Oleh: Hudri Jailan
(Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair)
Hari-Hari ini kita semua disuguhkan dengan beragam intrik politik di berbagai macam penjuru terhusus di Indonesia saat ini, Wacana-Wacana tentang pilkada, dan sejenisnya di berbagai macam platfrom digital. Entah itu Facebook, Instagram,Twitter maupun tiktok. dihiasi dengan berbagai macam Agenda dan narasi politik yang terus di gaungkan memenuhi Atmosfir indonesia saat ini. pada momentum kali ini terkait dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah agenda tahunan yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yang itu sudah menjadi kewajiban Negara untuk diselenggarakan. Sebagaimana yang telah dituangkan dalam konstitusi pasal 201 Ayat (8). undang-undang nomor 10 Tahun 2016 (yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan, Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah Indonesia.
Masing-masing dari kandidat sudah berseleweran menjalankan taktik-taktik politiknya, berbagai macam argumentasi, serta narasi politiknnya, yang dilayangkan baik dari kandidat A B dan C saling serang semata-mata untuk menunjukan diri mereka dihadpan rakyat bahwa merekalah yang layak dipilih, tentu ini adalah hal normal yang biasanya dilakukan oleh setiap para kandidat dalam bentuk jualan, dengan satu alasan untuk menarik simpati rakyat.
Pilkada Serentak yang tinggal menghitung hari akan di mulai prosese pemungutan suara pada tanggal 27 november mendatang tentu merupakan hal menarik yg perlu dibahaas dan di tinjau lebih dalam tidak sekedar meninjau keberaadan para tokoh/kandidat melaikan ide dasar yang di bagun terkait dengan visi-misinya hal ini tentu tidak terlepas dari radar para pengamat politik tentunya sebagian besar para analis politik, dan para pakar di bidang masing-masing termasuk juga para akademisi dalam hal ini turut serta menyoroti hal demikian menganalisa-membidik terkait dengan bebera kandidat yang bertarung pada kontestasi pilkada hari ini. tentu hal utama yang menjadi sorotan adalah ide dan gagasanya yang akan dibawa oleh setiap kandidat, siapakah yang paling ideal/baik untuk membawah Indonesia lima tahun kedepan sudah barang tentu hal ini perlu di amati secara baik
Tak sedikit juga para aktifis mahasiswa turut serta mewarnai wacana” politik di warung-warung kopi masing-masing dari merekapun turut serta menganalisa apa-apa saja gagasan yang akan dibawa oleh setiap kandidat. para mahasiswa” ini pun turut serta menjagokan kandidat Mereka masing-masing baik dari kandidat A B dan C (pilkada) yang siap masuk ke gelanggang, bertarung lewat momentum lima tahunan ini tentu momentum politik hari ini jagan di analisa hanya lima tahun sekali, jika analisa itu yang dipakai. maka menurut penulis tentu terlalu dangkal pikiran kita. akan tetapi politik hari ini harus dilihat lebih jau kedepan terkait dengan nafas politik bangsa ini kedepan, diskursu-diskursus semacam ini harus menjadi bahan dialektika bagi para kawula mud/Genzi untuk terus di kunya guna menjadikan momentum ini sebagai bahahan evaluasi untuk tidak salah dalam menentukan pilihan.
Manusia adalah mahluk sosial (Zoon politicon) Kata Aristoteles, menyambung kalimat dari sang filsuf legendaris “manusia memang dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain” maka dalam proses aktifitas interaksi Manusi itu memiliki hubungan secara kelembagaan dengan Negara secara tidak langsung didalam mekanisme bernegara itu politiklah yang menjadi sumbu untama dalam hal ini. untuk itu bayangan kita tentang politik masa depan harus tetap hidup Agar kita tiba pada (Telos) tujuan, kita bernegara secara ideal, itu yang perlu di garasi bawahi.
Melalui momentum kali ini siapa pun yang terpilih nantinya dialah pemimpin kita, pemimpin, yang diharapkan betul-betul mampuh membaca problem bangsa secara akurat- baik serta meletakkan landasan berfikir demokratis dan politik indonesia pada substansi yang lebih etis dan bermartabat. tidak meletakkan demokrasi sebatas kepentingan semata ini yang sangat tidak di harpkan kedepan. dikarenakan sudah terlalu banyak fakta yang menunjukan bahwa demokrasi di Indonesia hari ini masih jauh dari apa yang diharapkan,
Masih banyak sekali keputusan-keputsan elit politik atau sebut sja para wakil rakyat seringkali mengambil kebijakan tampah melibatkankan rakyat didalamnya, cenderung mengambil keputusan yg sepihak sudah tentu tindakan-tindakan semacam ini mencedari nilai-nila demokrasi.
Padahal mereka-meraka yang duduk diatas singgasana empukNya, karna rakyat, rakyatlah yang memilih mereka melalui sebuah proses politik dengan jalan demokratis inilah mereka dpat menduduki kekuasaan merekeka secara konstitusional/Sah. itu artinya mereka merepresentasikan kepentingan rakyat, maka suda tentu merekah hurus bekerja untuk kepentingan rakyat, dan Negara bukan semata-mata karena kepentingan individual ataupun kelompok yang terafiliasi dalam sebuah parpol.
Demokrasi adalah sebuah paham yang menjunjung tinggi kebebasan setiap individu maupun kelompok masyarakat yang terhimpun dalam sebua entitas yang inheren dalam sebuah bangsa dan Negara.
Politik adalah upaya yang di tempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, menurut(Aristoteles) politik adalah ilmu praktis, tujuan politik “bukanlah pengetahuan melainkan tindakan” teori politik menaruh perhatian pada watak manusia atau dengan kata lain tindakan bebas atau sukarela manusia (Pasiribu 2016)
Demokrasi adalah bentuk sistem pemerintah dimana kekuasaan politik di pegang oleh rakyat atau warga negara secara langsung atau melalui perwakilan yang mereka pilih dalam sistim demokrasi, rakyat memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, baik dalam pemilihan umum, referendum, atau mekanisme partisipasi lainnya. prinsip yang paling dasar dari demokrasi adalah kedulatan rakyat, dimana pemerintahan di jalankan sesuai dengan kehendak mayoritas dan menghormati hak-hak minoritas.
Ada berbagai macam bentuk demokrasi di dunia walau begitu terdapat penjelasan secara umum yang dapat mendefinisikan kata demokrasi. pernyataan “pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat” sangat erat kaitannya dengan kata demokrasi kata tersebut berupaya menyatukan rakyat dengan pemerintah. Secara etimologi atau bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Demokratia yaitu ‘Demos’ dan ‘kratos’- Demos Artinya Rakyat dan kratos yang artinya kekuasaan atau pemerintahan.
Selain itu, terminologi dalam bidang politik bisa juga diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. istilah ini mulai berkembang sejak abad ke-5 SM untuk menunjukan sistim politik yang ada di negara Yunani, terutama di Athena. Dikutip dari kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi didefinisikan sebagai bentuk/sistem kepemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakil-wakilnya.
Sejarah demokrasi di Indonesia sendiri mengalami dinamika yang begitu sangat kompleks dan berjalan pada poros perkembangan yang sangat dinamis setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 secara gamlang duet dwitunggal, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta telah mendeklarasikan Indonesia merdeka sebagai sebuah negara yang demokratis karna pada kalimat terakhir dikatakan dalam teks proklamasi 17 Agustus 1945 adalah atas nama bangsa Indonesia”, bila di kaitkan dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud adalah seluruh rakyat Indonesia jadi kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang diperuntuhkan bagi seluruh rakyat Indonesia itu sendiri.
Indonesia merupakan salah satu Negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia setelah Amerika dan India. dengan jumlah total penduduk lebih dari 278,69 juta jiwa di pertengahan tahun 2023 angka itu naik 1,05% dari tahun sebelumnya. pertengahan tahun 2022, jumlah penduduk Indonesia berada pada angka 275,77 juta jiwa.
