HARIANHALMAHERA.COM–Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) masih menjadi persoalan krusial dalam pemerintahan. Banyak jabatan pimpinan tinggi (JPT) dalam pemerintahan terkesan ‘acuh’ terhadap kompetensi teknis seorang pejabat yang sesuai dengan standar kompetensi jabatan.
Seperti dalam Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halamahera Utara (Halut) saat ini. Ada beberapa jabatan kepala dinas yang diisi oleh pejabat yang tidak sesuai latar belakang pendidikan (teknis/keahlian). Seperti dalam pengelolaan keuangan dipimpin pejabat yang memiliki keahlian teknik. Ada juga jabatan teknik diisi pejabat yang memiliki keahlian hukum.
Bukan hanya itu, instansi yang berkutat dengan perancanaan pembangunan diisi pejabat dengan latar belakang kesehatan. Belum lagi pejabat yang memiliki latar belakang pendidikan ditempatkan pada jabatan keamanan dan ketertiban. Bahkan ilmu pemerintahan mengurusi ekonomi dan kesejahteraan.
Kekeliruan penempatan pejabat dalam jabatan ini tidak hanya terjadi pada jabatan struktural saja, tetapi terjadi juga dalam penempatan jabatan fungsional. Tentunya, persoalan ini menjadi pekerjaan pertama bagi siapapun yang nantinya terpilih sebagai bupati dan wakil bupati yang baru.
Bahwa, penempatan pejabat harus berlandaskan pada UU ASN, dan peraturan pemerintah tentang manajemen ASN. Tidak hanya itu, pemerintahan juga harus mengedepankan pola karir bagi ASN. Sebagaimana dalam UU ASN, disebutkan pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketika dikonfirmasi, Plh Bupati Halut Yudhiahart Noya, enggan memberikan keterangan terkait penempatan pejabat dalam suatu jabatan. Alasannya, itu bukan kewenangannya. “Nanti tanya saja kepada bupati definitive. Saya tidak mau menjelaskan persoalan ini karena saya hanya menjabat sebagai Plh Bupati,” kata Noya, sapaan akrab Yudhiahart Noya.
Alasan lain, Noya mengaku ingin menghindari ketersinggungan di setiap pejabat yang ada. “Masalah pejabat yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan itu bukan urusan saya, karena saya saat ini hanya dipercayakan sebagai Plh Bupati saja,” ulangnya.
Terpisah, akademisi Universitas Halmahera (Uniera) Gunawan Hi. Abas menilai, penempatan jabatan dalam birokrasi itu sangat penting, ketika dilihat dalam sisi pemahaman dan kinerja dalam birokrasi. Menurutnya, pemerintah dalam menempatkan seseorang dalam jabatan birokrasi itu penting dilihat latar belakang pemahaman, pendidikan, skill, maupun potensi lainnya.
“Jangan hanya melihat seseorang yang mempunyai andil balas budi politik, dia akan diberikan jabatan. Hal ini biasa terjadi, bukan hanya di Halut atau Maluku Utara (Malut) saja, tapi banyak terjadi di daerah lain. Padahal, kekeliruan inilah yang membuat sistem pemerintahan kita berjalan tanpa ada arah kebijakan yang baik,” terangnya.
Dia mencontohkan masa orde baru. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan, seperti pelayanan publik, regulasi, proteksi, dan distribusi, yang tidak menampakan hasil yang baik, akibat cara dan rekrutmen yang salah. “Sekarang kita sudah masuk era reformasi, kebijakan dan sistem itu harusnya sudah dipahami betul oleh pemerintah, belajar dari sejarah sebelumnya,” terangnya.
Contoh ril saat ini, masyarakat belum mempercayai betul jika birokrasi pemerintahan sudah profesional. Buktinya, masih banyak masyarakat yang terkesan enggan untuk berurusan dengan birokrasi, karena berkonotasi dengan citra negatif. Seperti redahnya kualitas pelayanan publik, berperilaku korup, dan nepotism (KKN), dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.
Dia melihat, birokrasi merupakan penyakit menahun di tanah air yang sulit diubah. Meski pada masa reformasi politik 1998, banyak upaya dan program-program pembangunan dan pengembangan kelembagaan yang juga direformasi menuju sistem yang lebih demokratis. Yaitu dalam upaya mewujudkan pelaksanaan pemerintah yang baik dikenal dengan konsep ‘good governance’.
“Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan. Memiliki kompetensi sesuai jabatan atau wewenang, semangat pelayanan publik, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Jika kondisi ini dipahami betul-betul, maka terpenuhi harapan mewujudkan cita-cita dan tujuan daerah, Negara yang demokratis akan membawa kebaikan pemerintahan bagi bangsa dengan baik,” tegasnya.
Gunawan juga memaparkan hasil penelitian lembaga Political and Economic Risk Consultansy (PERC) yang dilakukan pada tahun 2002, Indonesia masuk Negara yang terburuk birokrasinya. Sampai saat ini belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan terakhir World Economic Forum (WEF) tahun 2004 tentang Global Competitiveness Ranking (GCR), menempatkan Indonesia di urutan ke-69 dari 104 negara yang diamati.
Salah satu aspek penilaian adalah birokrasi pemerintah (kelembagaan pemerintah) yang mengindikasikan sejauh mana lembaga pemerintah memberikan kemampuan pelayanan yang baik berorientasi pada pelanggan atau public, minimya korupsi, atau berorientasi pada kerangka hukum yang jelas. “Untuk itu Pemkab Halut ke depan seharusnya punya refrensi yang baik ketika mau menjalankan birokrasi yang baik,” pungkasnya.(cw/fir)