HARIANHALMAHERA.COM – Semestinya kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilakukan sejak dua tahun lalu. Namun, karena pertimbangan politik, pemerintah menghindari keputusan tersebut. Hal itu diungkapkan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.
Timboel menuturkan, kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang tidak bisa dihindari. Paling tidak dua tahun sekali ada penyesuaian tarif yang diamanatkan dalam pasal 27 ayat 2 UU SJSN dan pasal 38 ayat 1 Perpres Nomor 82 Tahun 2018. ”Amanat kenaikan ini diatur di perpres, seperti Perpres No 19 Tahun 2016 dan Perpres No 111 Tahun 2013,” jelasnya kemarin (16/5) sebagaimana yang dilansir Jawa Pos
Pemerintah mengikuti aturan itu pada 2016, yakni dua tahun sejak besaran iuran terakhir ditetapkan pada 2014. Tertuang dalam Perpres Nomor 19 Tahun 2016. Namun, kata Timboel, aturan tersebut tidak dilaksanakan pada 2018 yang seharusnya sudah masuk tahun penyesuaian iuran. ’’Alasannya hanya satu. Yaitu, takut gaduh karena 2018 adalah tahun yang dekat dengan tahun Pemilu 2019. Waktu itu sudah masa kampanye,” ujarnya.
Kenaikan iuran digeser setelah pemilu dengan lahirnya Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Menurut Timboel, itu alasan yang bisa dimengerti secara politik elektoral. Konsekuensinya, pemerintah harus menggelontorkan tambahan dana dari APBN ke pos BPJS Kesehatan sebesar Rp 10,2 triliun yang dibayarkan dalam dua termin.
Namun, utang klaim yang belum dibayarkan ke RS masih Rp 9,1 triliun sehingga utang BPJS Kesehatan itu terbawa ke 2019. Hal tersebut harus ditebus dengan menaikkan iuran pada 2020 meski situasi sedang sulit bagi rakyat karena pandemi Covid-19. ”Pemerintah memaksakan kenaikan iuran peserta mandiri kelas I dan II pada 1 Juli 2020 dan kelas III pada 1 Januari 2021,” katanya.
Timboel berharap pemerintah menaikkan iuran saat pandemi sudah membaik sehingga masyarakat bisa membayar iuran JKN. Saat ini daya beli masyarakat sedang turun drastis. Jika dipaksakan, peserta mandiri akan kesulitan untuk membayar iuran. Peserta nonaktif semakin meningkat sehingga hak konstitusional masyarakat peserta mandiri tidak bisa digunakan karena JKN tidak menjamin lagi.
Kepala Humas BPJS Iqbal Anas Ma’ruf mengungkapkan, perpres kenaikan iuran BPJS sudah dipertimbangkan dengan matang. Dalam pembayarannya pun, akan ada keringanan. ’’Misalnya, jika peserta menunggak dua tahun, cukup dibayarkan 6 bulan dulu,” jelasnya.
Iqbal menegaskan bahwa kenaikan hanya berlaku untuk kelas I dan II. Untuk kelas III, kenaikan hanya tertuang di perpres. Dalam implementasinya, pembayaran tetap Rp 25.500 karena yang Rp 16.500 disubsidi pemerintah.
Dia juga menyebut pemerintah sudah mempertimbangkan banyak hal. Termasuk melakukan efisiensi di internal BPJS. ’’Kami melakukan efisiensi operasional. Meniadakan kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan tupoksi. Personel juga disesuaikan dengan kebutuhan,” jelasnya.(jpc/pur)