Ilmuwan Universitas Indonesia (UI) ini tidak keberatan dengan Vaksin Nusantara asal itu tidak disebut vaksin. “Vaksin itu punya definisinya sendiri,” ujar Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, MSc., ahli epidemiologi dari UI tersebut.
Beliau jadi pembicara seminar Zoom yang membahas Vaksin Nusantara kemarin. Penyelenggara forum itu para wartawan yang tergabung dalam Beranda Ruang Diskusi.
“Kalau disebut terapi saya tidak keberatan. Asal tidak disebut vaksin,” ujar Tri. Beliau meraih S-1 dan S-2 di UI –mengambil ilmu kesehatan masyarakat. Lalu meneruskan S-3 di Filipina di bidang epidemiologi.
Berarti sebenarnya praktik melahirkan imunitas lewat sel dendritic bisa diterima. Seperti yang terjadi di Vaksin Nusantara itu: sel dendritic diambil dari tubuh kita masing-masing. Caranya: darah kita diambil sebanyak 40 cc. Darah itu diberi serum tertentu. Lahirlah imunitas. Lalu darah yang sudah mengandung imunitas itu dimasukkan kembali ke tubuh kita.
Di dalam tubuh kita, sel dendritic yang sudah punya anti virus Covid-19 itu berfungsi jadi guru. Mereka mendidik sel darah kita lainnya bagaimana cara memproduksi anti virus Covid-19.
“Itu ok. Tapi yang seperti itu tidak memenuhi definisi vaksin,” ujar Tri.
Tri Yunis Miko Wahyono
Saya, yang juga jadi pembicara di forum itu, lantas merasa lega. Ternyata persoalannya pada definisi. Bukan pada bisa atau tidak. Juga bukan pada efektif atau tidaknya metode melahirkan imunitas lewat sel dendritic itu.
Sebagai orang yang pernah belajar ilmu mantiq dan ushul fiqh saya pun berpikir: bisakah definisi itu diubah? Bukankah yang membuat definisi juga manusia?
Atau, kalau sulit mengubah definisi, mengapa tidak Vaksin Nusantara saja yang berubah? Misalnya –kata saya di forum itu– diubah dari Vaksin Nusantara menjadi Vaksinta Nusantara? “Ta” di situ bisa diartikan Terawan. Atau Cinta. Terserah saja. Yang penting metode membuat imunitas lewat sel dendritic itu bisa diterima.
Bukankah yang penting hasilnya?
Tentu juga tidak mudah menerima istilah Vaksinta Nusantara. Misalnya, berarti pemerintah harus punya dua macam program pencegahan Covid-19: lewat vaksinasi dan vaksintanisasi.
Melki Laka Lena, anggota DPR dari NTT, juga menjadi salah satu pembicara di forum itu. Ia seorang apoteker –yang tidak punya apotek dan tidak praktik sebagai apoteker. Melki lebih sibuk sebagai politikus Golkar. Sampai berhasil menjadi Wakil ketua Komisi IX DPR. Umurnya 44 tahun. Juga baru sekali ini menjadi anggota DPR.
Lulusan Universitas Sanata Dharma Jogjakarta ini mendukung penuh Vaksin Nusantara. Melki yang sedang melakukan tugas di Jogja pun mampir ke Semarang. Ke rumah sakit Kariadi, tempat uji coba Vaksin Nusantara dilakukan.
Di situ Melki bertemu ahli-ahli dari Universitas Diponegoro dan juga dari RS Kariadi. Dari penjelasan yang diberikan, Melki bisa paham cara kerja Vaksin Nusantara. Ia juga percaya pada hasil uji coba fase pertama yang sudah dilakukan. Terhadap 28 orang. Yang semuanya tidak menunjukkan terkena efek samping apa-apa.
Apalagi, kata Melki, imunitas benar-benar muncul pada relawan uji coba. Bahkan ada yang dengan angka sangat tinggi”.
Melki pun ikut ke BPOM. Sebagai bentuk dukungannya pada Vaksin Nusantara. “Saya mendukung BPOM tetap profesional. Tapi BPOM kan juga bagian dari perjuangan bangsa,” kata Melki.
Melki Laka Lena
Forum Zoom kemarin itu kelihatannya memang diadakan untuk memberikan dukungan pada karya anak bangsa. Terutama di tengah persaingan global yang keras sekarang ini.
Karena itu dihadirkan juga Deputi 7 Badan Intelijen Negara (BIN) DR Wawan Purwanto, sebagai salah satu pembicara. BIN memang lembaga yang termasuk pertama-tama memberikan dorongan nyata pada lahirnya penemuan dalam negeri di bidang penanganan Covid. Lahirnya GeNose dari UGM, misalnya, juga mendapat dukungan dana dari BIN.
Eko Galgendu, yang juga jadi pembicara, sampai minta harus presiden sendiri yang berada di komando paling depan untuk memenangkan persaingan global ini.
Saya juga mengajukan satu agenda lagi –di samping soal vaksinta tadi. Yakni mengenai satu istilah yang kelihatannya juga harus diluruskan. Yakni istilah ”vaksin seumur hidup” itu.
Istilah Vaksin Nusantara ”bisa dipakai seumur hidup” ini telah menjadi isu yang sensitif. Sebaiknya tidak perlu dipakai lagi. Agar tidak banyak yang sensi.
Saya pun menghubungi dokter Jenderal Terawan Agus Putranto –mantan menteri kesehatan itu. Dari mana istilah ”vaksin seumur hidup” itu? Yang hanya bikin heboh saja –sampai Disway pun ikut menggunakan istilah itu?
Ternyata Terawan tidak pernah melontarkan istilah ”untuk seumur hidup”. Ia juga tidak tahu dari mana datangnya istilah itu. Saya pun menghubungi dokter Terawan. Saya tanyakan soal itu. “Waktu di Kompas TV saya tidak ngomong begitu, ” ujarnya.
Itulah satu-satunya forum yang dihadiri Terawan. “Di situ Pak Terawan hanya mengemukakan istilah ”awet” bukan seumur hidup,” ujar salah satu penyelenggara yang menonton acara di Kompas TV.
Maka jelaslah bahwa ada dua isu penting yang terklarifikasi di forum itu. Yakni soal penyebutan istilah vaksin dan soal seumur hidup tadi.
Kita pun menunggu-nunggu kelanjutannya: vaksin atau vaksinta. Seumur hidup atau awet –bertahan lama.(dis)