Mancanegara

Dunia 2020: Covid-19 dan Trump Jadi Sorotan Utama

×

Dunia 2020: Covid-19 dan Trump Jadi Sorotan Utama

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

HARIANHALMAHERA.COM–Tinggal menghitung jam tahun 2020 akan ditinggalkan. Dari sekian banyak persoalan yang terjadi secara global, mengerucut pada dua sorotan utama. Yakni, pandemi virus covid-19 dan Donald Trump. Ya, karena hampir semua persoalan yang terjadi bersinggungan dengan covid dan Trump. Berikut beberapa peristiwa dunia yang dirangkum dari berbagai sumber.

Virus Baru

PENGHORMATAN: Salah satu warga memberi penghormatan kepada dr Li Wenliang, orang pertama yang memperingatkan bahaya virus corona.(foto: kompas.com)

Berawal dari kecurigaan seorang dokter di Wuhan, China. Namanya Li Wenliang, seorang dokter spesialis mata. Sebagaimana dikutip dari Jawapos.com, sejak awal Li sudah mengeluarkan peringatan pertama tentang wabah virus corona jenis baru pada Desember 2019.

Dia memposting kisahnya di Weibo dari tempat tidur rumah sakit sebulan setelah mengirimkan peringatan awalnya seperti dilansir dari BBC. Dr Li yang memprediksi bahwa virus corona akan menjadi wabah global. Dia melihat 7 kasus pasien yang terkena virus yang tampak seperti SARS.

Hanya saja, empat hari setelah postingannya, dia ‘diamankan’ Biro Keamanan Umum China. Dia dituduh membuat komentar palsu yang telah mengganggu tatanan sosial. Siapa sangka, peringatannya itu justru berubah menjadi bencana setelah 1 tahun berlalu. Dunia kini dilanda pandemi Covid-19 dan belum tahu kapan berakhir.

Pihak berwenang setempat sempat meminta maaf kepada Dokter Li. Tak lama, dia pun jatuh sakit. Dalam pos Weibo-nya dia menjelaskan bagaimana pada 10 Januari dia mulai batuk, hari berikutnya dia demam dan dua hari kemudian dia dirawat di rumah sakit. Dia didiagnosis dengan virus corona pada 30 Januari 2020.

Pada Januari 2020, kurang dari sebulan setelah laporan pertama kali muncul bahwa penyakit pernapasan misterius menyerang orang-orang di kota Wuhan, para peneliti negara itu telah mengidentifikasi penyebabnya. Yaitu virus corona jenis baru, yang segera diberi nama SARS-CoV-2. Pada 11 Januari, tim China-Australia memposting urutan genetik virus secara online. Segera setelah itu, para ilmuwan membuat penemuan kunci lain, namun mengkhawatirkan. Virus dapat menular antarmanusia.

Setelah menginfeksi lebih dari 121 ribu orang di dunia dan melumpuhkan berbagai negara saat itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Virus yang baru muncul selama 3 bulan terakhir itu telah dengan cepat menyebar ke seluruh benua.

Tak ada obat, Wuhan sebagai kota pertama melakukan isolasi. Kota ditutup dari segala aktivitas. Masyarakat dilarang keluar rumah. Itu dilakukan untuk menahan virus. Langkah ini ditiru sebagian besar negara dunia.

KOTA MATI: Situasi Kota Wuhan saat diterapkan kebijakan lockdown.(foto: straitstimes.com)

Tidak hanya kesehatan, hampir semua sektor terdampak. Ekonomi terutama. Banyak negara yang mengumumkan resesi. Ekonomi tidak bergerak sementara butuh biaya yang tidak sedikit untuk sektor kesehatan.

Kondisi itu cukup memiriskan. Tak hanya negara miskin dan berkembang, negara maju pun seolah tak siap menghadapi serangan virus. Sektor kesehatan terpukul. Rumah sakit tak mampu. Dokter dan perawat hampir menyerah. Banyak yang tumbang, baik akibat ikut terinfeksi maupun akibat kelelahan.

Kini, vaksin sudah ditemukan. Namun, vaksin ternyata tidak mungkin untuk mengakhiri pandemi, mengingat logistik vaksin yang mungkin diperlukan secara berkala untuk populasi global. Belum lagi virus ini terus bermutasi dengan membawa karakteristik baru. Apakah vaksin ini bisa menjadi harapan dunia bebas corona?

