HARIANHALMAHERA.COM – Datangnya virus SARS jenis baru ini memang membuat waswas banyak paramedis. ’’Karena kami masih nggak tahu harus seperti apa. Semuanya baru,’’ ucap Fitriana Amd Kep, perawat di National Hospital Surabaya.
Selain lelah fisik, tekanan psikis itu tak kalah berat. Membuat sejumlah rekan Fitri tumbang karena sakit. Terutama pada masa awal mereka ditempatkan di IGD tambahan khusus pasien Covid-19 .
Mendadak mereka jadi mudah lelah, pusing, pegal, hingga demam. Sakit itu terjadi bergiliran. Namun, mereka tidak menyerah. ’’Ini sudah profesi pilihan saya,’’ tegas Fitri.
Tiap hari mereka harus menghadapi beragam jenis pasien. Tindakan yang dilakukan juga beragam. Mulai pengambilan sampel darah dan swab hingga penanganan kedaruratan. ’’Kalau hanya gawat, kami memang harus terlatih menangani. Tapi, Covid-19 ini juga menambah beban lain,’’ ujar dr Go Jong Tien.
Tim dokter tak jarang harus mencarikan rujukan rumah sakit lain untuk penanganan kasus. Jangan berpikir bahwa hal tersebut cuma perkara administrasi. Pemilihan rujukan juga berdasar keakutan gejala yang dialami pasien. ’’Kami rasa RS ini yang bisa tangani. Pas dicek, ternyata penuh. Atau kosong, ternyata harganya nggak cocok bagi pasien,’’ ungkapnya. Kalau sudah begitu, dokter dan perawat harus mengulang lagi pencarian dari awal.
Kadang Go berjaga melebihi jam sifnya. Bahkan, tak jarang dia bekerja sampai satu setengah sif karena pasien yang ditangani belum mendapat rujukan. ’’Meski ngantuk, ya diteruskan. Kan tanggung jawab, to? Mbelani tidak tidur meski sudah ada dokter sif selanjutnya,’’ ucapnya.
Saat tak ada pasien di IGD, Fitri dan teman sejawat sebisa-bisanya melepas stres. Entah dengan bercanda atau melihat video hiburan. Namun, kadang masih ada setumpuk data dan administrasi yang memburu untuk diselesaikan.
Selain pola bekerja yang berubah, seragam perawat yang biasa dikenakan Fitri kini tak lagi memadai dalam menemaninya bertugas. Hazmat suit, masker N95 yang kemudian dilapisi masker bedah, goggle atau face shield jadi pakaian wajib setiap hari. Demi menjaga kesehatan diri sendiri. Fitri harus berangkat 30 menit lebih awal agar bisa bersiap melengkapi diri dengan APD lengkap sebelum mulai berjaga. ’’Ingat awal-awal AC di sini belum selesai, terasa panas sekali pakai hazmat,’’ kenangnya.
Ketakutan membawa virus itu termasuk salah satu yang membuat tenaga medis tertekan. Untuk pergi ke kamar mandi saja, mereka mesti memastikan bahwa kamar mandi tersebut tidak untuk umum. Saat sif berakhir, Fitri mesti mengganti seluruh pakaiannya dan mandi di rumah sakit sebelum pulang. ’’Di rumah juga mandi lagi. Paling berat kalau anak-anak mau peluk dan cium menyambut. Nggak boleh begitu lagi,’’ tuturnya.
Meski sudah dua kali mandi, ibu dua anak tersebut tetap gamang memeluk anaknya yang berusia 6 dan 8 tahun itu. ’’Selalu ada takut. Kalau ada virus nempel, bagaimana?’’ ujarnya.
Motivasi utama mereka untuk tetap berjuang adalah kemanusiaan. ’’Saya cuma bayangkan, kalau keluarga sendiri yang kena, bagaimana?’’ ucap Go. Karena itu, harus membantu sebisanya, semampunya. Itulah mantra yang jadi pegangan tiap hari menuju ke rumah sakit.(jpc/pur)