Oleh: Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
MESKI belum keluar pengumuman resmi dari KPU tentang perolehan suara partai dan siapa saja calon wakil rakyat yang lolos menjadi anggota legislatif, sejumlah nama artis disebut-sebut sudah meraih suara yang signifikan.
Nama-nama artis, seperti Krisdayanti, Rieke Diah Pitaloka, Rano Karno, Junico Siahaan yang dari PDI-P, Olla Ramlan dari NasDem, serta Rachel Maryam dari Gerindra ialah beberapa nama artis yang hampir bisa dipastikan bakal melenggang ke gedung DPR.
Dengan didukung popularitas dan sumber daya yang cukup, harus diakui tidak sulit bagi kalangan artis tertentu untuk meraih dukungan suara konstituennya.
Pada Pemilu 2019, tercatat ada puluhan artis yang maju menjadi calon wakil rakyat. Ada artis yang baru pertama kali maju, tetapi ada pula artis yang maju untuk kedua atau bahkan ketiga kalinya sebagai calon wakil rakyat.
Di tengah kecenderungan perilaku memilih masyarakat yang belum sepenuhnya rasional, popularitas artis hingga kini memang masih jadi magnet parpol untuk mendulang suara konstituen.
Simbiosis Mutualisme
Sebetulnya, tidak ada yang salah jika sebagian besar partai politik mengandalkan kehadiran artis untuk mendongkrak perolehan suara. Sistem politik yang berlaku di Tanah Air, memang memberi kesempatan kepada semua warganegara–tak terkecuali artis untuk menjadi anggota parlemen.
Peluang untuk meraih dukungan dari para pemilih tentu lebih besar bagi para figur publik seperti artis karena mereka rata-rata memiliki basis pendukung dan penggemar yang besar.
Bagi partai politik, pola hubungan antara partai dan artis sifatnya ialah simbiosis mutualisme. Di satu sisi, artis yang mungkin mulai merasa masa depan mereka di dunia hiburan tidak lagi terlalu menjanjikan atau tidak lagi sepopuler masa-masa kejayaan mereka, tawaran menjadi wakil rakyat tampaknya alternatif karier yang cukup menjanjikan.
Di sisi lain, bagi partai politik dengan masuknya sejumlah nama artis, diharapkan dukungan suara konstituen akan dapat melonjak tanpa harus bersusah payah melakukan kampanye bersaing dengan partai yang lain.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa para artis biasanya memiliki fan yang besar. Sebagian artis yang populer, bahkan tidak jarang memiliki jutaan fan yang selalu setia mendukung kiprah artis yang menjadi idola mereka.
Entah itu penyanyi, bintang film, pemain sinetron yang produktif, dan pelawak, mereka umunnya telah dikenal luas masyarakat dan memiliki fan yang banyak.
Di akun media sosial masing-masing, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram, bisa dilihat sejumlah artis yang terjun mengadu nasib masuk menjadi wakil rakyat telah memiliki jutaan atau bahkan puluhan juta penggemar.
Padahal, untuk menjadi anggota parlemen yang dibutuhkan hanya sekitar 400 ribu pemilih untuk dapat meraih kursi di DPR.
Dengan sedikit terjun ke lapangan dan mengandalkan dukungan media sosial, kemungkinan para artis untuk meraih dukungan suara para penggemarnya niscaya lebih mudah dilakukan.
Bukan hal yang mengherankan jika sejumlah artis cederung menjadi anak emas bagi partai politik. Persoalan apakah artis yang bersangkutan memiliki kesamaan ideologi atau visi perjuangan yang sama bukanlah hal yang terlalu penting.
Bagi partai politik yang berpikir pragmatis, yang terpenting ialah bagaimana mereka dapat memenangi persaingan dan meraih dukungan suara para pemilih sebesar-besarnya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menetapkan parliamentary threshold atau ambang batas minimal parlemen sebesar 4%, secara tidak langsung menyebabkan sejumlah partai politik terpaksa bersikap pragmatis.
Berusaha meraih suara sebanyak-banyaknya atau minimal tidak tergusur dari Senayan ialah kepentingan partai politik yang lebih mendesak daripada mengembangkan militansi pendukung dan mekanisme kaderisasi anggota partai yang benar-benar solid.
Kontraproduktif
Apakah kehadiran sejumlah artis sebagai wakil rakyat akan mampu berkiprah seperti yang diharapkan, tentu waktu yang akan menjawabnya. Kalau belajar dari pengalaman lima tahun sebelumnya, kita bisa melihat sejumlah artis seperti Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka, Miing Bagito, dan Tantowi Yahya telah terbukti mampu memperlihatkan kinerja yang cukup menonjol sebagai wakil rakyat.
Namun demikian, sejumlah artis lain harus diakui kinerjanya hanya pas-pasan, bahkan ada pula kinerja artis sebagai wakil rakyat yang jauh dari memuaskan.
Bagi partai politik, untuk angka pendek kehadiran artis sebagai wakil rakyat mungkin benar terbukti efektif meraih dukungan suara pemilih. Akan tetapi, sikap partai politik yang lebih memilih cara instan sesungguhnya berisiko kontraproduktif bagi kelangsungan masa depan partai politik itu sendiri.
Pertama, sikap partai politik yang lebih mengistimewakan artis bukan tidak mungkin akan membuat para pendukung partai politik dari bawah yang meniti karier setapak demi setapak akhirnya merasa didiskriminasi akibat perlakuan istimewa partai terhadap artis.
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan loyalis partai politik ketika tiba-tiba pimpinan partainya memasukkan artis dalam urutan jadi dalam susunan calon legislatif hanya karena kepentingan untuk medulang suara.
Loyalis partai politik yang merasa bermodal kesetiaan dan menggali dukungan konstituen dari bawah, door to door, bukan tidak mungkin patah arang karena merasa apa yang mereka lakukan tidak dihargai partainya. Pada satu titik, ketika kekecewaaan sudah terakumulasi, jangan kaget jika mereka kemudian berganti dengan sikap antipati.
Kedua, sikap partai yang lebih mementingkan menggaet artis, tanpa secara sungguh-sungguh menimbang kualitas si artis yang bersangkutan, bisa jadi berisiko mendegradasi kualitas dan kinerja partai politik itu sendiri di masa depan.
Sikap partai yang lebih mementingkan mengamankan kursi di parlemen, tetapi tidak memperhatikan kualitas artis yang mereka usung, cepat atau lambat akan mempengaruhi performance partai yang terepresentasikan dari kinerja wakil mereka di DPR.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sejumlah artis yang lolos pileg dan kemudian duduk sebagai wakil rakyat, ternyata sebagian besar tidak mampu dengan cepat beradaptasi pada pola kerja dewan sehingga selama lima tahun menduduki posisi sebagai wakil rakyat, mereka pun tidak memperlihatkan kinerja seperti yang diharapkan.
Bersikeras mengusung artis terkenal sebagai wakil rakyat memang akan mendongrak popularitas partai politik. Namun, sikap partai yang melupakan arti penting kaderisasi sesungguhnya malah berisiko membuat partai yang bersangkutan tercemar.(*)