DUA minggu lagi badan pengawas obat dan makanan bersidang. Tepatnya tanggal 10 Desember 2020 –bersamaan dengan peringatan hari hak-hak asasi manusia.
Di situ akan dibahas permohonan dari pabrik obat Pfizer –yang dikirim Jumat lalu.
Pabrik obat terbesar di Amerika Serikat itu secara resmi telah berkirim surat permohonan: agar vaksin Covid-19 hasil risetnya diizinkan digunakan secara darurat.
FDA, badan pengawas obat dan makanan itu, sejak lama sudah mengatakan akan mempersingkat proses perizinan. Tanpa mengorbankan kualitas dan keamanan pemakainya.
Dari pernyataan itu para analis di Amerika memprediksi bahwa izin darurat itu akan keluar sebelum akhir Desember 2020.
Itulah kelihatannya hadiah Natal dan Tahun Baru yang paling berharga untuk rakyat Amerika tahun ini.
Kalau skenario itu terjadi, berarti Amerikalah yang akan lebih dulu menggunakan vaksin Covid-19 secara masal. Bukan Tiongkok.
Itu karena di Amerika sudah dibentuk operasi khusus yang disebut Operation Warp Speed (OWS). Ketua operasi ini seorang jenderal bintang 4 angkatan darat: Gustave F Perna. Yang selama di tentara punya spesialisasi di bidang logistik dan peralatan. Termasuk pernah menjadi Asisten Logistik Panglima Angkatan Bersenjata di sana. Dan terlibat di perang Iraq.
Operasi WS ini mendapat alokasi dana sekitar Rp 150 triliun. Salah satunya untuk mendorong 14 pabrik obat Amerika. Yang bersedia berlomba menemukan vaksin Covid-19. Angka 14 itu hasil seleksi dari 100 lebih perusahaan yang berminat mendapat dorongan dana riset dari pemerintah.
Dari 14 perusahaan itu, Pfizer adalah yang terdepan. Yang minggu lalu mengeluarkan pernyataan bahwa vaksinnya sudah terbukti efektif sampai 95 persen. Dan itu bukan omdo. Jumat lalu, data itu dikirim ke FDA untuk diminta kan izin penggunaannya secara darurat.
Yang dimaksud efektif 95 persen adalah: dari 100 orang yang disuntik vaksin itu, 95 orang berhasil memiliki kekebalan virus Covid-19.
Tapi dalam praktiknya nanti lebih rendah dari itu. Angka 95 persen tersebut berdasar dari orang yang menjalani uji coba. Padahal orang yang ikut uji coba itu adalah orang yang sudah diseleksi. Sedang pengguna vaksin nanti adalah masyarakat umum yang kondisinya beraneka ria.
Dari angka 95 persen itulah muncul gambaran bahwa izin itu pasti segera dikeluarkan. Mengapa? Angka 95 persen itu sudah jauh di atas yang dijanjikan. FDA sudah berjanji mempercepat izin bagi produsen yang mampu menemukan vaksin, pun bila efektivitasnya hanya di atas 50 persen.
Itulah komitmen FDA yang disampaikan dalam rapat-rapat Operasi WS.
Tiongkok kelihatannya belum berani ”jalan” sebelum penemuannya itu disetujui oleh WHO – -badan kesehatan dunia. Padahal Tiongkok sudah lebih dulu menemukan vaksin Covid-19. Bahkan tiga perusahaan sekaligus berlomba mencapai garis finis di ujicoba tahap tiga.
Indonesia, yang sudah telanjur memutuskan menggunakan vaksin dari Tiongkok, kelihatannya juga masih terjebak di izin WHO itu. Indonesia pasti tidak berani melakukan vaksinasi sebelum ada izin WHO itu.
Kembali ke Amerika. Bagaimana bisa sudah bisa melakukan vaksinasi di bulan Januari? Bukankah izinnya baru akan keluar sebelum Natal? Kapan bangun pabriknya? Kapan pula memproduksinya?
Di situlah peran Jenderal Gustave F Perna. Operasi WS yang ia pimpin itu berani mengambil risiko ”rugi uang” asal tidak rugi waktu.
Ketika pabrik-pabrik tersebut masih di tahap riset, operasi WS sudah menggelontorkan uang untuk membangun pabrik. Lengkap dengan mesin-mesin produksinya.
Memang pabrik dan mesin itu akan sia-sia kalau vaksin tidak berhasil ditemukan. Tapi itulah yang namanya risiko.
Pfezer sendiri ternyata tidak mau mendapat uang gratis dari pemerintah itu. Pabrik mereka sudah sangat besar. Barangkali tinggal menambah beberapa fasilitas saja. Mesin-mesin di pabrik obat pada dasarnya bisa dipakai untuk beberapa jenis obat sekaligus.
Mengapa Pfizer tidak mau ambil dana gratis pemerintah? Yang jumlahnya –untuk Pfizer sendiri– mencapai Rp 25 triliun?
“Kami tidak mau kebebasan ilmiah ilmuwan-ilmuwan kami diikat oleh aturan birokrasi,” ujar CEO Pfizer kepada media di Amerika.
Tapi bukan berarti dana itu tidak mengalir ke Pfizer. Alokasi Rp 25 triliun itu tetap diterima Pfizer. Hanya saja dibukukan sebagai uang pembelian vaksin.
Maka produksi vaksin pertama Pfizer sebanyak 100 juta unit di bulan Januari, telah menjadi hak kementerian kesehatan Amerika.
Kelihatannya barang itu hari-hari ini pun sudah mulai diproduksi. Januari nanti 100 juta unit itu sudah bisa dikirim. Tinggal menunggu izin FDA tadi.
Di bidang teknologi dan obat, Amerika memang bisa menentukan nasibnya sendiri. Izin FDA adalah cukup. Langsung bisa dipasarkan.
Tiongkok sebenarnya juga punya sejenis FDA. Indonesia pun juga punya BPOM. Tapi lembaga-lembaga itu masih tergantung pada WHO. Sedang FDA merasa lebih berkuasa dari WHO.
Itu mirip dengan perizinan di industri pesawat terbang. Amerika memiliki lembaga FAA. Meski itu milik Amerika, dalam praktiknya sudah dianggap yang berkuasa di dunia. Sehebat-hebat BJ Habibie membuat pesawat terbang akhirnya tidak ada yang mau membeli kalau izin terbang dari FAA tidak keluar.
Pfezer sendiri, dengan telah mengirim surat ke FDA, merasa seperti telah terbebas dari hukuman mati. “Ini sejarah penting bagi umat manusia,” kata mereka.
Tentu ada yang sedih: Donald Trump. Mengapa ini tidak terjadi sebelum Pilpres? Ada apa? Ada konspirasi apa? Bukankah ia yang membentuk Operasi WS itu. Bukankah ia yang menekan FDA untuk mau memproses izin secara khusus? Bukankah ia yang mengangkat Jenderal Gustave Perna yang berumur 60 tahun itu? Mengapa semua itu telat –kurang dari sebulan?
Tentu Trump masih punya wewenang kalau mau balas dendam. Ia masih presiden sampai tanggal 20 Januari 2021 jam 09.00.
Vaksin itu nanti kan gratis. Untuk rakyat Amerika. Vaksin itu sudah dibeli dengan uang APBN. Siapa tahu Trump tiba-tiba bikin eksekutif order: hanya anggota Partai Republik yang bisa dapat vaksin gratis.(dis)