HARIANHALMAHERA.COM–Pola komunikasi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penanganan penyebaran covid-19, perlu diperhatikan. Pemerintah harus memberikan pedoman, khususnya tim yang ditugaskan di lapangan. Mulai aparat desa, kecamatan, hingga tim satgas desa.
Sebagaimana diperoleh wartawan koran ini saat melakukan pemantauan di beberapa desa yang menggelar program vaksinasi, Sabtu (31/7) ternyata sempat menimbulkan ketegangan antara warga dengan tenaga kesehatan (nakes).
Warga kecewa. Karena saat itu sempat keluar kalimat bernada ancaman dari beberapa nakes kepada warga yang tidak ingin divaksin. Menurut penuturan salah satu warga yang minta identitasnya tidak dikorankan, saat itu di desanya tidak banyak yang ikut vaksinasi.
“Mungkin mereka (nakes) kecewa karena tidak capai target, sehingga keluar kalimat yang menurut kami (warga) tidak pantas diucapkan. Beberapa nakes menyebut kalau tidak mau divaksin, nanti tidak akan diberikan bantuan (BLT) dari pemerintah,” ucap warga.
Warga lainnya yang merupakan penerima BLT, sempat naik pitam saat itu. “Jika bantuan, lalu ditakuti dengan vaksin, kalian makan saja BLT. Juga hanya Rp 300 ribu, kenapa kalian bicara seperti itu. Kami rasa itu tidak pantas,” ucapnya, mengulang pernyataannya kepada para nakes.
Lanjut dia, soal bantuan itu haknya masyarakat. Demikian juga vaksin juga haknya warga. Jika warga tak ingin melakukan vaksin, tidak perlu dipaksa. “Kami meragukan dengan adanya vaksin. Jangan kalian paksa. Kami berharap agar para nakes bekerja profesional. Jangan menakuti-nakuti warga,” tandasnya.
Kondisi serupa hampir terjadi di desa lain. Banyak warga yang ‘melarikan diri’ ke kebun lantaran takut divaksin. Di desa ini, warga memiliki alasan lain kenapa mereka takut divaksin. Seperti penuturan salah seorang, bahwa dirinya tak ingin dirinya dan keluarganya divaksin karena mereka takut dampak dari vaksin.
“Beberapa teman di daerah Loloda, mereka meninggal setelah diberikan vaksin. Karena itu saya sangat khawatir apabila keluarga saya sampai di vaksin,” bebernya.
Dia juga menceritakan, warga yang menolak divaksin dikejar hingga ke rumah oleh tim nakes sembari membawa aparat kepolisian. Menurutnya ini aneh. “Masa kita yang sehat tidak mau divaksin tapi dipaksa. Ini tidak masuk akal,” ucapnya.
“Saya sempat adu mulut karena tetp tak mau divaksin. Lalu para aparat mereka sempat mengancam, lantaran target mereka tidak tersampai mereka mengatakan, ‘bapak kalau kamu tidak mau, kami akan panggil teman-teman kami lalu memaksakan untuk melakukan vaksin,’ ucap aparat itu,” katanya kepada wartawan.
Diketahui, saat ini tim satgas mulai lebih giat melakukan vaksinasi langsung di desa-desa. Langkah itu diambil sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran virus di Kabupaten Halut yang saat ini sudah di zona merah (darurat covid).
Sebagaimana catatan Satgas Covid-19 Pemkab Halut, semua kecamatan di Halut mengalami penambahan kasus positif pada Sabtu (31/7), akhir pekan kemarin. Saat ini untuk kasus aktif terbanyak berada di Kecamatan Tobelo sebanyak 417 kasus. Diikuti Kecamatan Tobelo Tengah sebanyak 273 kasus. Diikuti Kecamatan Malifut dan Kao, masing-masing 135 dan 131 kasus (selengkapnya lihat grafis, red).
Di sisi lain, program vaksinasi di Halut terbilang sedikit mengalami hambatan. Terutama di desa-desa yang jauh dari pusat pemerintahan. Banyak warga tak percaya dengan keampuhan vaksin. Bahkan ada yang tidak percaya dengan keberadaan virus. Mereka menilai, vaksinasi dilakukan karena ada anggarannya. “Kan jika ada yang positif, maka biaya atas satu kasus sebesar Rp 90 juta,” beber warga.
“Karena itu mereka tetap melaksanakan tugas meskipun warga tidak mau menerima vaksin. Di sini kami hidup sehat saja. Jadi kalau aturan protokol kesehatan diterapkan, kami harap di kota (Tobelo, red) saja,” sambung warga.
Terkait dengan penolakan sejumlah warga di desa, dan adanya pemaksaan serta ancaman tidak diberikannya BLT kepada warga yang tidak mau divaksin, belum mendapat konfirmasi dari Dinas Kesehatan (Dinkes). Upaya konfirmasi belum dijawab hingga berita ini dicetak.(tr-05/fir)
Respon (1)