Maluku Utara

RUMDIS GUBERNUR DILEMPAR MASSA AKSI

×

RUMDIS GUBERNUR DILEMPAR MASSA AKSI

Sebarkan artikel ini
Kaca jendela rumah dinas (rumdis) Gubernur di Ternate tampak pecah setelah dilempari batu oleh para demonstran beberapa waktu lalu

HARIANHALMAHERA.COM–Aksi perusakkan kembali mewarnai demontrasi menolak Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang digelar para mahasiswa dan OKP (organisasi kepemudaan) di Ternate kemarin.

Meski tindakan anarkhis ini tidak separah yang terjadi pada aksi demo 8 Oktober lalu, namun demo yang berlangsung di depan rumah dinas (rumdis) Gubernur di Ternate itu, berujung pada pelemparan batu ke kediaman orang nomor satu di Malut itu.

Belum diketahui pasti pelakunya, namun lemparan tersebut membuat kaca jendela di lantai dua ruang rapat pecah. Tidak sampai disitu, masa juga melempari mobil pribadi gubernur bernomor polisi (nopol) DG  4 GK hingga mengalami lecet di bagian belakang.

Pantauan Harian Halmahera, massa juga berusaha membongkar pagar dan berusaha menerobos masuk ke dalam kediaman. Namun usaha itu berhasil dicegah puluhan anggota satpol PP dan pihak kepolisian.

Aksi pelemparan batu ini dilakukan diduga lantaran para demontrans sendiri kesal dengan sikap Gubernur Abdul Ghani Kasuba (AGK) yang tidak kunjung menemui mahasiswa.

Lalu kemana orang nomor satu di Malut itu ? Informasi yang diperoleh, AGK sendiri ternyata memilih bertolak ke Jakarta pagi kemarin. Meski begitu, kekecewaan mahasiswa sedikit terobati setelah mereka ditemui langsung Wali Kota ternate Burhan Abdurrahman.

Burhan pun langsung bergabung dengan Ketua DPRD Provinsi Kuntu Daud, dan Sekretaris Provinsi (Dekprov) Samsuddin A Kadir yang tiba lebih dulu di rumdis Gubernur. Mereka pun langsung menggelar hearing terbuka dengan massa aksi.

Kuntu dihadapan mahasiswa berjanji Deprov bersama Pemprov dan Pemkot akan menindaklanjuti apa yang menjadi tuntutan mahasiswa untuk disampaikan ke pemerintah pusat (pempus). “Kita bukan menolak, tapi kita merekomendasikan ke pemerintah apa yang menjadi tuntutan mahasiswa,” singkatnya.

Sementara Burhan mengaku, terkait UU Omnibus Law Ciptaker ini, Kamis besok dirinya bersama para wali kota yang terhabung dalam Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) akan membahas pasal-pasal dari UU sapu jagat ini.  “Hasil kajian itulah yang nantinya akan disampaikan dalam bentuk rekomendasi ke pemerintah pusat,” katanya.

Sekprov juga menyampaikan hal yang sama. Pemprov akan mengkaji UU tersebut untuk disampaikan ke pemerintah pusat melalui Gubernur. “Terkait masalah inilah gubernur  juga sudah ke Jakarta,” kata Samsuddin.

Pernyataan yang disampaikan ketiga pejabat ini pun ternyata tidak membuat massa aksi puas. Para demontran yang dibawa kordinator Presiden Badan Ekeskutif Mahasiswa (BEM) Unkhair Ternate Muhammad Zulfahmi F Tuwow ini mengancam tidak akan bubar sebelum ada pernyataan sikap menolak UU Ciptaker dari Pemprov, Deprov dan Pemkot.

“Itu yang kami inginkan, bukan lagi mengkaji pasal per pasal. Karena itu sudah bertentangan dengan apa yang menjadi harapan masyarakat,” tegas Zulfahmi.

Sikap Mahasiswa ini akhirnya membuat Kuntu, Sekprov dan Wali Kota akhirnya menyatakan menolak pasal-pasal dalam UU Omnibus Law Ciptaker terutama pasal yang menyengsarakan masyarakat.

“Kami Pemkot Ternate, DPRD Malut dan Pemprov Malut mengambil sikap menolak  undang – undang  yang menyengsarakan masyarakat,” teriak Wali Kota didampingi Kuntu dan Sekprov dari atas mobil

Burhan menegaskan penolakan pasal dalam UU yang dianggap menyengsarakan masyarakat itu sudah final. “Besok juga ada rapat dengan Bupati -Walikota  se Indonesia dan itu juga akan membahas terkait dengan pasal-pasal yang dianggap menyengsarakan masyarakat dan harus direvisi untuk diberikan masukan ke pemerintah pusat,” katanya.

Dia mencontohkan salah satu pasal yang dianggap menguntungkan masyarakat dan harus di dorong atau didukung adalah pasal terkait dengan pesangon, yang mana pada UU lama adalah perdata sementara UU baru adalah pidana. “Yang pasal ini sebenarnya menguntungkan dan harus didukung karena ini kan menguntungkan,” akunya.

