BAGI pejabat, cari uang ceperan itu bisa dengan dua cara. Cara pertama, persulitlah pengusaha: pasti akan keluar uangnya.
Atau pakai cara kedua, bantulah para pengusaha: mereka akan keluar juga uang –sebagian.
Yang mengatakan itu seorang pejabat di daerah. Saya sebut saja: Jawa Timur. Orangnya pun sudah meninggal dunia –semoga diterima amal kebaikannya.
Saya sebut saja namanya: Gubernur Basofi Sudirman. Mayor jenderal Kopassus. Putra ulama terkemuka yang juga seorang jenderal: Mayjen Sudirman.
Basofi, si pelantun dangdut Tidak Semua Laki-laki itu tidak tedeng aling-aling. Ia bicara apa adanya. Bahwa tidak ada pejabat yang hanya hidup dari gajinya.
Bahkan seorang pejabat di bawah Basofi juga pernah mengatakan kepada saya begini: semua target pejabat itu harus punya tabungan setidaknya Rp 10 miliar (pada 1995). Jumlahnya harus segitu agar bunga depositonya cukup untuk hidup dan menyekolahkan anak sampai lulus perguruan tinggi.
Angka Rp 10 miliar itu kira-kira setara Rp 50 miliar sekarang.
Basofi tidak mengelak kenyataan itu. Tapi ia tidak setuju kalau cara untuk cari uang tambahan itu dengan mempersulit orang.
Ia sendiri pernah membantu saya mengeluarkan izin untuk membangun pabrik kertas.
Basofi tidak setuju dengan cara yang pertama. Tapi ia tidak menolak untuk yang kedua. Basofi memang tipe orang yang suka bicara apa adanya. Ia mengatakan itu kepada saya di saat lagi duduk-duduk santai. Ia juga mengatakan itu kepada para pejabat daerah di bawahnya.
Ia bilang, hampir tidak ada pejabat yang bersih. Tapi tidak harus dengan cara yang tidak terhormat. Dan yang penting jangan dengan cara yang mempersulit orang.
Sebenarnya hidup ini indah. Hidup ini juga sederhana. Kalau saja semua pejabat punya prinsip seperti itu sebenarnya tidak perlu ada omnibus law.
Memang uang ceperan yang didapat mungkin tidak banyak. Tidak semua pengusaha “tahu diri”. Ada juga yang cuek bebek. Tapi setidaknya 50 persen pengusaha termasuk yang tahu diri.
Masalahnya banyak pejabat yang lupa pelajaran bahasa Indonesia. Terutama apa arti kata “cukup”. Kata itu selalu dibaca “tidak cukup”.
Mereka juga sudah lupa apa sebenarnya arti kata “rakus”. Rakuslah yang membuat kata “cukup” kehilangan makna yang sesungguhnya.
Pada Oktober ini adalah bulan bahasa. Tapi kian tahun kita memperingati bulan bahasa kian hilang arti kata “cukup” dan arti kata “rakus’.
Ujian berikutnya adalah omnibus law. UU yang dibuat dengan kecepatan cahaya ini menghapus banyak sekali perizinan. Secara formal kesempatan pejabat mencari uang lewat cara “mempersulit” mestinya hilang.
Satu-satunya cara ngobyek adalah lewat “menyenangkan” orang. Tapi hasil obyekan dari teknik menyenangkan tidak akan sebanyak melalui teknik mempersulit.
Yang “tidak banyak” itu sebenarnya “cukup”. Asal orang mengerti apa arti kata cukup yang sebenarnya. Masalahnya di kata “rakus”. Yang juga sudah kehilangan makna dari kehidupan sehari-hari.
Jadi, wahai para pejabat, siap-siaplah menghadapi kehidupan baru bersama omnibus law. Bagi yang tetap ngotot akan rakus, Anda akan kehilangan banyak hal yang bisa Anda pakai untuk mempersulit orang.
Atau, Anda akan lebih kreatif? Dengan mencari cara-cara baru untuk mempersulit orang?
Maka di bulan bahasa ini, mari kita adakan sayembara: cara apa saja yang masih bisa dilakukan para pejabat untuk mempersulit pengusaha. Termasuk pengusaha UMKM.
Kalau kita masih bisa menemukan 10 saja cara baru itu, sia-sialah heboh-heboh yang mendebarkan di sekitar pengesahan UU Cipta Kerja ini. (dis)