Oleh: Kuswandi
Jurnalis JawaPos.com
KAMIS (11/6) sore, tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel saya. Langsung menarik perhatian karena dikirim oleh penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Isi pesan tersebut singkat. Berupa link twitter yang berisi tanggapan kekecewaannya atas rendah tuntutan yang disematkan jaksa kepada dua terdakwa pelaku penyiram air keras ke wajahnya.
Tanpa berpikir panjang, saya klik link itu. Tak butuh waktu lama untuk membaca cuitan itu. Secepat itu pula saya merasa sedih. Saya balas pesan pendek melalui aplikasi WhatsApp itu. Namun, setelah beberapa saat saya memilih untuk menelepon Novel. Kami memang sering berkomunikasi. Saya pikir, lebih enak jika membahas kekecewaan itu dengan berbicara. Bukan berbalas pesan.
Setelah telepon saya tidak diangkat, Novel menghubungi balik. Kami langsung membahas tuntutan yang menghina akal sehat itu. Nada kecewa jelas terdengar darinya. Meski seperti biasa, suaranya datar walau saya yakin dia sedang marah. ”Ya begitulah. Saya dongkol, untung sudah menata hati agar tidak terlalu kecewa. Masa penganiayan berat tuntutannya lebih rendah dari pencemaran nama baik,” ucap Novel dengan nada kecewa kepada saya.
Kekecewaan tersebut tentu sangat wajar. Sebagai korban, Novel Baswedan jelas merasa tidak mendapat ketidakadilan. Padahal akibat serangan yang dialaminya, mata kirinya kini menjadi buta. Sementara mata kanannya, kemampuan melihatnya hanya 50 persen. Namun cacat permanen yang dialaminya seolah dianggap hal biasa oleh jaksa.
Jaksa justru menilai terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Matulette tidak berniat melukai wajah Novel. Sebab, mereka berdua hanya ingin menyiram badan Novel. Alasannya, ingin memberi pelajaran kepada penyidik yang dikenal berani tersebut. Analisa yuridis ini seolah kontradiktif dengan pertimbangan hukum yang menjadi dasar penuntutan bagi kedua terdakwa.
Dalam pertimbangan hukumnya, jaksa menilai Ronny Bugis dan Rahmat Kadir terbukti melakukan penganiayaan berat dengan terencana. Sebab, didahului dengan memantau rumah Novel sebelum melancarkan aksinya. Selain itu, disebut juga akibat dari perbuatan kedua terdakwa, Novel mengalami kebutaaan permanen mata kirinya.
Pertanyaan menggelitik muncul. Jika tidak berniat melukai, kenapa harus memantau gerak-gerik dan kediaman Novel sebelum melancarkan aksinya? Kenapa harus membawa air keras dengan memakai cangkir? Kenapa harus dilakukan usai salat subuh? Kenapa harus kabur usai menyiramkan air keras ke wajah Novel jika tidak berniat melukai?
Seabrek kenapa, kenapa, kenapa, itu bisa dijadikan dasar bertanya, bukankah perencanaan yang dilakukan secara matang itu bisa membuat unsur sengaja terpenuhi secara hukum? Saya, terus terang tidak bisa menjangkau, jika semua persiapan itu tidak dijadikan dasar bahwa penyerangan oleh Ronny Bugis dan Rahmat Kadir adalah perbuatan terencana.
Apalagi, jaksa menilai kedua terdakwa tak berniat melukai wajah Novel. Jaksa juga mengemukakan jika tak ada aktor intelektual yang menyuruh kedua terdakwa menyiramkan air keras. Oleh jaksa, motifnya menjadi sangat sederhana: dianggap dendam pribadi karena tidak suka dengan Novel.
Hal ini kontradiktif dengan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Polri sebelumnya saat di tingkat penyidikan. Dalam kesimpulannya, tim mengatakan motif penyerangan yang dilakukan pelaku terhadap Novel, terkait dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan penyidik senior itu. Kontradiktif juga karena tidak adanya hubungan kausalitas antara kedua terdakwa dengan Novel. Sebab, Novel tegas mengatakan tidak mengenal Ronny Bugis dan Rahmat Kadir.
Dalam tuntutannya, jaksa menilai kedua terdakwa hanya terbukti melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan subsidair. Adapun ancaman maksimal dari pasal tersebut adalah tujuh tahun pidana penjara. Namun, dari ancaman maksimal yang diamanatkan undang-undang, jaksa justru mengambil ancaman minimal yang hanya 1 tahun pidana penjara.
