Oleh: Defrit Luma
Di sebuah sudut bumi yang hijau, di antara alunan angin yang berhembus di bawah kanopi raksasa, hutan-hutan Maluku Utara berbisik kepada kita. Mereka menceritakan kisah yang penuh keindahan namun juga penderitaan. Hutan-hutan ini telah menjadi saksi bisu dari perkembangan manusia yang tidak selalu ramah pada lingkungan, tergerus oleh tangan-tangan yang memanen lebih dari yang mampu diberikan oleh alam. Dalam situasi ini, ekoteologi, yaitu pemahaman spiritual yang mengaitkan keimanan dengan tanggung jawab terhadap alam, memanggil kita untuk mendengarkan suara hutan yang lembut namun mendesak. Ekoteologi adalah jembatan antara iman dan konservasi, mengajak manusia untuk berpikir ulang tentang hubungan mereka dengan alam yang diciptakan Tuhan.
Maluku Utara adalah wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati, dengan hutan-hutan yang menjadi habitat bagi ribuan spesies flora dan fauna, beberapa di antaranya endemik. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, ekosistem ini menghadapi ancaman serius. Deforestasi akibat ekspansi pertambangan dan perkebunan, serta aktivitas ilegal lainnya, telah mengurangi luas hutan secara signifikan. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara 2001 dan 2021, Maluku Utara kehilangan sekitar 7% dari tutupan hutannya. Jika kita tidak segera bertindak, hutan-hutan ini bisa lenyap, bersama dengan kekayaan hayati yang tak ternilai harganya.
Hutan-hutan ini seakan menangis dalam diam, memohon kepada kita untuk mendengarkan dan bertindak. Dalam kerangka ekoteologi, kita diajak untuk memahami bahwa kehancuran alam tidak hanya persoalan lingkungan semata, tetapi juga persoalan moral dan spiritual. Kerusakan lingkungan adalah tanda dari hubungan yang salah antara manusia dengan Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.
Ekoteologi hadir sebagai respons terhadap krisis lingkungan global dan regional, termasuk di Maluku Utara. Manusia diberi mandataris untuk “mengusahakan dan memeliharanya.” Hal ini bukan hanya sebuah tanggung jawab ekonomi, tetapi lebih sebagai panggilan moral untuk merawat alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Hutan dan alam bukanlah benda mati yang bisa kita eksploitasi sesuka hati; mereka adalah bagian dari ciptaan yang hidup, yang memiliki nilai intrinsik di mata Tuhan. Melalui ekoteologi, iman memberi manusia perspektif baru untuk melihat alam sebagai mitra yang hidup, yang harus dihormati dan dijaga. Alam bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga ruang sakral di mana manusia bisa merasakan kehadiran Tuhan. Dalam konteks Maluku Utara, ekoteologi dapat menjadi solusi yang menginspirasi masyarakat untuk kembali menghormati dan menjaga ekosistem hutan yang menjadi jantung dari keseimbangan lingkungan.
Seolah seperti ibu yang merawat anak-anaknya, hutan Maluku Utara menyediakan segalanya dari udara yang kita hirup hingga air yang kita minum. Namun, apa yang terjadi ketika sang ibu terluka dan terabaikan? Sama seperti manusia yang butuh perlindungan dan kasih sayang, hutan pun membutuhkan pemulihan. Alam, dalam bahasa ekoteologi, dapat dipandang sebagai makhluk yang hidup, yang juga memiliki hak untuk dilindungi.
Ketika hutan ditebangi dan digantikan oleh tambang atau lahan sawit, alam merintih. Air sungai yang dulu jernih berubah keruh, habitat satwa liar hancur, dan banjir bandang datang tanpa peringatan. Hutan yang pernah menjadi penopang kehidupan kini menjadi sumber bencana. Dengan mendengarkan suara-suara ini melalui kerangka ekoteologi, kita bisa melihat bahwa krisis lingkungan bukan sekadar permasalahan teknis, tetapi juga etis. Krisis ini adalah akibat dari ketidakmampuan manusia untuk hidup selaras dengan alam yang diciptakan.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada 2023, Maluku Utara mengalami peningkatan intensitas banjir dan longsor akibat deforestasi yang tidak terkendali. Di wilayah Halmahera Utara, banjir yang pernah terjadi pada 2018 menyebabkan kerugian lebih dari Rp 50 miliar dan menghancurkan ratusan hektar lahan pertanian. Di satu sisi, laju deforestasi di Maluku Utara terus meningkat. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan konservasi dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan belum sepenuhnya diimplementasikan secara efektif. Ekoteologi memanggil kita untuk tidak hanya melihat alam sebagai objek ekonomi, tetapi juga sebagai subjek moral yang memerlukan perhatian serius. Gerakan ekoteologis yang menggabungkan pemahaman spiritual dan lingkungan hidup ini dapat menjadi salah satu solusi utama dalam meredam krisis ekologi di Maluku Utara. Dengan dasar spiritual yang kuat, masyarakat dapat lebih terdorong untuk terlibat dalam upaya pelestarian alam.
Pada akhirnya, suara hutan Maluku Utara adalah panggilan untuk kita semua. Panggilan untuk kembali memperbaiki hubungan yang rusak antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, ekoteologi menawarkan narasi alternatif, narasi yang mengajak manusia untuk berperan sebagai pelindung dan pemelihara, bukan perusak. Ketika kita mendengarkan bisikan alam dan bertindak berdasarkan cinta kasih, kita tidak hanya menyelamatkan hutan, tetapi juga memperbaiki diri kita sendiri. Hutan bukanlah sekadar sumber daya, tetapi juga bagian dari kehidupan spiritual kita yang harus dijaga demi generasi mendatang.(***)