Oleh: Miftah H. Yusufpati
Wartawan Senior
KINI publik mulai menyadari mengapa partai pendukung calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokma) saling tanduk. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ceker-cekeran dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar saling curiga dengan Partai Nasdem, sedangkan PDIP saling lempar dengan PSI. Mereka seolah-olah tidak mengenal lagi siapa kawan siapa lawan.
Para pentolan parpol pendukung petahana mulai gelisah dengan hasil kampanye belakangan ini. Di mana-mana Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno (Padi) disambut gelombang ribuan massa. Di sisi lain, Jokma gagal menghadirkan pendukung.
Celakanya, alam juga sering kurang bersahabat dengan sang petahana. Sedikitnya di tiga titik tempat kampanye Jokma, disambut angin puyuh sehingga memporak-porandakan acara mereka.
Partai Golkar yang dalam sejarahnya tak pernah mengambil sikap oposisi mulai kelihatan bermanuver. Tokoh-tokoh penting Partai Beringin mulai menyelamatkan diri merapat ke kubu 02. Sebut saja salah satunya adalah Erwin Aksa.
Keponakan Wapres Jusuf Kalla ini membelot dari keputusan partainya. Erwin, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPP Golkar, justru memilih untuk menunjukkan dukungannya secara terang-terangan kepada Prabowo-Sandi.
Loncat pagar Erwin ini bukan perkara sepele. Erwin yang pengusaha itu telah mengirim pesan kepada publik bahwa tempat yang prospektif adalah berada di kubu Prabowo-Sandi.
Kabarnya, sejumlah tokoh politik pendukung petahana lainnya secara diam-diam juga banyak yang merapat ke kubu 02. Setidak-tidaknya, di antara mereka sudah ada yang memasang dua kaki. Kaki sebelah di kubu 01, sebelah lagi di 02. Dasar politisi. Sikap politisi itu wajar adanya.
Maklum saja, para pentolan parpol itu adalah orang yang memiliki akses terhadap hasil survei yang sesungguhnya. Survei-survei itu banyak memenangkan paslon 02 atau setidak-tidaknya memberi gambaran remuknya elektabilitas sang petahana.
Terbaru, adalah survei Litbang Kompas. Survei tentang elektabilitas paslon nomor urut 01 dan paslon nomor urut 02 ini juga memberi pesan cukup kuat bahwa Jokowi sudah kehilangan banyak pendukung. Survei yang disiarkan 20 Maret itu menunjukkan elektabilitas Jokma menurun di bawah 50%. Angka yang jelas tidak aman bagi petahana.
Harian Kompas menyebut, elektabilitas Jokma 49,2%, Padi 37,4% suara, dan sisanya 13,4% menyatakan masih rahasia atau belum memilih. Itu angka yang dipublish. Dalam sejarahnya, hasil survei Kompas selama ini cukup kridibel.
Koran harian terbesar di Indonesia ini saat Pilkada DKI Jakarta tidak mengumumkan hasil surveinya. Konon, hasil survei itu dilacikan karena tidak sesuai harapan: Ahok-Djarot kalah.
Nah, kenapa saat ini diumumkan? Sejatinya, sepekan sebelum hasil survei itu disiarkan, sudah ada angka-angka yang berseliweran.
Sejumlah wartawan senior yang punya akses di laci Kompas membisikkan di interen Kompas sendiri ada yang berpendapat sebaiknya survei tersebut tidak usah dirilis. Namun sebagian lagi menghendaki sebalikna. Kala itu, konon perolehan Jokma hanya 46% dalam survei. Di sisi lain, undecided masih 17%. “Angka 49,2% untuk Jokowi adalah angka kompromi,” kata sang pembisik.
Sofyan Wanandi, donatur CSIS, konon sudah tahu angka-angka yang bikin petahana miris itu. Eks Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini pun panik.
Lalu, ia berencana memobilisasi pengusaha untuk memberikan dukungan kepada Jokma. Para pengusaha itu diharapkan bisa menggiring karyawannya untuk memilih Jokma pada pemilu kelak.
Pada Rabu dini hari, sebelum Kompas yang memuat edisi survei itu beredar, di grup WhattApp, seseorang mengirim pesan bocoran hasil survei yang disiarkan koran itu dengan tambahan pesan: “Jangan kaget baca hasil survei Kompas pagi ini. Memang sudah dikondisikan/dikompromikan dengan pihak TKN. Mereka sudah diberitahu hasil realnya. Survei itu hanya untuk menghibur Jokowi dan supaya tidak bikin guncang pasar saham/valas. Siapa pun petahana yang tidak meraih elektabilitas di atas 60% di hari-hari terakhir menjelang pencolosan, akan kalah.”
Survei Kompas mengungkap Jokowi didukung kurang dari 50%. Maknanya, lebih dari 50% rakyat Indonesia tidak sudi dipimpin Jokowi lagi. Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa kampanye Jokowi selama 5 tahun sia-sia. Upaya-upaya mencurangi APBN hinga APBD tidak ada hasilnya buat mendongkrak elektabilitas. Jokowi naga-naganya akan senasib dengan Nadjib Razak, eks PM Malaysia.
Survei pada hari terakhir menjelang pencoblosan Najib memperoleh 48%, Mahathir Mohamad 33%. Pemenangnya Mahathir, Nadjib tersingkir.
Lalu, bagaimana hasil survei lembaga lain yang berbeda dengan Kompas? Kini, publik sudah menyadari, bahwa lembaga-lembaga survei tersebut bekerja sebagai tim sukses. Mereka bukan sebagai lembaga survei yang jujur dan independen.
Kabarnya, ada 22 lembaga survei yg dibayar petahana. Mereka bekerja dengan tujuan menggiring opini publik. Hasil survei mereka digarapkan dapat memberi keyakinan bagi pendukungnya bahwa Jokowi menang, di sisi lain membuat drop kubu lawan.
Terakhir hasil survei ini nantinya bisa menjadi alat untuk menjustifikasi kemenangannya, walau dengan cara-cara curang.
Sejauh ini, kerja lembaga-lembaga survei itu sudah benar, sesuai pesanan klien. Namun, jadi sulit bagi rakyat untuk mempercayai lembaga survei seperti itu.(*)
Sumber: https://rmol.co/read/2019/03/20/382825/kekalahan-jokowi-di-survei-kompas