Sebenarnya lebih aman nulis durian daripada BBM. Durian tidak sensitif –meskipun saya harus membahas revolusi di dalamnya: revolusi durian.
Apalagi pembaca DI’s Way sudah punya ide untuk melakukan revolusi itu. Cobalah baca lagi komentar Kamis lalu.
”Pohon-pohon durian tradisional itu tidak harus ditebang,” tulis komentar itu, kurang lebih. ”Potong dahannya, sambung dengan dahan durian unggul,” tambahnya.
Kelihatannya ia (dia?) itu ahli durian. Tahu begitu mendalam soal cocok tanam durian. ”Komentar itu benar sekali,” ujar Djohan Aping, pemilik perkebunan durian di Bangka.
Ahli durian di Trawas, Jatim, juga punya pikiran yang sama. Pak Tirto, pengusaha kecap AAA Surabaya itu memang punya kebun durian. Tidak seluas Djohan. Hanya untuk hobi.
Pak Tirto mengirimi saya 9 bibit durian musang king. Juga menawari saya untuk mengubah beberapa pohon durian saya yang tidak kunjung berbuah.
”Itu durian jenis apa?” tanyanya saat melihat durian di kebun saya.
”Tidak tahu,” jawab saya.
”Mengapa tidak kunjung berbuah?” tanyanya lagi.
”Tidak tahu.”
”Terus mau diapakan pohon itu?”
”Tidak tahu.”
Ia pun paham. Saya tidak paham durian. Ia tahu. Saya hanya pemakan durian. Maka ia menawari ini: akan menancapkan dahan durian unggul di batang durian yang sudah ada itu.
Berarti, sebenarnya, tidak terlalu sulit melakukan revolusi durian kita. Hanya saja diperlukan ilmunya. Yakni bagaimana batang durian lama bisa di-top working dengan durian unggul.
Tehnik top working itu juga tidak terlalu berisiko. Gagal sekali pun durian lama tetap hidup. Demikian juga bibit durian unggul yang ditempelkan ke pohon lama itu. Tetap bisa hidup mandiri dan bisa ditanam di lokasi lain.
Memang pemilik pohon lama harus membeli bibit durian unggul. Yang masih kecil. Masih di polibag. Batang bibit unggul itu dilukai. Untuk ditempel di pohon durian lama –yang juga dilukai. Lalu dibebat.
Kalau bibit unggul tadi berhasil menyatu dengan pohon lama berarti berhasil. Batang bagian bawah bibit unggul pun sudah bisa dipotong.
Jangan dibuang. Siapa tahu dengan polibag yang masih baik itu pokok bibit tersebut masih bisa trubus lagi.
Begitu bibit unggul yang menempel di pohon lama tumbuh membesar, pohon lama bisa dipotong. Dibuang.
Jadilah pokok durian lama itu berpohon durian unggul. Yang bisa cepat besar.
Berarti jalan menuju revolusi itu ada. Tinggal di mana harus belanja kemauan.
Tapi itu juga belum cukup.
Kan masih ada pembaca DI’s Way yang meragukan kehebatan durian namlong dan super tembaga dari Bangka itu (Baca DI’s Way: Super Tembaga). Belum tentu sama-sama tembaganya sama enak pula rasanya.
”Sama-sama durian dari satu pohon pun bisa beda rasanya,” komentar pembaca DI’s Way di hari yang sama.
”Itu benar sekali,” ujar Djohan kepada saya kemarin. ”Sama-sama super tembaga rasanya juga bisa beda,” tambah Djohan.
Ups… Menyesal saya telah mempromosikannya.
Akankah saya harus merasa berdosa lagi?
”Tidak pak. Itu jadi tantangan kami di sini,” ujar Djohan. ”Bisa kita atasi,” tambahnya.
Djohan sudah mendalami soal membuat keseragaman rasa itu. Termasuk sudah mencari tahu mengapa rasa durian musang king kok bisa seragam.
Semua itu tergantung di budi dayanya. ”Durian kita itu pak, begitu tidak ada hujan satu bulan saja rasanya sudah berubah,” ujar Djohan.
Demikian juga pemupukannya. Beda pupuk sudah beda rasa.
”Karena itu di kebun saya nanti akan menggunakan sistem pengairan drop,” ujar Djohan.
Dengan demikian tidak lagi tergantung hujan.
Untuk itu Djohan harus membeli teknologi pengairan air menetes itu. Yang mahal itu. Yang awalnya ditemukan oleh Israel itu.
Berarti Djohan akan menggelar pipa air di seluruh kebun duriannya yang 200 hektare itu. Harus ada pipa dari pohon ke pohon. Seperti yang dilakukan keluarga Djarum untuk perkebunan tebunya di Sumba Timur.
Pentingnya irigasi air menetes itu tidak hanya untuk air. Juga untuk mengalirkan pupuk. Yang untuk durian, pupuknya harus khusus: tidak mau pupuk kimia. Bahkan tidak mau pupuk kandang. Kalau bisa pupuknya dari campuran sisa-sisa ikan yang dihancurkan.
Djohan memang sudah bertauhid di bidang perkebunan. Pabrik smelter timahnya sudah ia tutup.
”Begitu menerima kalpataru dulu, pabrik smelter saya tutup,” katanya. ”Saya tidak mau mencemari lingkungan. Masak penerima kalpataru punya smelter timah,” katanya.
Ternyata Djohan ini pemenang Kalpataru tahun 2008. Itulah penghargaan tertinggi untuk orang yang berjasa di bidang pemeliharaan lingkungan hidup. Ia tidak mengira. Ia tidak pernah merasa berusaha mendapatkan kalpataru.
Djohan awalnya hanya mengagumi Pulau Phuket. Di Thailand itu. Yang daya tarik wisatanya luar biasa. Padahal Phuket itu dulunya tambang timah –seperti Bangka.
Djohan lantas memelopori penanam pohon di areal tambangnya. Berpuluh-puluh ribu pohon. Siapa tahu kelak bisa jadi daerah wisata.
Itulah yang membuatnya menerima Kalpataru.
Sekaligus membuat ia malu memiliki pabrik smelter. Kebetulan pabrik kelapa sawitnya hampir jadi. Karyawan pabrik smelter itu ia alihkan ke pabrik kelapa sawit.
Djohan kini juga menanam jeruk. Sudah lebih 100 hektare.
Durian dan jeruk akan menjadi masa depannya. Bukan lagi kelapa sawit.
”Saya sudah sarankan agar rakyat jangan didorong terus tanam kelapa sawit,” ujarnya. ”Hasilnya sangat minim.”
Djohan pun memberi gambaran konkret: sama-sama punya tanah satu hektare hasilnya begitu berbeda. Ditanami sawit hanya mendapat Rp 10 juta. Ditanami jeruk bisa dapat Rp 100 juta. Ditanami durian bisa dapat Rp 500 juta. ”Ibaratnya seperti itu,” ujar Djohan.
Peluang ternyata ada di mana-mana.
Kemauan yang masih tetap langka. (dis)