SAYA punya dua dos lian hua. Sudah tiga bulan belum saya buka. Yang satu kiriman seorang teman: pengusaha sepatu Surabaya. Satu dos lagi kiriman dari teman di Jakarta: pengusaha mebel.
Saya pun berpesan kepada istri: bungkusan ini isinya obat. Tidak usah dibuka. Simpan saja. Kalau saya terkena Covid-19 jangan lupa: buka bungkusan itu. Saya akan menelan kapsul itu. Anda pun akan ikut minum. “Kata teman-teman saya, itu manjur,” pesan saya pada istri.
Saya tahu itu bukan obat sebenarnya Covid-19. Obat untuk Covid-19 belum ditemukan. Tapi saya tahu lian hua banyak dipakai di Tiongkok. Itu sejenis herbal. Lian hua sendiri artinya: bunga teratasi.
Beberapa teman lagi masih bertanya: apakah saya sudah punya lian hua. Kalau belum, mereka akan kirimkan obat itu untuk saya. “Sudah punya dua dos,” jawab saya. “Berikan saja ke teman lain yang memerlukan.”
Minggu lalu saya terkejut. Seorang teman pengusaha meninggal dunia. Terkena Covid-19. Ia pengusaha besar. Pemilik pabrik sepatu yang besar sekali. Salah satu yang terbesar di Indonesia.
“Tidak diberi obat lian hua?“ tanya saya ke kerabat yang meninggal itu.
“Tidak,” jawabnya.
“Kenapa?” tanya saya lagi.
“Lupa,” katanya.
Saya juga lupa di mana dua dos itu saya taruh. Sudah tiga bulan tidak terpakai. Semoga disimpan baik-baik oleh istri saya.
Padahal pengusaha itulah yang semangat sekali untuk mendatangkan lian hua dari Tiongkok. Yakni di saat awal-awal ada Covid-19. Di saat semua orang takut dan panik. Yang lain baru membicarakan nama obat itu, ia sudah bertindak. Pun sudah membagi-bagikan ke teman dekat. Yang satu dos milik saya itu adalah yang ia impor langsung dari Tiongkok itu.
Nama pengusaha itu: Suwiro Widjojo. Umur 71 tahun. Nama Tionghoanya: Wang Wei Qiang. Ia biasa dipanggil Wie Kiong. Nama panggilan itu diambil dari bahasa daerah Xianyou. Ia memang Tionghoa kelahiran Surabaya dari suku Xianyou. Yakni satu distrik yang termasuk Kabupaten Putian di provinsi Fujian.
Dulu distrik Fuqing (kampung halaman konglomerat Liem Sioe Liong) juga masuk Kabupaten Putian. Bersama Xianyou. Tapi belakangan Fuqing berdiri sebagai kota tersendiri. Tiga distrik di satu kabupaten Putian itu (Xianyou, Fuqing dan Putian) punya bahasa lokal sendiri-sendiri. Yang saling tidak bisa mengerti. Begitu banyak bahasa di satu provinsi Fujian ini. Hanya saja tulisannya sama. Bunyi bacaannya yang tidak sama.
Di Surabaya suku Xianyou sama banyak dengan suku Putian dan Fujing. Tiga suku inilah yang kalau digabung, menjadi mayoritas di masyarakat Tionghoa di Surabaya.
Saya tidak hanya berteman dengan Wie Kiong, tapi juga dengan adik-adiknya. Ia tujuh bersaudara, 5 laki-laki 2 perempuan. Yang laki-laki, lima orang itu, semua bekerja bersama-sama di pabrik sepatu milik keluarga. Itu pabrik warisan ayah mereka. Sedang yang wanita ikut suami. Salah satu suami itu juga teman baik saya: punya pabrik baja.
Suatu hari Wie Kiong merasa tidak sehat. Badannya panas. Ia ke dokter. Diberi Panadol. Panas pun reda.
Beberapa hari kemudian badannya panas lagi. Ke dokter lagi. Diberi Panadol lagi. Panasnya pun reda lagi.
Begitulah. Setiap badannya panas ia cari Panadol. Lian hua kan obat Covid-19. Bukan obat untuk panas. Begitulah yang hidup di benaknya.
Sampai di situ ia tidak curiga tertular Covid-19. Karena itu ia juga tidak berinisiatif tes Covid-19.
Tahu-tahu sudah parah. Barulah Wie Kiong masuk rumah sakit. Meninggal dunia. Di rumah sakit itulah baru diketahui Wie Kiong positif.
