Opini

Agama Bukan Alat Politik; Refleksi Pilkada di Halmahera Utara 2019

×

Agama Bukan Alat Politik; Refleksi Pilkada di Halmahera Utara 2019

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ari Anggara Seng SH
Pengurus Komunitas Djarod Tobelo

AGAMA pada galibnya merupakan lembaga moral yang sakral dan mulia, melalui nilai nilai luhur agama-agama umat manusia di antar untuk mengenal dirinya dan mengakui kekuasan ilahi diluar dirinya. Melalui agama pula relasi antara manusia dan semesta dijalin guna menciptakan harmoni yang damai.
Agama menjadi bencana ketika ummat beragama mengartikan dan menyalahgunakan agama untuk kepentingan sempit dan sesaat. Seperti apa yang di katakan oleh Karl Marx (agama adalah candu). Agama bukan lagi menjadi rahmat bagi semua ciptaan, malah terbalik arah menjadi penebar teror dan kebencianan antara sesama manusia. Agama di politisasi menjadi alat kekuasaan.
Pada sisi lain, Pdt Jacky Manuputty memaparkan sejarah relasi agama dan politik dari perspektif sejarah kristen. Menurutnya, hubungan agama dan politik mengalami pasang surut dalam sejarah kekristenan. Ada saat dimana otoritas gereja begitu berkuasa (powerfulll) sehinga dapat memerintahkan hukuman mati bagi penguasa politik saat itu (raja inggris). Namun ada juga saat dimana penguasa (raja) memerintahkan eksekusi mati terhadap otoritas gereja.
Disinilah terjadi dialektika relasi antara gereja dan gereja. Di Amerika serikat misalnya terjadi pemisahan yang tegas antara gereja dan negara. Gereja tidak serta merta dapat mengintervensi negara, begitu juga sebaliknya. Walau begitu, dalam praktiknya, pengaruh agama dalam pemerintahan tidak dapat dikecilkan.
Jacky Manuputty yang pernah menerima Maarif Award dan Tanembaun Award dari Amerika Serikat atas kerja-kerja perdamaian yang dilakukanya di Maluku ini, menegaskan pentingnya merawat perdamain dalam momen-momen politik. Tanpa perdamaian tidak mungkin ada kesejahteraan.
Jika merujuk pada perspektif islam sebagaimana ditunjukan Abdurahman Wahid (Gus Dur), hubungan agama dan negara dalam sejarah memiliki kaitan erat. Kepala negara memiliki otoritas yang kuat bahkan di bidang keagamaan. Merujuk pada sosok nabi Muhammad, maka selain pemimpin agama, sang nabi juga merupakan pemimpin politik yang kharismatik.
Selanjutnya, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Dr Andreas Yewango menyebutkan bahwa gereja mempunyai tangung jawab politik dalam arti turut serta aktif di dalam mengupayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bermasyarakat berdasarkan pancasila dan UUD RI 1945 dengan memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan (justice) dan kasih (love).
Orang kristen dipangil untuk mengusahakan dimana mereka berada. lebih lanjut Yewangoe menekankan tiga hal dalam partisipasi politik yakni, pertama, kekuasaan yang dimiliki adalah kekuasaan yang melayani bukan kekuasaan demi kekuasaan. Kedua, yang diperjuangkan adalah kesejahteraan bersama bukan sekedar kesejahteraan diri atau kelompok sendiri. Ketiga, di dalam penyelengaran kekuasan, mestinya etika dan moral kekuasaan didepankan. Kuasa tanpa keadilan adalah kesewenang-wenangan. Keadilan tanap kekuasaan tidak mungkin dicapai.
Sekaitan dengan penyenggaraaan pemilihan secara serentak, Pilpres, DPR RI, DPD RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten Kota pada 17 April 2019, lebih Khusunya di Kabupaten Halmahera utara, agama di uji eksistensinya dan kematanganya apakah mampu menjadi kekuatan perekat dan membawa kemaslahatan atau begituh rapuh dan mudah dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan sesaat.
Untuk menjaga ”cernian” agama bukan sebagai alat politik, maka pertukaran informasi dan saling berbagai merupakan salah satu upaya penegasan meneguhkan peran perspektif agama di ruang publik, khususnya dalam rangka menyukseskan pemilu damai di Kabupaten halmahera Utara.
Kerjasama antar agama menjadi sebuah impertif yang terberi (given). Beberapa pikiran pokok ini bisa kita tuangkan dalam ruang ruang diskusi melalui silaturahmi lintas agama. Diskusi dan silaturahim gagasan ini penulis yakin dan percaya bisa melahirkan rekomensasi baik.
Melalui tulisan ini hendak didepankan sebuah harapan agar pemilukada di Halmahera Utara akan berlangsung dengan aman dan damai. Olehnya peran aktif semua elemen masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan. Peran KPUD, Bawaslu, para caleg, tim sukses dan pers sangat strategis pula.
Demikian pula para tokoh agama agar dapat melakukan pencerahan politik bagi umatnya tanpa terjebak dalam politik praktis. Tidak kalah penting peran dan partisipasi aktif pemuda lintas iman untuk mengawal pemilukada yang bersih dan damai di Malut. Selain pemuda merupakan segmen pemilih terbesar, namun pemuda rentan untuk terprovokasi. Oleh sebab itu, konsolidasi pemuda dan peran kriktis pemuda sangat diharapkan untuk mendorong transformasi masyarakat Halmahera utara ke arah yang lebih baik. Semoga.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *