Kalau kita melihat angka-angka, Indonesia itu masih hebat. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Amitohu. Rahayu.
Teman saya di luar negeri terus terheran-heran. Setengah tidak percaya. Dulunya mereka terheran oleh tidak adanya Covid-19. Ketika negara lain sudah pada panik. Sekarang mereka terheran karena tidak adanya ledakan. Pertambahan jumlah penderitanya stabil di kisaran angka 115/hari. Seperti disetel saja. Itu pun baru belakangan. Sampai kemarin.
Ketika jumlah penderita di Malaysia sudah mencapai 3.200 lebih, Indonesia masih 1.790. Padahal penduduk kita sembilan kali lipat Malaysia.
Saya tidak bisa memberikan penjelasan kepada teman-teman itu: mengapa. Sama dengan ketika Covid-19 belum juga masuk ke Indonesia: mengapa.
Memang jumlah yang meninggal di Indonesia termasuk tinggi: 170. Bandingkan dengan Malaysia yang 50 orang. Demikian juga jumlah dokter yang meninggal di Indonesia. Sudah 17 orang. Di Malaysia hanya satu dokter –itu pun pulang dari Turki. Bukan tertular di garis depan pengabdian.
Saya sengaja tidak membandingkan dengan Singapura –yang serba baik itu. Juga tidak membandingkan dengan ‘kelompok negara 100.000 ke atas’ seperti Amerika Serikat, Italia dan Spanyol. Pun tidak membandingkan dengan ‘kelompok negara 10.000 ke atas’ seperti negara-negara Eropa Barat.
Dilihat dari bagusnya angka-angka itu betul saja kalau ada yang mengatakan Indonesia belum waktunya lockdown. Tapi betul juga yang mengatakan harus segera lockdown –mumpung belum terlambat.
Yang jelas, sekarang ini, tanpa ledakan jumlah penderita pun kualitas hidup kita sudah merosot. Dan akan terus merosot. Tukang pijat, spa, salon, ojol, taksi, tukang parkir, dan seterusnya mulai kelimpungan.
Saya perkirakan bahaya berikutnya akan datang: meledaknya kasus kriminalitas. Sepeda motor harus dijaga. Ponsel jangan dibiarkan.
Jangan bawa banyak uang kontan. Harus lebih hati-hati.
Maka penetapan jam malam di beberapa daerah sangatlah baik. Bukan hanya soal virus. Tapi juga soal kriminalitas.
Perlunya lockdown juga harus dilihat dari segi keamanan itu.
Konsekwensinya memang biaya. Rasanya kita akan sepakat kalau orang miskin harus disantuni. Semua orang miskin digaji saja. Selama 3 bulan lockdown. Tidak peduli mereka punya cicilan sepeda motor atau tidak.
Anggap saja ada 100 juta keluarga yang harus digaji Rp 1,5juta/bulan. Nilainya tetap lebih kecil dibanding runtuhnya ekonomi negara.
Semua proyek dibatalkan saja. Tidak apa-apa kan tidak punya jembatan baru, gedung baru, jalan baru, sekolah baru, dan segala macam yang baru –termasuk yang baru satu itu.
Sesekali negara menggaji rakyatnya. Gaji itu larinya akan ke ekonomi juga. Ke daya beli. Uangnya muter.
Kalau semua orang miskin digaji negara akan aman, ekonomi aman, politik aman, hukum aman, yang punya uang juga aman.
Kalau pun tidak ada lockdown, jaminkan kepada rakyat, angka kriminalitas tidak naik. Juga tidak ada perampokan-perampokan. Jangan sampai lolos dari virus tapi mati di tangan perampok.
Terlepas akan ada lockdown atau tidak, saya melihat ke masjid. Ke pentingnya masjid di zaman Covid-19 ini.
Masa seperti inilah yang akan membuat masjid sangat strategis untuk menyelesaikan masalah sosial.
Kalau saja setiap masjid memiliki daftar orang miskin di sekitarnya alangkah masjid bisa dipakai sentral penyelesaian masalah. Masjid bisa menjadi jembatan antara yang kaya dan miskin.
Gereja mungkin juga bisa diperankan seperti itu. Tapi masjid lah yang umumnya berada langsung di tengah masyarakat miskin.
Tapi ini memang memerlukan kepengurusan masjid yang modern –cara berpikirnya.
Tentu negara juga punya database orang miskin. Yang sudah sangat rinci. By name. By address.
Terserahlah.
Tapi saya sungguh kagum dengan kerelaan banyak masjid mengutamakan keselamatan umat manusia. “90 persen masjid di NTB tidak menyelenggarakan salat Jumat,” ujar Gubernur NTB, Dr Zulkieflimansyah kepada saya tadi malam. “Hari ini mungkin 95 persen,” tambahnya.
Padahal NTB sempat yang paling dikhawatirkan. Terutama Lombok. Yang mendapat gelar ‘Pulau Seribu Masjid’.
Saya pun mendapat kiriman pidato Bupati Lombok Timur, Sukiman Azmy. Yang begitu tegas. “Semua masjid harus ditutup. Yang melanggar bawa ke kantor polisi,” katanya.
Ia tidak mau banyak berdebat soal alasan. “Kurang berkah apa Masjidil Haram di Makkah. Ditutup. Kurang hebat apa para ulama di Al Azhar, Kairo, Mesir. Mereka telah berfatwa agar masjid ditutup,” kata Sukiman Azmy.
Memang Masjid Agung Surabaya tetap melaksanakan salat Jumat siang nanti. Tapi SOP-nya begitu ketat. (Baca DI’s Way:Masjid Jarang).
Ditambah rencana baru: agar masing-masing membawa sandal/sepatu yang sudah dimasukkan kantong plastik ke dalam masjid. Untuk diletakkan di sebelah masing-masing. Agar selesai salat tidak perlu bergerombol di tempat sandal.
Gereja-gereja juga sudah meliburkan kebaktian bersama di hari Minggu. Yang awalnya juga agak seret. Saya sempat mendapat kiriman video seorang pendeta yang mengajak umatnya jangan takut virus. Dengan alasan gereja itu rumah Tuhan. Kematian itu di tangan Tuhan.
Bahkan pendeta itu turun dari panggung. Berjalan menuju tempat duduk umat. “Jangan takut. Ayo kita pelukan,” katanya dalam khotbahnya.
Lalu jemaat yang di depan itu berdiri. Melayani pelukan sang pendeta.
“Ayo. Pelukan,” katanya lagi. Sambil mengajak jemaat di sebelah yang pertama untuk juga pelukan.
Begitulah seterusnya. Sampai tiga jemaat diajak pelukan.
Saya kenal pendeta itu. Saya pernah hadir di salah satu khotbahnya. Tapi saya tidak tega menegurnya via WA.
Saya pun mendengar seminggu kemudian kebaktian di gereja itu sudah ditiadakan.
Di Israel juga ada problem serupa. Dari jemaah Yahudi Ortodok.
Di negara kecil itu sudah lebih 6.000 warganya yang terkena Covid-19. Meski yang meninggal hanya 33 orang.
Jadi, saya memilih lockdown atau tidak?
Saya memilih sulit menjawab pertanyaan teman-teman di luar negeri.(dis)