Juta Per Bulan

Sebarkan artikel ini
Infografis besaran gaji perangkat desa berdasarkan PP No. 11 Tahun 2019. (Infografis: harianhalmahera)

HARIANHALMAHERA.COM— Sebanyak 196 orang kepala desa (Kades) di Kabupaten Halut beserta perangkatnya, kini tersenyum lebar. Gaji mereka mengalami peningkatan cukup tajam. Lebih dari 100 persen.

Menyusul Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Peraturan Pemerintah No.11/2019 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Berdasarkan keterangan tertulis yang dirilis di laman Sekretariat Kabinet, Senin (11/3), pemerintah mengubah pasal 81 yang mengatur tentang besaran gaji perangkat desa.

Dalam ayat (1) disebutkan, penghasilan tetap diberikan kepada kades, sekretaris desa (sekdes), dan perangkat desa lainnya dianggarkan dalam APBDesa yang bersumber dari ADD.

Pada ayat (2) bupati atau wali kota menetapkan besaran penghasilan

tetap kades, sekdes, dan perangkat desa lainnya dengan ketentuan besaran penghasilan tetap kades minimal Rp2,42 juta atau setara 120 persen gaji pokok PNS golongan II/a.

Kemudian, penghasilan tetap Sekdes minimal Rp2,22 juta atau setara 110 persen gaji pokok PNS golongan II/a, dan penghasilan tetap perangkat desa lainnya paling sedikit Rp2,02 juta atau setara 100 persen dari gaji PNS golongan II/a.

“Dalam hal ADD tidak mencukupi untuk mendanai penghasilan tetap minimal kades, sekdes, dan perangkat desa lainnya sebagaimana dimaksud dapat dipenuhi dari sumber lain dalam APBDesa selain Dana Desa,” bunyi Pasal 81 ayat (3) PP ini.

Menurut Pasal 81 A PP ini, penghasilan tetap kades, sekdes, dan perangkat desa lainnya diberikan sejak PP ini mulai berlaku. Dalam hal Desa yang belum dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud, maka pembayarannya diberikan terhitung mulai Januari 2020.

Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho mengatakan, meski kebijakan ini sudah diteken, namun realisasinya baru bisa paling lambat 2020. Alasannya pembayaran penghasilan tetap (siltap) tidak hanya dari APBN, namun juga APBD setiap provinsi dan kabupaten/kota.

Selain itu, merujuk UU Otonomi Daerah, perubahan APBD harus melalui berbagai prosedur, termasuk pembahasan bersama dewan. Sehingga implementasi siltap baru bisa masuk dalam perencanaan APBD 2020.

Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, gaji perangkat desa itu akan bersumber dari APBDesa. Namun, hal tersebut tidak akan mengganggu pembangunan desa. Sebab prioritas APBDesa tetap diperuntukkan buat pembangunan.

“Sebagian besar 70 persen tetap dipakai untuk pembangunan daerah,” kata Sri Mulyani, dikutip financedetik.

Kenaikan gaji para perangkat desa ini perlu diimbangi dengan peningkatan akuntabilitas mereka. Mengingat fakta mengenai kasus rasuah di tingkat desa masih kerap terjadi.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kepala desa menjadi bagian dari pelaku terbesar dalam kasus penyelewengan anggaran desa. Bahkan, sektor pemerintahan dan infrastruktur menjadi ladang basah korupsi ADD dan DD dalam satu dekade terakhir.

Hal itu terjadi lantaran minimnya pengawasan dan akuntabilitas pelaksanaan program di desa. Kades kerap menjadi aktor rasuah yang paling banyak dibandingkan perangkat desa lainnya atau pihak rekanan.

“Kekuasaan kepala desa sangat besar dalam pengelolaan dana desa, jadi mekanisme (penggunaannya) harus terbuka. Selama ini tidak terbuka karena takut ketahuan,” ujar Direktur Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi kepada beritagar.id.

Diketahui, dari 122 terdakwa, 78,7 persen merupakan kades, disusul dengan bendahara desa (8,2 persen). Staf desa lainnya (4,9 persen), dan lainnya (8,2 persen).

Peneliti ICW Egi Primayogha menegaskan, dalam Laporan ICW terungkap minimnya pengawasan dan pelibatan masyarakat dalam seluruh proses pengelolaan dana desa. Ini mendorong terjadinya korupsi.

“Dari proses perencanaan, kemudian saat pengadaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban harus diperbaiki. Pengawasan terhadap prosesproses tersebut di desa selama ini lemah,” ujar Egi.

Dia berpendapat lembaga seperti BPD belum bisa menjalankan tugasnya untuk mengawasi anggaran desa. Bahkan di sejumlah kasus, pelaku korupsi adalah BPD sendiri atau bersama dengan kepala desa.(dtf/btg/pur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *