Oleh: Abdul Hamid
Direktur Visi Indonesia Strategis
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) 2020 benar-benar membuat kurva penularan coronavirus disease (Covid-19) semakin menanjak. Sebanyak 60 orang calon kepala daerah dinyatakan positif Covid-19 setelah menjalani tes usap, Kamis (10/9). Angka ini berpotensi bertambah seiring tes yang terus dilakukan.
Apalagi, pada masa pendaftaran 4-6 September lalu, mereka mendaftar diiringi massa pendukung, bahkan tidak sedikit yang menggelar arak-arakan tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebut, sedikitnya terjadi 243 dugaan pelanggaran protokol kesehatan selama masa pendaftaran.
Banyaknya pelanggaran dan kasus konfirmasi positif ini harus menjadi perhatian bersama. Bahwa memaksakan pelaksanaan Pilkada secara bersama di 270 daerah tanpa mempertimbangkan aspek epidemologi akan sangat berbahaya. Kamis (10/9), data harian positif Covid-19 kembali mencatatkan rekor dengan penambahan 3,861 kasus baru.
Dengan tambahan itu, total kasus positif di Indonesia sudah mencapai 207,203 orang. Masuk peringkat 23 dunia di bawah Filipina dengan angka positif 248,947 orang. Jika Pilkada diteruskan tanpa ada perubahan skenario, tidak menutup kemungkinan Indonesia benar-benar gagal mengendalikan kurva penularan Covid-19.
Karena itu, dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Pilkada 2020 agar hajatan demokrasi ini dapat berlangsung tetapi tidak menjadi klaster baru penularan Covid-19. Evaluasi ini setidaknya menyasar dua aspek, yaitu aspek jadwal pelaksanaan dan aspek penyelenggara.
Jadwal pelaksanaan harus ditinjau ulang. Alasannya, 270 daerah yang melaksanakan pilkada berada dalam kondisi dan situasi yang berbeda. Ada yang sudah berhasil melandaikan kurva penularan tapi ada juga yang belum berhasil. Ada yang sudah zona hijau, tetapi ada juga yang zona merah.
Variasi kondisi ini perlu diperhatikan. Jika dilihat dari 60 kasus positif calon kepala daerah, rata-rata muncul dari daerah yang kurva penularannya masih tinggi. Akan sangat beresiko memaksakan pelaksanaan pilkada di daerah-daerah yang kurvanya masih tinggi.
Namun untuk daerah yang sudah masuk zona hijau, pelaksanaan pilkada bisa terus dilangsungkan sesuai jadwal semula. Artinya, pelaksanaan Pilkada 2020 tidak harus dipaksakan secara serentak. Pandemi Covid-19 membuat semua berjalan tidak normal. Ini juga harus berlaku bagi pelaksanaan pilkada.
Bagaimanapun, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. “Salus populi suprema lex esto,” kata Cicero, filosof Italia. Saya melihat ada peluang hukum untuk membicarakan ulang jadwal pelaksanaan meski saat ini sudah masuk tahapan pendaftaran.
Peluang itu tersedia dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2/2020, yaitu dengan kesepakatan tripihak: KPU, Kemendagri, dan DPR. Tiga pihak ini harus kembali duduk bersama membicarakan ulang jadwal pelaksanaan karena fakta bahwa jadwal pelaksanaan secara serentak di 270 daerah sangat berbahaya bagi penularan Covid-19.
Alternatifnya, pilkada dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi kurva penularan Covid-19 di masing-masing daerah. Daerah yang kurvanya tinggi, pilkada bisa dilaksanakan pada Maret 2021 atau bahkan September 2021. Tetapi daerah yang kurvanya sudah melandai, bisa tetap melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020.
Ini juga merupakan jalan tengah antara pihak yang menginginkan pilkada ditunda secara keseluruhan karena khawatir pilkada jadi klaster baru penularan Covid-19, dengan mereka yang menginginkan dilanjutkan karena akan terjadi kekosongan kekuasaan di 270 daerah jika tidak ada suksesi kepemimpinan.
Aspek evaluasi kedua adalah penyelenggara. Penyelenggara juga harus dievaluasi. Kenapa penyelenggara tidak bisa mengantisipasi dan menindak tegas sejumlah pelanggaran yang terjadi di masa pendaftaran? Salah satu alasannya adalah kurangnya sinergi dan kordinasi antar institusi penyelenggara.
Dalam situasi seperti ini, penyelenggara pilkada, baik itu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus bergerak secara sinergis. Tanpa sinergi, pelanggaran protokol kesehatan sulit dicegah. Pilkada di masa pandemi berbeda dengan pilkada di masa normal.
Di masa normal, objek pemantauan biasanya fokus pada pelanggaran pilkada yang merupakan wewenang Bawaslu. Tetapi di masa pandemi, selain pelanggaran pilkada, objek pemantauan yang lebih penting adalah pelanggaran protokol kesehatan. Dalam hal ini, Bawaslu tidak berwenang melakukan penindakan. Yang berwenang sesuai undang-undang adalah pihak kepolisian.
Karena itu, Kemendagri harus memastikan bahwa unsur kepolisian hadir di setiap tahapan pilkada dan bekerja bersama Bawaslu. Selain sinergitas antar penyelenggara, pelibatan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 juga penting dilakukan. Penyelenggara harus setiap saat menjalin komunikasi dengan Satgas Penanganan Covid-19 untuk mengetahui kondisi dan pemetaan terbaru sebaran Covid-19.
Virus ini menyebar sangat cepat. Perubahan situasi bisa terjadi setiap saat. Karena itu, kordinasi dengan Satgas Penanganan Covid-19 menjadi keharusan bagi penyelenggara. Hal lain yang juga penting adalah penyelenggara pilkada memasukkan kepatuhan pada protokol kesehatan dalam pakta integritas. Jika pada masa normal pakta integritas pilkada hanya berisi pilkada damai, siap menang dan siap kalah, maka di masa pandemi ini harus ditambah keharusan mematuhi protokol kesehatan.
Dengan demikian, jika peserta Pilkada melanggar protokol kesehatan, ia harus siap didiskualifikasi.
Inovasi Penyelenggaraan
Selain evaluasi dua aspek di atas, yang juga penting dilakukan adalah merumuskan inovasi dalam teknis penyelenggaraan. KPU sebetulnya sudah membuat sejumlah perubahan regulasi pilkada, tetapi fakta adanya kasus konfirmasi positif Covid-19 pada tahapan pendaftaran, menjadi bukti bahwa perubahan regulasi itu belum cukup. Pada tahap pendaftaran, misalnya, KPU sudah membuat aturan yang melarang bakal calon kepala daerah membawa massa.
Selain itu, calon yang terkonfirmasi positif Covid-19 dilarang ikut mendaftar ke KPU. Tetapi di lapangan, aturan itu tidak berjalan. Ini membuktikan bahwa, tanpa inovasi baru, pelanggaran serupa akan terjadi di tahapan selanjutnya, baik tahapan penetapan, tahapan kampanye, bahkan tahapan pemungutan suara. Inovasi baru itu harus dirumuskan dengan memerhatikan budaya politik dan watak kompetisi yang terjadi di hampir semua gelaran pilkada.
Kenapa perubahan regulasi KPU tidak efektif di lapangan? Salah satu alasannya adalah karena regulasi itu tidak berpijak pada budaya dan watak kompetisi di pilkada. Misalnya, KPU melarang membawa massa tetapi mempersilakan kandidat melakukan pendaftaran ke KPU secara fisik dengan acara seremonial layaknya pilkada masa normal.
Watak politik Pilkada adalah menjadikan pendaftaran sebagai ruang pertunjukan kekuatan. Jadi tidak mungkin kandidat datang sendiri ke KPU tanpa membawa massa. Jika merujuk pada watak politik pilkada, seharusnya KPU tidak melakukan pendaftaran secara seremonial layaknya pendaftaran di masa normal.
Karena sudah pasti mengundang kerumunan massa. Rumusan inovasi baru itu sudah harus dirampungkan sebelum tahapan Pilkada berikutnya dilanjutkan. Inovasi baru itu misalnya, debat kandidat digelar tapi dilakukan secara jarak jauh menggunakan platform teknologi seperti Zoom, dan disiarkan secara live di media sosial.
Pada intinya, inovasi itu harus mampu memastikan tahapan pilkada berlangsung tanpa adanya penumpukan massa. Sebab jika tidak, pilkada akan benar-benar menjadi klaster baru penularan Covid-19 yang tidak saja mengancam nyawa jutaan orang, tetapi juga mempertaruhkan masa depan bangsa.(*)
(Sumber: https://rmol.id/read/2020/09/16/452506/evaluasi-pelaksanaan-pilkada-2020)