Dengan melihat fakta diatas, Indonesia dengan jumlah penduduk yang begitu besar dan wilayah yang begitu luas, menandakan Indonesia memiliki kompleksitas problemNya tersendiri, makanya tak-hayal bila Rakyat selalu mengharapkan-merindukan sosok pemimpin yang Ideal, dalam hal ini Pemimpin Yang memiliki Ketegasan- kberanian, cerdas, Intelektual Memiliki tindakan2 Visioner tidak berkompromi dengan berbagai macam bentuk kejahatan yang merugikan Negara maupun rakyatnya. mampu membaca kondisi Negara secara nasional maupun internasional, lebih-lebih lagi mampu memetakan persoalan bangsa yang carut marut ini. pada fondasi bernegara sesuai dengan yang diamanatkan oleh konstitusi kita.
Yang menjadi pertanyaannya Adalah seberapa kokoh ka, Demokrasi di Indonesia.?ini pertanyaan kritis, sekaligus menggambarkan kegalauan kita menyaksikan arus perkembangan politik yang tidak mencerminkan peningkatan kualitas. sekalipun penyelenggaraan demokrasi secara formal prosedural dapat di golongkan lancar, damai, bahkan kian “mapan”. akan tetapi, proses dan capaian perubahan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Corak reformasi politik makin kabur dikacaukan dengan banyaknya kasus korupsi kegaduhan manuver politik yang dangkal, serta sejumlah keculasan menandai sengketa kuasa yang menyertai hingar-bingar demokrasi. disitulah muncul gejala, mungkin bisa disebut jalan kotor, bahwa demokrasi Indonesia terasah goyah.
Jika demokrasi itu diibaratkan rumah, atau bangunan maka pilar penyanggahnya adalah parpol, kebebasan sipil, serta penegakan hukum. karna itu kondisi dan kualitas pilar menjadi faktor penentu, apakah bangunan Demokrasi akan kokoh dan kuat atau, sebaliknya rentan dan berpotensi roboh. dari refleksi atas perjalan sejauh ini menunjukan, ketiga pilar itu mengalami proses perapuhan yang sangat serius.
Pilar pertama, soal peran partai politik misalnya. sebagai kekuatan penting penyangga bangunan demokrasi, hari demi hari makin digerus rayap-rayap yang membuat lapuk dan keropos sehingga mudah hancur. organisasi penghimpun kekuasaan bernama parpol masih dihinggapi problem feodalisme, atau oligarki yang membuat tidak berkembangnya demokrasi.
Parpol makin di rusaki oleh aktor-aktor politisinya yang terjerat skandal korupsi- kekuasaan demi biayaa politik dan memperkaya diri sendiri, akibatnya parpol diidentikan dengan keculasan, justeru karena ulah politisi tersebut. karenanya perlu di reformasi serta dikuatkan untuk menumbuhkan derajat legitimasi dan “trust” dari masyarakat.
Sementara itu pilar kedua menyangkut kebebasan sipil. ukuran penting suatu demokrasi bekerja adalah ketersedian ruang bagi masyarakat atau warga negara dalam mengartikulasikan pendapat dan pikiran, mengorganisir diri, serta bertukar atau mengakses Informasi. jika masyarakat sipil dapat tumbu berkembang dan kuat maka akan mampuh mengimbangi Negara dengan elemen-elemen masyarakat politiknya.
Sayangnya, perwujudan kebebasan masyarakat sipil itu terus terganggu. gejala keterancaman itu terus bermunculan yang nampaknya berproses dan bersumber dalam dua kutub selama lima tahun terakhir. pada kutub negara muncul sejumlah regulasi dan instrumen kebijakan yang orientasinya mengekakang masyarkat sipil. sementara pada kutub masyarakat sendiri berlangsung dominasi baru yakni kelompok kuat pada golongan minoritas. ada gejala kecenderungan menebalnya sentimen identitas yang secara sepihak mengambil alih peran negara seolah merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan pengatur.