Hingga Selasa(22/12), berdasar Worldometers, lebih dari 77 juta kasus Covid-19 telah dilaporkan di seluruh dunia dengan lebih dari 54 juta kasus tersebut dinyatakan pulih. Korban tewas global lebih dari 1,7 juta dalam kurun waktu 1 tahun. Semua berharap pandemi segera berakhir dengan telah ditemukannya sejumlah vaksin Covid-19.

Panas Dingin AS-China

ILUSTRASI meme AS dan Iran terkait insiden kematian Qasem Soleimani yang disebut nyaris menyulut perang dunia III. (foto: acenews)

CORONA menjadi salah satu penyebab memburuknya hubungan Amerika Serikat (AS) dan China. AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump menuduh China penyebab pandemi virus corona. Kemudian, merembes ke perang dagang, perang teknologi, hingga bentrok perebutan kekuasaan di Laut China Selatan.

Kondisi perang dagang antara China dan AS membuat perusahaan kedua negara dilema. Pada Juli, Trump mengakhiri hubungan perdagangan khusus Amerika Serikat dengan Hongkong, yang di masa lalu telah membebaskan kota itu dari tarif tertentu, di antara hak istimewa lainnya.

Bulan itu, kedua negara juga memerintahkan penutupan konsulat mereka di Houston dan Chengdu.

Washington juga memberi sanksi kepada pejabat pemerintah yang dituduhnya merusak otonomi Hongkong, termasuk pemimpin Carrie Lam. Sementara itu, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang mengancam akan melarang dua aplikasi populer milik China, TikTok dan WeChat, untuk beroperasi di AS.

Kemudian, pernyataan Donald Trump yang menyebut corona sebagai ‘Virus Wuhan’ karena diduga sengaja dibuat di laboratorium makin memperlebar jarak hubungan kedua negara. WHO pun kena imbas. Organisasi Kesehatan Dunia itu oleh Trump disebut bersekongkol dengan China. Trump pun mencabut sumbangan AS untuk WHO.

“Amerika Serikat membayar mereka USD 450 juta per tahun. China membayar mereka USD 38 juta per tahun. Dan mereka (WHO) adalah boneka China. Mereka (WHO) China-sentris,” kata Trump saat itu di Gedung Putih seperti dilansir dari AsiaOne.

Tidak hanya itu, AS pun ikut tampi di konflik Laut China Selatan (LCS). Seringkali China berang jika AS melakukan pergerakan di kawasan tersebut. China mengecam tindakan AS yang dianggap melakukan tindakan provokatif di LCS.

Konflik LCS makin panas karena melibatkan beberapa negara di sekitar kawasan tersebut, termasuk di dalamnya Indonesia. Tidak hanya itu, kehadiran AS, juga turut memboyong para sekutunya. Seperti Jepang, India, dan Australia. Apalagi, China memang lagi bersitegang India dan Jepang. Lagi-lagi soal batas wilayah kedaulatan.

Ujian Trump

KALAH: Donald Trump kalah memperebutkan suara pemilih di Pilpres AS 3 November dari rivalnya Joe Biden.(foto: bwbx.io)

TRUMP memang menjadi sosok yang menjadi sorotan dunia sepanjang 2020. Bisa dibilang Trump mendapatkan kesenangan di awal tahun, namun akhirnya kisah sedih jelang akhir tahun. Seperti diketahui, Trump kalah dalam Pilpres AS yang digelar pada 3 November 2020. Trump dikalahkan Joe Biden dari Partai Demokrat.

Pada awal 2020, Trump bisa merayakan kemenangan karena terbebas dari dakwaan pemakzulan dalam sidang Senat AS. Sebelumnya, pada akhir 2019, DPR AS resmi memakzulkan Trump. Lolos dari pemakzulan, Trump maju dalam Pilpres 2020.

Saat pandemi Covid-19 melanda dunia, Trump juga terbilang kontroversial. Padahal, AS merupakan negara yang paling parah terpapar virus corona. Trump dinilai meremehkan Covid-19 dengan cuitan-cuitan kontroversialnya.

Trump pada akhirnya merasakan bagaimana seseorang yang terinfeksi virus corona. Dia menyatakan dirinya positif covid-19 lewat cuitannya pada 2 Oktober 2020. “Malam ini ibu negara dan saya dinyatakan positif Covid-19. Kami segera memulai karantina dan pemulihan. Kami akan melewati ini bersama,” cuitnya singkat.