Padahal, jika melihat dampak yang ditimbulkan akibat serangan Ronny Bugis dan Rahmat Kadir yang menyebabkan mata kiri Novel buta permanen, seharusnya jaksa bisa menghukum secara maksimal. Yakni, tujuh tahun penjara. Meski, saya rasa banyak yang sepakat, dihukum maksimal pun tetap tidak sebanding. Lebih berat jika sesuai Pasal 355 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan primer yang mnengancam pelaku dengan maksimal 12 tahun penjara.
Saya pernah berbincang dengan Novel. Dia dan kuasa hukumnya meyakini, jika pasal yang paling tepat disematkan terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir adalah Pasal 340 KUHP, tentang pembunuhan berencana. Ancaman hukumannya adalah mati atau penjara seumur hidup.
Kontradiktif dengan Tuntutan Kasus Serupa
Tuntutan ini sangat kontras jika merujuk kasus yang sama. Seperti penyiraman air keras oleh terdakwa Heriyanto yang menyebabkan istrinya, Yeta Maryati, meninggal. Dalam kasus itu, Heriyanto dituntut 20 tahun penjara. Pada akhirnya dia dihukum maksimal oleh majelis hakim PN Bengkulu, sesuai tuntutan jaksa.
Ada juga kasus penyiraman air keras yang dilakukan Lamaji terhadap Dian Wulansari, seorang pemandu lagu yang juga istri sirinya. Lamaji dituntut 15 tahun penjara oleh jaksa. Sementara majelis hakim PN Mojokerto, menjatuhkan vonis lebih rendah, yakni 12 tahun penjara.
Ada juga kasus penyiraman air keras yang dilakukan Rika Sonata terhadap Ronaldo, suaminya. Dia dituntut 10 tahun penjara. Namun, majelis hakim PN Bengkulu menjatuhkan vonis lebih tinggi, yakni 12 tahun penjara. Ini karena Rita dinilai terbukti bersalah melakukan penyiraman air keras dengan cara memerintahkan preman untuk melakukan perbuatan keji tersebut.
Hakim Bisa Vonis Lebih Tinggi dari Tuntutan Jaksa
Kini, nasi sudah menjadi bubur. Sekeras apapun mengkritik, keputusan yang dikeluarkan jaksa tidak bisa ditarik kembali. Bola justru ada di tangan majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Sebab, agenda persidangan tinggal menunggu vonis hakim nanti setelah terdakwa membacakan pleidoi (nota pembelaaan atas tuntutan JPU).
Jika majelis hakim masih mempunyai hati nurani dan berpihak pada nilai-nilai keadilan yang harus diterima Novel, maka sudah sepantasnya ganjaran hukuman maksimal harus diberikan kepada kedua terdakwa. Apa yang dialami Novel, tidak terlepas dari pekerjaannya yang kerap membongkar dan menangkap para pelaku korupsi kelas kakap.
Tidak ada satu pasal pun dalam aturan yang mengharuskan hakim menjatuhkan vonis sesuai tuntutan penuntut umum. Ini karena hakim mempunyai kebebasan untuk memutus perkara. Yang tidak boleh,kalau hakim menjatuhkan vonis melebihi ancaman maksimal yang ditentukan undang-undang. Seperti vonis yang dilakukan Rika Sonata terhadap Ronaldo, suaminya.
Jadi, sangat mungkin putusan nanti bisa berbeda dari tuntutan 1 tahun penjara yang disematkan jaksa terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Matulette. Namun, untuk memenuhi rasa keadilan, baik bagi kepentingan pelaku, korban, masyarakat umum maupun bagi eksistensi negara, hakim harus benar-benar menggunakan hati nuraninya untuk melihat secara jernih, perkara yang tengah disidang.
Hakim tak perlu ragu dan takut untuk mengatakan bahwa yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Sebab, segala putusan akan dipertanggungjawabakan pada saatnyananti. Namun, jika vonis nanti antiklimaks, maka akan menjadi potret buram penegakan hukum di Indonesia. Hilang sudah harapan Novel secara khusus, dan masyarakat secara umum, untuk mendapatkan keadilan di negeri ini.
Saya jadi ingat perkataan Novel, sebenarnya jika awalnya pihak kepolisian benar-benar mau mengungkap kasus yang dialaminya, maka dalam hitungan beberapa minggu pelaku sudah dapat ditemukan. Proses pengungkapan juga tak membutuhkan waktu sampai tiga tahun lamanya.
Namun seperti banyak kabut yang menghalangi proses pengungkapan kasus ini, Novel sampai menduga ada aktor intelektual yang terlibat dalam perkaranya. Sehingga, wajar jika Novel akhirnya mengatakan jika persidangan hanya dagelan atau formalitas belaka.(*)