AdvertorialEdukasiHalutZona Kampus

Dari Diseminasi Perlindungan Habitat Bertelur Burung Mamoa Berbasis Lokal: Lestarikan!

×

Dari Diseminasi Perlindungan Habitat Bertelur Burung Mamoa Berbasis Lokal: Lestarikan!

Sebarkan artikel ini
LESTARI: Pemateri dan peserta diseminasi perlindungan habitat bertelur burung mamoa, foto Bersama usai kegiatan. (foto: tim CEPF-Uniera)

HARIANHALMAHERA.COM– Upaya perlindungan burung mamoa di Kabupaten Halut, khususnya di Desa Simau, Kecamatan Galela, mendapat dukungan dari semua komponen. Mulai pemerintah hingga masyarakat. Bahkan, habitat bertelur burung endemik Maluku-Maluku Utara ini akan menjadi program terencana dari tingkat desa hingga kabupaten.

Hal ini terungkap dari pelaksanaan diseminasi perlindungan habitan bertelur burung mamoa yang digelar tim Uniera-CEPF. Bahkan, ke depan habitat bertelur burung mamoa ini akan dijadikan salah satu destinasi wisata konservasi.

Menariknya lagi, diseminasi yang dipandu Bayu Sadjab dari tim Uniera-CEPF turut menghadirkan Eliza Marthen Kissya. Seorang kewang atau pemegang otoritas hukum adat Negeri Haruku. Negeri ini berada di Pulau Haruku, salah satu pulau di Kepulauan Lease yang terletak di sebelah Timur Pulau Ambon. Pulau Haruku masuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Om Eli, sapaannya, turut menjaga telur mamoa atau burung gosong (maluku) dari segala ancaman hingga menetas dan dikembalikan ke alam juga dilakukan Eli. Bahkan di rumahnya, om Eli sengaja membangun labolatorium mini penangkaran burung yang hanya hidup di Maluku-Maluku Utara ini.

Untuk kepeloporannya, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup menganugerahkan penghargaan tertinggi nasional di bidang lingkungan hidup, hadiah Kalpataru, pada tahun 1985.  Eli juga menerima Satya Lencana pada 1999, Coastal Award  pada 2010, penghargaan sebagai tokoh inspiratif dalam penanggulangna bencana oleh Badan Nasional penanggulanagn Bencana (BNPB) pada 2012, dan Anugerah Kebudayaan untuk kategori Maestro Seni Tradisi pada 2017.

“Libatkan seluruh komponen masyarakat, terutama anak muda. Aturan tradisional (adat), juga penting dihidupkan lagi untuk menjaga kelestarian lingkungan,” kata Om Eli.

Usul ini, didukung Yayasan Baileo. Disebutkan, dari berbagai ancaman terhadap mamoa, faktor yang paling mengancam adalah manusia. “Karena itu larangan harus dibuat secara bersama-sama agar dapat bertanggungajawab bersama. Aturan lama (adat) sebaiknya dihidupkan sehingga itu dapat dipegang dan bersifat partisipatif. Agar semua pihak bersama-sama bertanggungjawab,” usul Yayasan Baileo.

Upaya pelestarian burung mamoa ini juga mendapat dukungan dari Pemkab Halut dan BKSDA Malut. Tidak sekadar dukungan program, tapi juga menyangkut anggaran. “Kami mengapresisasi kepada tim CPEF-Uniera yang konsen terhadap pelestarian Gosong Maluku. Kolaborasi uniera dan balitbang kedepan seperti penelitian. Data penelitian terkait pelestarian burung Mamoa dibutuhkan dan balitbang siap membantu,” kata Elen dari Balitbang Halut.

Pemateri diseminasi Radios Simanjuntak SHut MSi dan Ronald Kondo Lembang SHut, MHut menilai, profil wisata mangrove dan burung mamoa perlu dibuat dan dipromosikan ke hotel-hotel atau pengelola wisata ditempat lain agar bisa dikoneksikan. “Mengingat sudah banyak wisatawan yang datang di objek wisata di Halut seperti Pulau Meti,” usul Radios.

Diseminasi ini juga turut memberikan apresiasi kepada Komunitas Salabia yang selama ini fokus menjaga habitat bertelur burung mamoa, bahkan turut melakukan penangkaran. “Kami siap memberikan dukungan untuk pelestarian burung mamoa yang sudah menjadi ikon Desa Simau,” pemerintah dan desa Simau secara bergantian, mulai dari kades dan kepala BPD Desa Simau.

Diakhir diseminasi, komunitas Salabia yang terdiri dari anak-anak muda Desa Simau menyebutkan, sejak terbentuk tim monitoring pada tahun 2016 dan disahkan pada tahun 2019 melalui SK kepala desa, mereka sudah melepasliarkan 80 ekor mamoa. “Saat ini masih ada 12 ekor dalam penangkaran. Sekira 100 telur belum menetas. Agenda saat ini, kami tetap melaksanakan sekolah alam, penanaman mangrove,” sebut perwakilan komunitas Salabia, sembari berharap wisata khusus mamoa perlu diseriusi dengan diawali kajian yang terpadu.

Diseminasi ini diikuti Pemerintah Desa Kao, Pemerintah Desa Simau, komunitas Salabia, Yayasan Baileo, Yayasan Burung Indonesia, Pemkab Halut, dan BKSDA Malut.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *