Oleh: Maisya Kartika
(Mahasiswi Sastra Universitas Minangkabau)
Perempuan memiliki peran yang sangat penting di tengah-tengah masyarakat. Peran penting yang dihadirkan seorang perempuan ialah mampu menghadirkan sosok yang indah, anggun serta tangguh. Secara kodrat, perempuan diciptakan sebagai mahkluk Tuhan yang akan menjadi isteri untuk mengurus rumah tangganya dan sebagai ibu yang memberikan kasih sayangnya dan menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Tidak hanya itu perempuan juga merupakan sosok manusia yang diagungkan serta mengemban tanggung jawab yang memiliki kepribadian yang anggun dan juga indah.
Anggun dalam bersikap menjadi poin utama yang harus dimiliki oleh setiap perempuan. Sikap yang dihadirkan seorang perempuan hendaknya dapat mencerminkan bahwasanya perempuan yang sebenarnya ialan mereka yang anggun dan juga tangguh. Tidak hanya sikap benda yang melekat pada tubuh seorang perempuan hendaknya dapat mencerminkan keindahan dan keanggunan seorang perempuan. Salah satu benda yang diagungkan seorang perempuan ialah mahkota.
Di Minangkabau mahkota yang dipakai seorang perempuan bernama Tingkuluak, yang mana disetiap daerah memiliki ciri khas serta keunikannya masing-masing. Perempuan Minangkabau menggunakan tingkuluak sebagai lambang kehormatan dan kemuliaan, seorang perempuan yang memakai tingkuluak tidak hanya menjadi hiasan dalam bentuk fisik saja tapi kepribadiannya sebagai perempuan, kemudian ia harus memahami ketentuan adat yang berlaku, disamping tahu dengan malu dan sopan santun juga tahu dengan basa basi dan tahu cara berpakaian yang pantas.
Bagi kaum perempuan, dengan memahami peran dan kedudukannya dalam adat Minangkabau itu secara mendalam tentu saja lebih memotivasi dirinya dan memberikan inspirasi untuk menjalankan peranannya sebagai perempuan Minang. Dengan harapan, ketika seorang perempuan Minang meningkatkan kompetensi dirinya ia tetap berpijak pada konsep adat Minangkabau yang menjadikan ia nantinya mampu berperan sebagai “Bundo Kanduang” yang diinginkan dalam Kato Pusako tersebut.
Salah satu mahkota atau tingkuluak yang memiliki keunikan serta ciri khas yang berbeda dengan tingkuluak lainnya ialah Tingkuluak Patiak Rang Cupak. Tingkuluak Patiak Rang Cupak ini bisa dijumpai di Nagari Cupak, kec. Gunung Talang, kab. Solok. Tingkuluak Patiak ini digunakan saat upacara pernikahan yaitu disaat maanta bubua. Maanta Bubua adalah acara manjalang atau mengunjungi rumah pihak mempelai pria yang dilakukan oleh pihak anak daro bersama orang yang sesuku, bako dan karib kerabat pada hari kedua setelah pesta pernikahan. Dalam prosesi maanta bubua terdapat prosesi yang disebut dengan bararak. Bararak merupakan acara seperti parade atau berjalan beriringan yang dilakukan oleh anak daro dan keluarga lainnya yang disebut rarak menuju kerumah mempelai pria. Anggota rarak memakai pakaian adat dan para ibu-ibu menjujung makanan-makanan adat diatas kepala.
Hiasan kepala yang digunakan oleh ibu-ibu tersebut berbentuk kipas dengan kain yang berwarna merah dengan paduan benang emas. Tingkuluak Patiak tersebut digunakan dalam acara bararak yang digunakan oleh kaum perempuan yang dipadukan dengan baju kurung basiba dan kain sarung jao. Di atas Tingkuluak Patiak kaum perempuan menjunjung makanan yang akan dihantarkan kerumah mempelai pria. Tingkuluak Patiak dengan bentuk ciri khasnya berupa kipas di samping kiri dan kanannya memiliki nilai estetikanya sendiri menambah keceriaan pada prosesi pernikahan di Nagari Cupak. Pada bagian samping kiri kanan yang berbentuk kipas diberi tepung kanji dan dibiarkan beberapa malam untuk mendapatkan bentuk kipas yang sempurna. Pada pemasangan tingkuluak patiak menggunakan anak jilbab agar tingkuluak kokoh dan rambut tidak keliatan serta agar terlihat rapi dan enak dipandang.
Pada zaman sekarang ini penggunaan tingkuluak patiak masih tetap dilestarikan oleh masyarkat Nagari Cupak, karena tingkuluak tersebut merupakan ciri khas yang tidak dimiliki oleh nagari lainnya di Sumatera Barat. Bukan hanya pada acara pernikahan saja tingkual patiak ini digunakan namun pada saat pawai 17 Agustus juga ikut serta diparadekan. Parade tingkuluak patiak yang digelar pada saat pawai guna untuk tetap menjaga serta mempertontonkan kepada khalayak ramai bahwa ada penutup kepala atau mahkota unik yang dimiliki oleh masyarakat Nagari Cupak. Eksistensi tingkuluak patiak di Nagari Cupak masih tetap terjaga karena masih tetap dipergunakan sebagaimana mestinya belum ada pengganti dari penutup kepala tersebut.
Para remaja di Nagari Cupak bahkan ada yang tidak mengetahui apa namanya dan apa bentuk hiasan kepala tersebut. Eksistensi tingkuluak ini hanya marak dikenal oleh masyarakat yang sudah tua atau yang sudah berkeluarga saja karena kurangnya tutur penerus dalam mewariskan budaya tersebut. Tidak dipungkiri adapun remaja yang mengetahui hiasan kepala unik ini, namun hnaya mengetahuinya tanpa tau makna yang terkandung dibalik tingkuluak patiak tersebut. Bagaimana bisa kain bisa berbentuk kipas dengan tegap tanpa diberi peniti, itu hanya diketahui segelintir orang dalam pembuatannya. Peran remajalah yang sangat diharapkan agar kebudayaan berupa benda ini tidak hilang ditelan zaman.
Di era milenial ini diharapkan para remaja yang akan meneruskan budaya yang ada di lingkungan masyarakatnya mempelajari apa itu tingkuluak patiak dan serba-serbi mengenai tingkuluak patiak tersebut. Remaja pada zaman sekarang ini perlu memiliki inovasi-inovasi yang menggabungkan modernisasi namun tidak meninggalkan budaya yang sebenarnya. Publikasi lebih ditingkatkan lagi agar masyarakat di luar sana dapat megetahui bahwa di Nagari Cupak memiliki hiasan kepala yang unik dari nagari lainnya di Sumatera Barat. Di samping itu publikasi juga berguna untuk menciptakan ide-ide desainer untuk membuat busana tradisional yang terinspirasi dari tingkuluak patiak rang cupak.(***)