Saya memang mendapat kiriman banyak WA tentang orang yang meninggal itu. Tapi nama yang meninggal itu Suwiro Widjojo. Baru belakangan saya tahu kalau Suwiro itu nama resmi Wie Kiong.
Para pengusaha Surabaya pun heboh. Wie Kiong orang yang sangat terpandang. Ia juga aktif di yayasan sosial yang dibentuk oleh paguyuban suku Xianyou.
Lebih heboh lagi keesokan harinya. Yakni ketika beredar WA yang isinya serem: Kakak Wie Kiong juga meninggal. Demikian juga 8 orang yang ikut rapat Yayasan Xianyou itu. Mereka memang baru saja kumpul-kumpul. Sambil makan-makan. Dan nyanyi-nanyi.
Keluarga ini memang punya resto-cafe yang terkenal di G-Walk Citraland. Di Surabaya Barat. Salah satu putri mereka disekolahkan khusus ke Prancis sebelum membuka resto itu. Saya sering diminta mencoba masakan baru di situ. Sebelum ada Covid-19.
Saya tidak terpancing WA yang serem-serem itu. Saya hubungi ketua Yayasan Xianyou: Tjokro Saputra. Ia pemilik mall ITC-Mangga Dua di seberang Pasar Atom Surabaya. Setiap tahun Tjokro merelakan mall-nya untuk kejuaraan barongsai –saya adalah Ketua Umum FOBI sejak organisasi itu berdiri.
“Anda baik-baik saja?” tanya saya.
“Saya di Singapura. Sudah beberapa bulan saya di sini,” jawab Tjokro.
“Tidak ikut rapat Yayasan Xianyou?” tanya saya lagi.
“Saya di sini, di Singapura. Lagi mendapat cucu baru,” tambahnya.
Peguyuban warga Xianyou itu sudah berdiri sejak 98 tahun lalu di Surabaya. Jauh sebelum ada negara Indonesia. Tjokro adalah ketua yang ke-16. Ia sudah tujuh tahun di jabatan itu. Sebelum Tjokro, ketua Xianyou adalah Sulistio, pemilik pabrik kertas “Surya Kertas” yang besar itu.
Lalu saya cek juga ke keluarga Wie Kiong. “WA itu hoax,” katanya.
Memang kakak Wie Kiong, bernama Wie Jie, umur 74 tahun, lagi sakit. Juga positif Covid-19. Lagi dirawat di rumah sakit. Tapi masih hidup. Kondisinya sudah membaik. Istri Wie Jie juga tertular. Juga lagi di rumah sakit. Juga membaik.
Memang ada yang meninggal lagi. Tapi bukan dari keluarga ini. Namanya: Soetrisno Sanjoto. Nama Tionghoanya: Yang Jin Tai, 75 tahun. Jin Tai adalah sahabat karib Wie Kiong. Sering kumpul bersama. Makan bersama. Nyanyi bersama.
Ia meninggal lebih dulu dari Wie Kiong. Ia juga pengusaha besar. Bidang usahanya show room mobil. Juga alat-alat musik.
Lalu ada lagi yang dihebohkan ikut meninggal. Fok Lung. Tapi ternyata ini juga hoax.
Tapi Fok Lung memang sakit. Juga tertular Covid-19. Demikian juga istrinya. Masuk rumah sakit. Juga positif.
Fuk Lung juga teman akrab Wie Kiong. Bidang usahanya atap rumah. Ia punya pabrik besar. Merk atapnya pasti Anda tahu: Rooftop. Keadaannya kini sudah lebih baik. Demikian juga istrinya.
Saya mencoba menghubungi Helen Widjaja, adik perempuan Wie Kiong. Tidak bisa terhubung.
Saya hubungi Robby Widjaja suami Helen. Juga tidak terhubung. Rupanya seluruh keluarga besar ini lagi mengarantina diri. Tidak mungkin telepon saya tidak mereka respons. Saya sering bersama mereka kalau lagi pergi di daerah seputar Fuqing-Putian-Fuzhou-Xiamen-Quanzhou.
Salah satu kakak Helen, Lukman Widjaja, sudah meninggal lebih dulu. Tujuh tahun yang lalu. Lukman inilah yang dikenal agresif dan kerja keras memajukan pabrik sepatu mereka. Ia sangat agresif menarik investor dari Taiwan ke dalam usaha keluarga. Sejak itulah grup ini berkembang pesat. Sampai memiliki delapan perusahaan, termasuk yang joint dengan Taiwan.
Keluarga Wie Kiong telah kita diingat banyak berbuat memajukan ekonomi Indonesia. Kini giliran keluarga itu mengingatkan kita untuk tetap lebih waspada.(dis)