HARIANHALMAHERA.COM–Ucapan selamat mengalir untuk presiden Amerika Serikat terpilih, Joe Biden dan wakil presiden terpilih, Kamala Harris dari para pemimpin dunia. Tapi belum semua memberikan ucapan tersebut.
Beberapa di antaranya adalah para pemimpin otoriter yang disukai Presiden Donald Trump selama empat tahun kepemimpinannya. Ketertarikan Trump terhadap pemimpin otoriter hanyalah satu dari sedikit kekacauan yang ditimbulkan selama dia menjabat di Gedung Putih.
Dilansir CNN, beberapa para pemimpin dunia yang dekat dengan Trump diam-diam mengantisipasi hubungan dengan pemerintahan AS yang baru.
Pada 2016, Kremlin memberi selamat kepada Trump beberapa jam setelah pemenang pilpres diketahui. Tapi di pilpres tahun ini, Putin belum menyampaikan pesan serupa kepada Biden.
Pada Senin (9/11), juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan Moskow akan menunggu hasil resmi pilpres sebelum memberi selamat.
Trump dalam masa kepresidenannya telah melanggar kebijakan AS lewat pujian yang ia lontarkan berulang-ulang kepada Putin, itu mengundang kecurigaan atas kemungkinan hubungan tim kampanyenya dengan campur tangan Rusia dalam pilpres 2016 lalu.
Tapi sepertinya hubungan baik antara Rusia dan AS tidak akan berlangsung nyaman, mengingat Biden berjanji menindak campur tangan asing “sebagai tindakan permusuhan”.
“Biden akan bekerja keras dengan mitra dan sekutu untuk menghambat apa pun yang direncanakan Rusia, apakah itu mencoba membunuh warga Rusia di luar negeri, atau membunuh pemimpin oposisi mereka sendiri seperti dugaan yang menimpa (Alexei) Navalny di Siberia, atau aktivitas di Suriah, Krimea, dan lain-lain,” kata Direktur Jenderal Royal United Services Institute, Karin von Hippel.
“Jadi saya pikir dia (Putin) tahu bahwa akan ada lebih banyak upaya untuk mencoba menahan Rusia,” ujarnya.
Pada akhir Oktober dalam wawancara dengan 60 Minutes di CBS, Biden menyebut Rusia sebagai “ancaman utama” bagi keamanan nasional AS.
Komentar itu lantas langsung ditanggapi oleh Peskov yang mengatakan bahwa Rusia tidak setuju dengan pernyataan Biden. Menurut dia retorika semacam itu telah memperkuat “kebencian terhadap Rusia”.
Meski Trump kerap melontarkan retorika kasar terhadap China, tapi setidaknya ia tetap mendapat ucapan selamat dari Presiden Xi Jinping saat memenangkan pilpres 2016. Bahkan, Xi menyerukan hubungan China-AS yang “sehat dan stabil” untuk bergerak maju.
Tapi tahun ini hubungan antara keduanya semakin memburuk di tengah perpecahan atas perdagangan, teknologi, hak asasi manusia, tuduhan ekspansionisme China, dan sebagian besar tuduhan Trump atas pandemi Covid-19.
Kendati hubungannya dengan Trump telah memburuk, Xi belum juga menyambut kemenangan Biden. Pada Senin (9/11), pemerintah China menghindari pertanyaan mengenai kapan akan memberi selamat kepada Biden.
Juru bicara Kemlu China hanya mengatakan bahwa pihaknya akan bertindak “sesuai dengan praktik internasional”.
Beijing mungkin merasa tidak berkewajiban untuk berkompromi dengan AS di bawah pemerintahan baru. “Meskipun Biden akan bersikap keras terhadap China, dan akan bekerja dengan mitra dan sekutu untuk memiliki kebijakan China yang terpadu, platformnya mengatakan kami akan bekerja dengan China di area yang memiliki kepentingan bersama, apakah itu perubahan iklim atau Korea Utara,” kata von Hippel.
Bolsonaro yang serupa dengan Trump karena meremehkan pandemi virus corona, turut bungkam atas kekalahan Trump. Dia beserta anak-anaknya yang juga memainkan peran aktif dalam politik, berharap Trump dapat terpilih kembali. Salah seorang anaknya, Eduardo Bolsonaro bahkan mengenakan topi bertuliskan “Trump 2020” dalam perjalanannya ke Washington atas utusan ayahnya.
Dia pun ikut-ikutan mempertanyakan perolehan suara Biden dan integritas pilpres AS melalui Twitter pada pekan lalu. Seperti halnya Trump, Bolsonaro menjalankan polarisasi yang memicu kontroversi dengan membuat sejumlah pernyataan misoginis, rasis, dan homofobik.
Dia berulang kali meremehkan Covid-19 meskipun Brasil menjadi salah satu wabah virus corona paling mematikan di dunia. Dengan kalahnya Trump, Bolsonaro kehilangan sekutu diplomatik dan mendapati dirinya harus menghadapi Presiden AS yang berfokus pada HAM dan lingkungan.
Obrador termasuk salah satu pemimpin dunia yang membuat pernyataan dengan hati-hati terkait pilpres AS, di mana ia tidak menyebut Biden sebagai pemenang.
Dia justru mengatakan dirinya perlu menunggu hingga gugatan hukum Trump atas penghitungan suara telah diselesaikan.
“Kami akan menunggu semua masalah hukum diselesaikan. Kami tidak ingin bertindak enteng. Kami ingin menghormati penentuan nasib rakyat dan hak-hak mereka,” kata Obrador dalam pernyataan yang disiarkan televisi pemerintah, Sabtu (7/11).
Obrador telah menjalin hubungan dekat dengan Presiden AS selama beberapa tahun terakhir, bahkan ketika ia harus menghadapi perundungan ekonomi dan retorika rasis dari Trump. Dua pemimpin tersebut sempat bertemu pada Juli untuk merayakan implementasi kesepakatan perdagangan Perjanjian AS-Meksiko-Kanada.
Keengganan Obrador memberi selamat kepada Biden mungkin disebabkan oleh persahabatan itu. Langkah itu juga bisa diartikan sebagai kelanjutan dari tradisi politik luar negeri yang aktif menghindari mengomentari urusan negara lain.
“Kami memiliki hubungan yang sangat baik dengan kedua kandidat. Presiden Trump sangat menghormati kami dan kami telah mencapai kesepakatan yang baik. Kami berterima kasih padanya karena dia tidak ikut campur dan dia menghormati kami. Sama halnya dengan capres Biden. Saya telah mengenalnya selama lebih dari sepuluh tahun,” kata Obrador. (cnn/kho)