SUDAH tiga hari ini ”juara dua” Covid-19 diduduki Brasil –mengambil alih India. Tinggal Brasil yang penderita Covid-nya masih naik terus.
Korbannya: menteri kesehatan. Dicopot. Diganti yang baru lagi.
Dalam setahun terakhir Brasil sudah ganti menkes 4 kali. Mengalahkan negara mana pun di dunia.
Menteri kesehatan yang baru saja diganti itu termasuk yang paling lama menjabat: 6 bulan. Menkes yang pertama hanya menjabat lima bulan: Luiz Henrique Mandetta. Awalnya tidak ada masalah. Satu partai dengan presiden. Begitu 4 bulan menjabat datanglah Covid. Luiz langsung bertengkar dengan Presiden Jair Bolsonaro.
Luiz Henrique Mandetta.
Luiz dokter ahli orthopedi. Ia lulusan universitas negeri Mato Grosso do Sul di pedalaman Brasil. Di dekat perbatasan dengan Paraguay.
Penyebab pertengkaran: beda pendapat cara penanganan Covid.
Presiden Bolsonaro memang mengidolakan Presiden Donald Trump. Ia sampai mendapat julukan “Trump-nya Brasil”: tidak mau ada kebijakan jaga jarak, tidak mau ada toko dan restoran yang ditutup, dan ia anti-masker.
Begitu menkes mundur, Bolsonaro lantas mendekati dokter wanita ahli jantung: Prof Dr Ludhmila Hajjar. Tapi Hajjar tidak mau. Dia seorang ilmuwan yang juga berseberangan pemikiran dengan presiden.
Prof Dr Ludhmila Hajjar.
Maka dipilihlah Nelson Teich. Seorang dokter ahli kanker yang juga pengusaha. Umurnya 64 tahun. Lulusan Universitas Federal Rio de Janeiro. Ia juga memperdalam keahliannya di New York University.
Nelson Teich.
Baru 28 hari menjabat Nelson mengundurkan diri. Juga tidak sejalan dengan Presiden Bolsonaro. Terutama soal pemakaian obat flu untuk Covid.
Presiden memang memaksa menkes agar menggunakan chloroquine dan hydroxychloroquine. Itulah obat flu yang dibanggakan oleh Trump sebagai jurus ampuh mengatasi Covid. Yang di Amerika sendiri juga ditentang para ilmuwan –lalu jadi bahan ejekan di medsos.
Sejak menkes kedua mundur tidak ditemukan lagi calon menkes. Bolsonaro membiarkan jabatan itu kosong. Sampai 4 bulan. Media di Brasil –sumber tulisan saya ini– ribut sekali. Tapi Bolsonaro masih terus mencari calon menteri yang mau menggunakan chloroquine dan hydroxychloroquine.
Akhirnya ditemukan.
Ia seorang jenderal aktif Angkatan Darat. Prestasinya menonjol saat menangani logistik Olimpiade di Rio de Janeiro.
Ia bukan dokter.
Namanya: Eduardo Pazuello.
Eduardo Pazuello.
Eduardo menurut saja apa yang diinginkan Presiden Bolsonaro. Ketika ditanya mengapa ia mendistribusikan obat flu untuk Covid, Eduardo hanya menjawab singkat: bos kita menghendakinya.
Tapi penderita Covid di Brasil terus meningkat. Pun pengadaan vaksin di sana simpang siur. Badan kesehatan di sana mengizinkan uji coba fase 3 Sinovac dari Tiongkok. Uji cobanya di Sao Paolo. Tapi Presiden Bolsonaro terus mengecam Sinovac.
Di Brasil pun beredar dua keterangan mengenai afikasi Sinovac. Bolsonaro terus menyuarakan bahwa afikasi Sinovac hanya 50,4 persen. Peneliti di sana mengumumkan afikasinya 78 persen.
Bolsonaro, seperti Trump, juga anti Tiongkok.
Maka vaksinasi di Brasil terkenal tidak terorganisasikan dengan baik. Menkes yang jenderal segera memesan vaksin AstraZeneca 100 juta. Tapi terjadi kesalahpahaman. Pesan lagi vaksin Pfizer dan Sputnic-V dari Rusia.
Sampai kemarin baru 5 persen penduduk Brasil yang divaksinasi.
Kehebohan terbesar ketika kementerian salah kirim vaksin: mestinya ke negara bagian Amazon dikirim ke Amapa –tetangganya. Itu akibat kode kirim yang mirip –tiga huruf depan dua negara bagian itu sama-sama ”Ama..”.
Banyak lagi kekacauan lainnya. Termasuk terjadinya kelangkaan oksigen. Dan juga terjadi penyelewengan. Yang melibatkan sang menkes. Maka menkes tidak bisa lagi cuci tangan. Ia harus menghadapi pengadilan dalam waktu dekat.
Bolsonaro pun harus mengganti menkes-nya lagi. Tapi diganti siapa? Siapa yang mau?
Presiden kembali melirik ke dokter wanita ahli jantung itu. Yang dulu menolak jadi menkes itu. Sabtu lalu Prof Hajjar dipanggil ke istana. Untuk mendiskusikan soal jabatan menkes itu. Tidak mudah bagi Presiden Bolsonaro membujuk Prof Hajjar. Hari Minggu besoknya Prof Hajjar diminta ke istana lagi. Bicara panjang lagi. Prof Hajjar tetap menolak jabatan itu.
“Saya ini ilmuwan. Bukan politisi. Bukan pula orang bisnis,” ujar Hajjar. “Saya tidak bisa mengatasi Covid di luar ilmu pengetahuan,” tambahnya.
Hajjar, kalau mau jadi menkes, harus merombak total sistem penanganan Covid yang ada. Kalau tidak, jumlah yang meninggal karena Covid bisa mencapai 500.000 sampai 600.000. Itu angka perkiraan Hajjar. Dan dia tidak yakin bisa diberi otoritas untuk menerapkan ilmu pengetahuan di bawah Presiden Bolsonaro.
Akhirnya Bolsonaro menemukan nama lain sebagai calon menkes: Marcelo Queiroga. Ia seorang dokter. Guru besar. Ahli jantung. Bahkan ketua asosiasi ahli jantung Brasil.
Marcelo Queiroga.
Dari Instagram-nya terlihat ia tidak seperti ilmuwan lain: ia dokter yang tidak pernah mengkritik Bolsonaro.
Tapi Marcelo masih minta waktu dua minggu. Untuk bisa memahami apa yang sudah dilakukan menkes yang jenderal sebelumnya.
Sesekali baik juga membahas negara seperti Brasil. Agar kita bisa bersyukur bahwa Indonesia lebih maju dari itu.
Maka biarlah harga cabai kita naik menjadi Rp 120.000 kg hari-hari ini. Sampai harga cabe bikin sejarah: mengalahkan harga daging. Sekarang ini harga cabai sudah dihapus dari parameter penentu inflasi. Jadi kalau pun menjadi Rp 130.000 per kg tidak akan merisaukan ekonom pemerintah.
Dan lagi bisa membantu perbaikan pencernaan. (dis)