Akibat dari semua itu, sebagian elemen-elemen masyarakat sipil tidak mendapakan ruang aman dan nyaman disaat mengekspresikan kebebasannya. sebut saja misalnya, peristiwa pembubaran diskusi oleh para milisi, penyerangan tempat ibadah, sengketa antar etnik, atau ragam bentuk konflik identitas lainya. semua itu merupakan contoh-contoh Nyata yang menggambarkan situasi memburuk pada masyarakat sipil.
Kemudian pilar ketiga, penegakan hukum secara normatif, hukum merepresentasikan garis batas dan penghubung dalam tata kelola kekuasaan, baik dari arus bernegara maupun masyarakat. melalui hukum, kekuasaan demokratis itu diabsahkan. Karena itu hukum di percaya sebagai instrumen pokok untuk mengatasi sengketa, agar mencapai keadilan.
Namun pada praktiknya, apa mau dikata, publik tetlalalu muda menunjukan fakta dan praktik-praktik kebobrakan hukum yang justru itu bersumber dari perilaku buruk aparat penegak hukum. Alih-alih menjadi penegak , justru. yang terjadi meruntuhkan hukum itu sendiri. misalnya oknom polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara dimana mereka itu diberikan mandat sebagai penjaga nilai dan kewibawaan hukum malah terjebak dalam mafia kasus berkonspirasi dengan elit ekonomi maupun politik.
Cerita-cerita buruk itu berdampak pada rusaknya demokrasi Indonesia. kelangsungan peristiwa yang menandai digerogitinya sendi-sendi hukum oleh aparat itulah yang memunculkan istilah mempercayai hukum berarti merayakan ketidak pastian, atau mendukung kepalsuan. Membayangkan demokrasi Indonesia dengan pilar-pilar rapuh sebagaimana digambarkan diatas, maka wajar saja jika menimbulkan was-was, galau, atau kekawatiran akan masadepan demokrasi.
Bangunan demokrasi begitu rentan, dan bisa sja setiap saat terancam roboh jika di terpah gelombang pasang krisis ekonomi dan politik. Atau peristiwa-peristiwa yang memiliki tekanan yang lebih besar di bandingkan dengan kekuatan bangunan sehingga dapat saja meluluhlantahkan demokrasi Indonesia.
Dan mirisnya seringkali rakyat tidak di libatkan sama sekali dalam hal perumusan kebijakan” padahal sala-satu inti dari demokrasi adalah musyawarah mufakat dalam pengertian bahwa pemerintah harus melibatkan rakyatnya dalam hal permusan suatu kebajikan yang melahirkan keputusan yang nantinya itu berdampak pada kehidup rakyat secara luas “disinilah satu dari sekian banyak tumpuan problemnya”. yang kita hadapi hari-hari ini dalam indeks Demokrasi Dunia yang dirilis tahun 2021 Indonesia masih dinilai lemah.
The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam laporan indeks demokrasi dunia terbaru. menurut laporan tersebut negara, dengan indeks demokrasi tertingi 2021 adalah Norwegia sebagai juara demokrasi dua kali berturut-turut Karena tahun lalu Norwegia memperoleh gelar serupa.
10 Negara dengan indeks demokrasi tertinggi dunia 2021, yaitu 1. Norwegia: Skor 9,75, 2. Selandia Baru: skor 9,37, 3. Finlandia: skor 9,27. 4. Swedia: skor 9,26, 5. Islandia: Skor 9,18, 6. Denmark: Skor 9,09, 7. Irlandia: skor 9, 8. Taiwan: skor 8,99, 9. Australia: skor: 8,9, 10. Swis: skor 8,9.
EIU mengklasifikasikan Negara-negara kedalam empat kategori rezim, yaitu demokrasi penuh (Full democracy), demokrasi cacat (flawed domocracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian)
Negara-Negara dengan skor tertinggi yang disebutkan diatas dikelompokan sebagai Negara demokarsi penuh (Full democracy) yakni negara dengan sistem kontrol pemerintahan yang baik, sistem peradilan dan penegakkan hukum yang baik, kinerja pemerintah baik, serta media massa yang beragam dan independen.
