HARIANHALMAHERA.COM – Penikahan dibawah umur ternyata masih marak terjadi di Maluku Utara (Malut). Data Kementrian Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, Malut berada di peringkat ke 10 provinsi dengan kasus perkwainan anak dibawah umur tertinggi tahun 2019.
Deputi perlindungan Anak Kementrian PPPA Nahar disela-sela acara Seribu mimpi Maitara (serbu MMI) untuk anak Malut dan pencanangan Maitara sebagai pulau bebas ponografi anak menyebutkan, angka perwakinan anak di Malut 14,4 persen dan berada di atas rata- rata nasional 10,82 persen. “Karena itu menyambut baik penandatanganan pakta integritas pencegahan perkawinan anak yang dibuat pemda,” katanya.
Dia berharap upaya ini dapat ditindaklanjuti dengan memberikan kesadaran bagi semua pihak terutama orang tua dan instasi terkait untuk tidak mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan pada anak.
Menurut Nahar, yang praktek perkawinan anak berdampak buruk terhadap tumbuh kembang kehidupan anak dimasa yang akan datang. Sebab, berpotensi mengancam pemenuhan hak anak seperti “Misalnya hak untuk mendapatkan pengasuhan yang layak, memperoleh pendidikan, hidup bebas dari kekerasan dan peberlakuan lainnya,” katanya.
Saat ini, lanjut dia, perkawinan di bawah umur terjadi ketika orang tua ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, perkawinan dianggap sebagai solusi melepaskan diri dari kemiskinan.
Ini sesuai dengan data yang memperlihatkan bahwa keluarga dari ekonomi paling rendah paling beresiko untuk menikahkan anaknya dibawah usia 18 tahun maka akan berhadapan dengan hukum.
“Patut menjadi perhatian serius bagi kita semua, bahwa dengan pandemi Covid -19 ini diperidiksi di tahun ini hingga rentang waktu 2030 akan terjadi 13 juta perkawinan anak,” bebernya. (lfa/pur)