HARIANHALMAHERA.COM–Desas-desus judicial review (uji materi) Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2024 yang diajukan oleh Bupati Halut, Frans Manery dan wakil Bupati, Muchlis Tapi-Tapi ke Mahkamah Konstitusi (MK), mulai diungkap secara terang, setelah sebelumnya disorot banyak orang. Salah satu alasan mereka menggugat regulasi tersebut adalah aturan periodesasi.
Ramli Antula, kuasa hukum Bupati Frans-Wabup Muchlis, mengatakan, gugatan yang di ajukan oleh Bupati dan Wabup Halut ke MK bukan soal permohonan Pilkada Serentak 2024 ditunda atau dibatalkan justeru pelaksanaanya tetap jalan sesuai dengan UU pasal 10 tahun 2016.
“Jadi sebenarnya, bukan soal gugat Pilkada Serentak melainkan yang menjadi focus gugatan adalah berupa konsekuensi dari Pilkada Serentak, salah satunya tentan aturan periodesasi,”katanya, rabu (2/2) kemarin.
Menurut Ramli, di dalam batang tubuh UU tersebut ada poin terdapat pertentangan yang salah satunya soal periodesasi sehingga Bupati dan Wabup Halut mengambil langkah hokum untuk mengajukan permohonan sebagai rujukan terkait UU mana yang harus digunakan untuk menjabat sebagai kepala daerah pada periode ini.
“Karena itu di atur dalam UU jadi yang bisa menafsirkan UU secara resmi hanyalah MK. Maka tujuan pengajuan Bupati dan Wakil Bupati ini hanya untuk memastikan UU yang mana yang bisa digunakan dalam jabatan sebagai kepala daerah bukan gugatan untuk permasalahan Pilkada Serentak,”jelasnya.
Tidak hanya pertentangan dalam UU lanjutnya, salah satu bukti nyata soal periodesasi adalah di dalam surat keputusan (SK) Bupati dan Wakil Bupati dari Mendagri RI yang ternyata tidak mencantumkan masa jabatan 2020 sampai 2024.
“Dalam nomenklatur SK Bupati dan Wakil Bupati dari Mendagri hanya berupa pengangkatan kepala daerah terpilih Provinsi Malut, tidak ada keterangan periodesasi sehingga tidak ada kepastian tentang masa jabatan,”ungkapnya.
Ramli pun berharap permohonan judicial review tersebut dalam dikabulkan MK, sebab pihaknya hanya meminta kejelasan tentang masa jabatan Bupati dan Wabup.
“Sebenarnya bukan hanya Bupati dan Wakil Bupati Halut yang masa jabatanya 3,5 tahun tetapi 8 Kabupaten/Kota lain yang ada di Maluku Utara juga demikan, hanya saja gagasan untuk ajukan judicial review ini di mulai dari Halut,”tuturnya.
Sementara itu permohonan gugatan sendiri disebut sudah teregistrasi di MK pada Jumat, 28 Januari 2022 dengan nomor perkara 13/PUU.MK/AP3/01/2022,“permohonan kami sidah di terima oleh MK, kemungkinan sidang perdana akan di selenggarakan pada pekan ini,”pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua DPC PKB Halut, Irfan Soekoenae mengatakan, bahwa upaya Bupati Frans-Wabup Muchlis, mengajukan uji materi pasal 201 ayat 7 UU Pilkada ke MK itu telah menunjukan hasrat berkuasa yang terlalu nampak.
“Memang secara faktual mereduksi masa jabatan Frans-Muchlis, namun perlu digaris bawahi bahwa ada kepentingan yang lebih besar secara nasional di sini, bukan hanya untuk mengamankan jabatan mereka saja di Halut,”tuturnya.
Pilkada Serentak menurut ketua komisi I DPRD Halut ini, telah menjadi arah kebijakan tata kelola Pemilu di Indonesia dan tidak dapat dikerdilkan hanya untuk mengakomodir kepentingan segelintir pihak. Apalagi suksesnya pelaksanaan Pilkada Serentak secara bergelombang pada tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020 yang nantinya berujung pada Pilkada Serentak yang sesungguhnya di bulan November tahun 2024 mendatang.
“Ini merupakan kebijakan hukum terbuka yang ditempuh oleh pemerintah dan DPR. Meskipun jabatan mereka singkat, namun berdasarkan UU Pilkada, keduanya akan tetap menerima kompensasi atas hak-hak keuangan yang di bayarkan sekaligus, terhitung sejak diberhentikan hingga lima tahun masa jabatannya berakhir,”jelasnya.(cw/san)