Demokrasi Indonesia ‘cacat’, berada dalam peringkat ke-52 dunia dalam Indeks EIU Indonesia berada pada peringkat ke-52 Dunia dengan skor 6,71. EIU juga mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat (Flawed democracy).
Menurut EIU, Negara dengan demokrasi yang cacat umumnya sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil dasar. Namun Negara dengan kelompok demokrasi yang cacat seperti Indonesia ini umumnya masih memiliki masalah yang sangat fundamental seperti rendanya kebebasan pers, budaya politik yang anti kritik, partisipasi politik wargah yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal. Meski masih tergolong ‘cacat’, indeks demokrasi Indonesia sudah naik 12 peringkat dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-64 dunia.
Indeks Demokrasi The Economist Intelligence Unit (EIU) di hitung berdasarkan lima indikator, yaitu proses demokrasi dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.
Indeks ini berupaya memberikan gambaran pada keadaan demokrasi di 165 negara, yang mencapai hampir seluruh populasi global dan sebagian besar negara bagian di dunia, dan sekarang bagaimana kita harus memikirkan solusinya, paling tidak solusi yang harus di lakukan adalah bagaiman menghadirkan corak bernegara yang mampu menjamin sistem pemerintahan yang akuntabel dan responsif, perlindungan hak-hak warga negara dari negara, serta penegakan hukum secara ketat jangan melunak demi mewujudkan keadilan secara nyata.
Oleh karena itulah, tantangan terbesar mencegah robohnya demokrasi bagaiman memperbaiki dan memperkuat kembali pilar-pilar itu sesuai dengan prinsip demokrasi yang benar, diatas fondasi keindonesiaan dalam hal mereformasi organisasi mesin kekuasaan yang bernama Parpol agar kembali ke jalan yang benar, sebegitu besarnya otoritas atau kuasa partai politik yang di genggamnya didalam mengoperasikan kewenangganya tentu harus diimbangi dengan komitmen membangun etika berpolitik, kemampuan organisasi dalam mencetak pemimpin serta keterampilan mengelola aspirasi rakyat menjadi kebijakan. tujuannya agar parpol sebagai pilar demokrasi kompatibel dengan tugas dan fungsinya menjalankan sistem bernegara.
Sementara pada sisi lain upaya sadar yang harus dilakukan iyalah, pendidikan politik harus di perkuat guna memberikan pencerahan dan pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlementaris sangat di perlukan sebagai strategi peyeimbang parpol. masyarakat yang cerdas dan berdaya guna jangan di anggap sebagai ancaman parpol. tapi perlu di baca sebagai partner atau bagian dari kontestasi perebutan pengaruh, bahkan warga negara yang kritis dapat di olah sebagai daya dorong parpol untuk semakin kompetitif, dan berbenah diri.
Jikalau kita memiliki parpol yang kredibel dalam membentuk struktur parlemen, masyarakat yang kritis membentuk struktur pemerintahan, maka akan menghasilkan hukum yakni regulasi, produk perundang-undangan serta kebijakan yang akuntabel sebagaimana di kerangkai dalam sistem demokrasi.
Harapan besarnya, melalui momentum sakral lima tahunan ini, dengan adanya proses pergantian kepemimpinan yang akan datang. memberikan dampak positif, angin segar, kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memanata ulang cara kita bernegara dalam hal memperbaiki kembali sistim demokrasi yang kian hari makin memburuk, sebagai generasi muda tentunya Kita harus optimis bahwa semua ini masih berpotensi untuk di tata kembali selama kita mau mengubah itu secara bersama-sama
“jika semua ini sudah dilakukan dan di tata dengan baik maka, masa depan demokrasi politik Indonesia akan tercerahkan dan kita semua akan merayakan kejayaan demokrasi Indonesia secara bersama-sama.”(***)