Oleh; Fikri Irwan
Ibarat gerembolan ikan sembilan yang berpisah ketika dilempari batu, begitulah istilah barangkali bisa mewakili situasi masyarakat pada saat momentum politik. Pilihan legislatif (Pileg) berlangsung. Pemilihan umum di laksanakan lima tahun sekali (pemilu), tidak beda jauh dengan “Rencana pembangunan lima tahun.” Menjelang Pemilu, masyarakat menyambut baik atas hak memilih atau memberi suara kepada bakal calon yang bertanggung jawab terhadap segala aspek kebutuhan masyarakatnya.
Meskipun begitu, garis besar dalam situasinya, ternyata politik yang kita harapkan tidak seperti biasanya. Sebagaimana orang memahami politik ini menciptakan ruang demokrasi dan menyatukan hubungan solidaritas dari sebuah masyarakat. Namun, yang terjadi hanyalah keluarga, kaka beradik (garis keturunan) saling cekcok. berkaca pada momentum politik di tahun-tahun sebelumnya, kondisi masyarakat cukup amburadul. Pasalnya pemilu datang menyapa dan cekcok masyarakat pun tak dapat dihindari.
Konflik pada saat momentum politik ini, mengingatkan kita pada seorang filsuf politik. Nicocola Machiavelli mengatakan politik tidak ada hubunganya dengan moral sehingga butuh rekayasa sosial. Hal ini bukan tanpa sebab, pasalnya taktik politikus sering kali mengorbankan masyarakat kelas bawah. Bahasa kekuasaan memang sangat puitis, tapi dalam kelugasan sangat menyeramkan. Narasinya sangat indah, tapi sangat menghawatirkan. Memang, Bahasa-bahasa yang dituturkan penguasa bagian besar ungkapan yang jelas diadili, perlu dipertanyakan. Bahasa politisi (pileg) dirancang untuk memanipulasi dan membuat dusta yang kedengarannya benar, dan membuat omong kosong seakan meyakinkan.
Walau Zoon politikon, di rumuskan oleh filsuf Ariestoteles yang tak lain memiliki pengertian bahwa manusia merupakan makhluk sosial, makhluk yang saling berhubungan dan terikat dengan manusia yang lainnya. Faktanya, esensi ini menghilang setiba ada momentum politik, hal ini mengganggu nilai budaya dan keharmonisan sosial meredup. ujaran kebencian dan saling menghina antara sesama (keluarga). Sentimen dikonversi dalam wadah media sosial, menjadi hoax, dan saling mengomentari yang bukan-bukan, hingga masalah menjadi parit dan semakin membesar sehingga satu darah pun saling mengaku musuh, dan saling memutuskan tali silaturahmi antar sesama. hal ini, tak lain kecuali masalah politik. Artinya apa, Pileg diidentik sebagai pesta demokrasi rakyat, pemilu itu sering memicu konflik karena perbedaan pendapat.
Hal yang sama sebagai cerminan dalam ajaran Islam, Rasululah bersabda: ‘’ tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali persaudaraan’’. (HR. Bukhari muslim).
Dapat dipahami bahwa mengajarkan masyarakat terkait cara berpolitik dalam pemilihan itu sebetulnya memerlukan kode etis. Biarkan mereka dengan sendirinya membuat keputusan. Bukan menyala gunakan segala cara untuk menarik rasa peduli tanpa memahami watak mereka. Mengutip jurnal “Dampak Konflik Politik Perlu Belajar Dari Negara Lain.” Di rubrik media Purbalingga. Id. Sementara itu kapolres Purbalingga, AKPB Kholilir Rochman SH SIK MH mengatahkan, kita sering dikejutkan dengan berbagai peristiwa bahkan semakin banyak menggelora, seiring pelaksanaan pemilu dan paska pemilu. Berbagai macam ujaran kebencian, hoax, konflik, fitnah yang tentu mempecah bela anak bangsa ini dapat berakibat disintegrasi bangsa.
Reflektif pemilu (pileg) kemarin, perlu dijadikan kaca mata hari ini untuk tahun berikutnya, menuju politik damai. Perbedaan pendapat politik merupakan hal yang lazim. Artinya, setiap orang punya pilihan untuk menentukan bakal calon legislatifnya sendiri. Faktanya banyak fenomena miris, setelah paska pemilu, hal ini perlu dipertanyakan eksistensinya, kenapa cekcok persaudaraan menjadi gelombang di tengah masyarakat yang menghilangkan keharmonisan sosial?
Masyarakat membutuhkan tindakan nyata dalam janji politik. Pasalnya, Sering kali ada pengelabuan terjadi pada saat masa kampanye politik. Jangan heran, masarakat sudah kehilangan makna politisasi. Stigma kian mempengaruhi pikiran mereka kepada tukang beri janji palsu. Kebohongan sering dilekatkan pada pejabat publik, hal ini berdampak pada pikiran masyarakat yang skeptis terhadap momentum pemilihan umum. Akhirnya, Sebagian masyarakat lebih memilih golput berdasarkan kehendaknya. Karena tidak ada cocoklogi antara kandidat legislatif dengan ekspetasi masyarakat.
Politik Uang (Politik Transaksional)
Bagaimana para politisi meyakinkan pemilih agar memenangkan pemilu? Praktik politik uang adalah gaya politisi berinvestasi dalam pemilu. Artinya, politisi Ketika mendapatkan kursi kekuasaan, lalu hilang kemana. Pikiraan untuk mengakumulasi modal inilah yang akan berpotensi bagi pejabat publik tidak lagi melihat aspirasi masyarakat dan kemungkinan besar padanya merasa pandai memperdaya ruang berpikir masyarakat.
Calon legislatif dipilih oleh rakyat dalam pesta demokrasi pemilu, dalam menentukan pemimpin yang mewakili rakyat (Aspirasi), rakyat harus pandai-pandai. Umumnya, jiwa kepimipinan adalah sifat manusia yang mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan Bersama.
Meskipun begitu, pejabat publik (Caleg) harus dipertanyakan eksistensi jiwa kepimimpinannya. Stigma masyarakat terlalu kuat, makna jiwa kepimpinan kedengaran sangat mulia tapi dalam prakteknya sering kali ada kong klikong. Pasalnya, pemimpin nantinya mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, kolektif. Dalam praktiknya sering kali pejabat telah mobilisasi kebjikan sehingga tujuan yang seharusnya diraih secara bersama diubah menjadi suatu hal yang diperoleh secara kelompok maupun secara induvidu. Kekuasaan adalah instrumen, ibarat kata, Penjiwa kepemimpinan memiliki corak pengetahuan. Kekuasaan memiliki warnah putih tapi politisasinya menerapkan perubahan kekuasan menjadi warna hitam. Artinya, menjadi seorang pemimpin bukan membekas sumpah seraka.
Merujuk pada setiap momentum politik lokal maupun nasional, politik uang akan selalu menjadi celah bagi yang takut gagal (kalah) saat pemilu. Tak heran, keadaan demokrasi kita sering memunculkan konflik, baik secara horizontal maupun fertikal. Hal ini berpotensi konflik antara keluarga dan masyarakat umumnya. Ini dapat hentikan oleh masyarakat, melalui apatisme pada politisi yang mencoba mempraktikan politik uang. Masyarakat perlu di sadarkan melalui sosialisasi tentang bahayanya politik uang, sosialisasi tak akan berguna apabila tidak ada kekonsistenan dari masyarakat.**