Sekprov menambahkan terkait UU Ciptaker ini menjadi fenomena nasional sehingga disikapi sebagai sebuah aspirasi masyarakat. Sebelumnya juga Deprov meminta Gubernur menyurat hanya saja sudah disepakati nanti dibahas dalam keputusan Bamnus baru disampaikan ke gubernur “Kami menunggu,” akunya.

Jika kebijakan yang nanti diambil gubernur itu merupakan hak progratif gubernur akan tetapi desakan DPRD yang sudah disampaikan harus keputusan secara keseluruhan. “Keputusan gubernur nanti tanya gubernur,” saranya.

Pada intinya ,lanjut dia, Pemprov saat ini belum bersikap karena keputusan yang diambil menunggu perkembangan situasi karena saat ini masih terjadi perbedaan pendapat mengingat UU Omnibuslaw cukup tebal. “Apakah yang beredar di masyarakat itu memang  draf atau versi masih banyak spekulasi yang ada sehingga Pemprov masih mempelajari situasi yang ada,” tukasnya.

Aksi demonstrasi menolak UU Ciptaker juga berlangsung di Ibu Kota. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama 32 elemen serikat buruh lain menegaskan tidak akan menghentikan aksinya sampai UU itu dibatalkan

Hal tersebut disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal. Selain aksi, hal lain yang akan dilakukan adalah meminta dilakukan peninjauan berupa executive review dan legislative review.

Dalam executive review, dia meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja. ”Kami mohon kepada presiden dan ketua DPR untuk menggunakan hak legislative review dan executive review,” ucapnya.

Lalu, bagaimana dengan judicial review? Ada kemungkinan ini juga masuk agenda, tapi belum prioritas. Sebab, masih banyak hal yang harus dipelajari untuk melakukan peninjauan lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK).

Dia juga meluruskan beberapa opini yang berkembang. Misalnya, terkait dengan upah minimum. Dia membenarkan bahwa dalam UU tersebut, upah minimum memang masih tercantum. Namun, yang menjadi masalah adalah upah minimum bersyarat. ”Bersyaratnya apa, belum jelas,” ungkapnya.

Dia menegaskan, yang ditolak buruh adalah adanya kata bersyarat. Apalagi, tidak ada keterbukaan syarat seperti apa yang seharusnya ada. Merujuk pada aturan yang selama ini berjalan, upah minimum bersyarat itu tak dikenal. ”Kami menuntut kembali ke UU 13/2003,” ujarnya.

Said juga menegaskan bahwa buruh menolak penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Jika dihilangkan, tidak ada perbedaan pengupahan yang disesuaikan dengan keahlian pabrik. ”Kalau UMSK hilang, masak upah minimum pabrik kerupuk dengan pabrik mobil sama. Kan tidak masuk akal,” tuturnya.

Selain itu, jika diikutkan pada upah minimum provinsi, ada beberapa daerah yang upah minimumnya mengecil. Contohnya, Jabodetabek. Saat ini upah minimumnya Rp 4,9 juta. Namun, jika mengikuti upah minimum Provinsi Jawa Barat, nilainya bisa berubah menjadi Rp 1,8 juta.

Dikonfirmasi terpisah, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan, UU Cipta Kerja tidak menghapus ketentuan existing yang berkaitan dengan upah minimum. Termasuk soal upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Prinsipnya, UMP bersifat wajib ditetapkan. Sedangkan UMK ditetapkan dengan syarat tertentu. ”Syarat tertentunya ini yaitu memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” ujarnya.

Menurut dia, syarat itu diperlukan agar UMK yang nanti ditetapkan tidak hanya terlihat bagus di atas kertas. Tapi, juga dapat diimplementasikan dengan baik. Nah, bagi perusahaan yang mampu melaksanakan ketentuan upah di atas UMP dan UMK, masih terdapat ruang melalui pengaturan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Itu termasuk mengatur upah yang bersifat sektoral. Proses tersebut dapat mendorong pekerja/buruh berpartisipasi dalam dialog dengan perusahaan. Ketentuan itu sejalan dengan standar internasional yang menyatakan bahwa pengupahan secara mendasar disepakati antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Selain itu, UU Cipta Kerja menegaskan bahwa pengusaha yang telah memberikan upah lebih tinggi daripada upah minimum dilarang mengurangi atau menurunkan upah.

Mengenai PHK, dia mengakui, sejak berlakunya UU 13/2003, ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran kompensasi PHK tidak berjalan sebagaimana mestinya. Nilai pembayaran uang pesangon cenderung lebih kecil daripada yang diatur dalam UU 13/2003.

Berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan 2019, dari 536 perjanjian bersama (PB) kasus PHK, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai UU 13/2003 hanya 27 persen atau sekitar 147 PB. Untuk sisanya, membayar kompensasi PHK sesuai UU 13/2003, tetapi memberikan dalam bentuk lain.

Data itu sejalan dengan laporan World Bank 2010 yang mengutip data Sakernas BPS 2008. Berdasar laporan, hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan UU 13/2003. Lalu, 27 persen pekerja menerima pesangon sesuai UU 13/2003 dan sisanya (66 persen) sama sekali tidak mendapat pesangon. ”Dalam praktiknya, pembayaran uang pesangon lebih dipengaruhi proses negosiasi sehingga besaran yang diterima pekerja atau buruh di bawah ketentuan,” paparnya. (jpc/lfa/pur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *