Oleh: Gutomo Bayu Aji
Peneliti Senior LIPI
RILIS survei potensi golput milenial yang diselenggarakan Jeune & Raccord Communication pada 4 April 2019 seperti membuat tampilan statistik atas wacana kritis tentang golput yang muncul belakangan. Meski keduanya tidak memiliki hubungan statistik, bahkan tujuannya berlawanan arah, wacana kritis itu seperti representasi dari potensi golput milenial yang melalui survei itu disebutkan berada di atas 40%.
Sebagai sebuah representasi, tentu itu bukan hal sesungguhnya atau keduanya sebatas menunjukkan. Kendati demikian, angka di atas 40% itu cukup mengejutkan karena melonjak drastis hampir tiga kali rata-rata golput pada tiga pemilu sebelumnya. Sebagaimana merujuk data KPU, angka golput mengalami peningkatan dari Pemilu 2004, yaitu 23,30%, Pemilu 2009 pada 27,45%, dan Pemilu 2014 pada 30,42%.
Di sisi lain, lonjakan drastis setidaknya berdasarkan hasil survei itu juga mencerminkan dua persoalan serius dalam pemilu. Pertama, pengelolaan terhadap kecenderungan golput di kalangan milenial, merujuk pada survei itu dengan rentang usia 17-49 tahun yang mencapai 44,7% kurang digarap secara serius. Padahal, satu dari dua pemilih pada pemilu kali ini ialah milenial.
Kedua, dari 20 partai politik peserta pemilu, hanya satu partai politik yang mengidentikan sebagai parpol milenial, yaitu PSI. Namun demikian, angka golput yang besar berdasarkan survei itu menunjukkan bahwa partai politik secara umum belum berperan dalam pengelolaan kecenderungan golput di kalangan milenial.
Apatisme
Rilis survei itu juga menyinggung apatisme setidaknya dari frekuensi tidak mengikuti berita tentang politik (65,4%) dan tidak akan datang ke TPS (51,8%). Kedua frekuensi itu tidak selalu bisa dijelaskan ada hubungannya dengan wacana kritis tentang golput belakangan, tetapi kemungkinan karena kaitan dengan faktor-faktor lain.
Diferensiasi ruang politik mungkin menjadi penjelas, yakni wacana kritis tentang golput itu lebih bernuansa akademis, sedangkan apatisme yang ditayangkan melalui survei lebih merujuk pada keterbatasan informasi atau ketidakpedulian. Selain itu, apatisme tidak selalu memperlihatkan suatu bangunan paradigma pemikiran kritis serta bentuk perlawanan yang jelas, dua hal yang terkesan ingin ditingkatkan bobotnya dalam wacana kritis tentang golput.
Apatisme tampaknya lebih bisa dilihat kaitannya dengan otoritarianisme di masa lalu dan keberlanjutannya hingga sekarang. Otoritarianisme telah menutup beragam alternatif, mengendalikan di dalam jalur yang telah ditentukan, dan menginstrumentasikan untuk kepentingan elite. Sampai pada titik ini, tesis tentang oligarki tampak masih bisa digunakan untuk menjelaskan apatisme itu.
Namun demikian, perbedaannya dengan wacana kritis cukup jelas. Apatisme di sini lebih sebagai subjek dari objek otoritarianisme yang didomestikasi kesadaran politiknya dan diinstrumentasikan sumber dayanya ke dalam pembangunan sehingga berada di antara kesadaran semu dan komoditas fetisisme.
Dengan kata lain, kecenderungan angka golput yang besar di kalangan milenial itu bukan karena kesadaran alternatif yang tumbuh bersama-sama dengan wacana kritis, melainkan karena masalah otoritarianisme di masa lalu yang telah mengakar dan belum seluruhnya terbongkar di dalam era pembangunan sekarang.
Anomali
Argumentasi itu setidaknya juga menyinggung anomali demokrasi, yakni keterbukaan politik dan ekonomi pascareformasi tidak diikuti aspirasi dan partisipasi politik yang luas. Sebaliknya, keterbukaan itu justru melahirkan ketidakpercayaan warga yang semakin tinggi melalui kecenderungan angka golput yang semakin besar.
Pemilu kali ini dan Pemilu 2024 merupakan dua pesta demokrasi yang secara demografi akan mengalami puncak milenial, yakni satu di antara dua pemilih ialah milenial. Mengeliminasi anomali demokrasi sudah semestinya menjadi agenda penting bagi penyelenggara pemilu untuk semakin meningkatkan kepercayaan warga terhadap pemerintah serta wibawa pemerintah.
Upaya itu tentu bukan melalui retorika politik yang membosankan, melainkan melalui kerja nyata dan bukti bahwa aspirasi dan partisipasi politik. Itu antara lain disampaikan melalui pemberian suara di dalam pemilu sebelumnya dan pemilu kali ini sudah dan akan bisa dikonversi menjadi nilai, serta keuntungan yang bersifat ekonomis bagi setiap individu warga negara.
Pemerintah harus memperlihatkan bukti-bukti nyata dari setiap upaya yang telah dilakukannya secara rinci untuk menunjukkan bahwa pemilu dapat mengonversi suara pemilih milenial itu ke dalam pembangunan yang sedang dijalankan. Persoalan-persoalan nyata yang dihadapi kalangan milenial sekarang, antara lain berupa lapangan pekerjaan dan pendapatan yang layak akan terjawab.
Walaupun Pemilu 2019 sudah di depan mata. Namun, waktu yang tersisa serta debat capres-cawapres terakhir dengan tema ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi, serta perdagangan dan industri bisa jadi momentum kunci untuk mengubah sikap apatisme kalangan milenial menjadi lebih positif dan tergerak untuk menggunakan hak suaranya pada 17 April 2019.(*)
Sumber: http://mediaindonesia.com/read/detail/228872-merebut-hati-milenial