Trump dan Melania menjalani tes setelah Hope Hicks dinyatakan positif. Hicks adalah penasihat Trump dan dia ikut dalam penggalangan dana di New Jersey maupun dalam debat capres lalu. Dia bukan satu-satunya orang di Gedung Putih yang positif Covid-19. Katie Miller yang merupakan juru bicara Pence juga baru sembuh dari penyakit tersebut. Miller menikah dengan penasihat Trump, Stephen Miller. Pada Mei 2020, salah seorang pelayan pribadi Trump juga positif Covid-19.

Seminggu menjalani perawatan, Trump dinyatakan negatif. Dia mencuit berhasil mengalahkan virus China yang gila dan mengerikan. Dia kemudian melanjutkan kampanye jelang Pilpres AS, meski setelah penghitungan suara, Biden dinyatakan menang dan terpilih sebagai presiden ke-46 AS dengan raihan 290 suara elektotal, sementara Trump hanya 214 suara.

Ancaman Perang Dunia III

TEGANG: Hubungan AS dan China terus meningkat, tampak Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dalam suatu kesempatan. (foto: detik.net.id)

 

AWAL tahun 2020 dibuka dengan insiden tragis yang terjadi antara dua negara yang bertikai yakni Iran dan AS. Pada 3 Januari 2020, Kepala Pasukan Elit Quds Iran, Mayjen Qasem Soleimani tewas dalam serangan udara sekutu AS. Selain itu, komandan milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis juga tewas. Mereka diserang di Bandara Internasional Baghdad, Irak.

“Amerika dan Israel bertanggung jawab atas pembunuhan Abu Mahdi al-Muhandis dan Qasem Soleimani,” kata Juru bicara kelompok Mobilisasi Pasukan Populer (PMF) Irak, Ahmed al-Assadi, seperti dilansir dari Japan Times saat itu.

Presiden AS Donald Trump menyalahkan Iran atas serangan AS ke Irak. Pasalnya serangan AS ke pangkalan milisi Hizbullah di Irak, terjadi karena pasukan itu didukung penuh oleh Iran. Sesaat setelah kematian sang jenderal senior Iran saat itu, Tump angkat bicara. Dia sempat berkicau dengan pernyataan pertamanya menanggapi pembunuhan pasukan Amerika atas Jenderal Iran. “Iran tidak pernah memenangkan perang, tetapi tidak pernah kehilangan negosiasi!” kata Trump.

Dilansir dari CNBC, atas perintah Trump, pasukan AS melancarkan serangan udara yang menewaskan pemimpin militer Iran Qasem Soleimani. Iran berjanji untuk membalas. Cuitan itu dilanjutkan Trump dengan beberapa kicauan lanjutan.

“Jenderal Qasem Soleimani telah membunuh atau melukai ribuan orang Amerika dalam waktu yang lama, dan berencana untuk membunuh lebih banyak lagi, tetapi tertangkap! Dia secara langsung dan tidak langsung bertanggung jawab atas kematian jutaan orang, termasuk jumlah besar baru-baru ini,” tegas

Iran pun membalas dendam tindakan AS dengan melanggar perjanjian nuklir. Iran mengumumkan bahwa mereka tidak lagi mematuhi batasan pengayaan uranium yang diatur dalam perjanjian nuklir 2015.

Ketegangan di negara Timur Tengah makin meningkat menyusul serangan balasan olah Iran kepada Amerika Serikat sebagai upaya balas dendam atas kematian Qasem Soleimani. Iran menembakkan beberapa rudal ke dua kawasan militer AS di Irak.

Untungnya, kedua negara melunak. Trump menyerukan kemungkinan berdamai dengan Iran dalam pidato terakhirnya. Dilansir dari New York Times, Kamis (9/1), anggota dewan AS berencana untuk memaksa Trump untuk segera menghentikan tindakan militer terhadap Iran. Tapi belakangan, setelah pidato Trump yang lebih tenang itu, Ketua Nancy Pelosi bernapas lega. Trump mengumumkan bahwa dia mundur dari segala serangan militer terhadap Teheran.

Ada tanda-tanda bahwa AS dan Iran telah sepakat berhenti perang. Menteri luar negeri Iran mengatakan bahwa negaranya telah tidak ingin ada eskalasi atau perang. Ancaman perang dunia III pun bisa terhindarkan.(jpc/fir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *