HARIANHALMAHERA.COM– Di sebuah Desa kecil bernama Kali Upa, Kecamatan Tobelo Tengah, singkong dulunya hanya dianggap sebagai makanan pengganjal lapar. Harganya murah, sekitar Rp 5.000 per kilogram, bahkan sering hanya direbus untuk konsumsi sehari-hari. Namun kini, singkong telah menjelma menjadi produk bernilai ekonomi tinggi: sagu lempeng, camilan khas dengan empat varian rasa yang mulai dikenal luas.
Perubahan ini bukan datang begitu saja. Melalui program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) yang di danai oleh Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti & Sainstek), Tim PKM yang merupakan dosen dan mahasiswa Universitas Halmahera (Uniera) Tobelo selaku ketua adalagh Dr. Alfred Labi S.E.,M.Si, Akt dan beberapa anggota diantaranya Margaretha Tabita Tuny, S.Si.,M.Sc, Dominggus Isak Bitja, S.Pd.,M.AP, Dr. Ebedly Lewerissa, S.Hut,M.Sc, Kezia Wenno dan Davidson Corneles Nusa, hadir untuk mendampingi warga desa. Fokus mereka sederhana tapi berdampak besar: meningkatkan nilai tambah singkong dan memberdayakan masyarakat desa, terutama kaum perempuan.
Perempuan Desa jadi Motor Penggerak
Kelompok ibu rumah tangga menjadi aktor utama program ini. Mereka tidak hanya diajari resep baru, tetapi juga keterampilan mengelola usaha. “Kami sangat senang bisa belajar membuat sagu lempeng. Dulu singkong hanya direbus, sekarang bisa dijual dengan harga lebih baik,” tutur ibu Dortea Sohe ketua kelompok ibu rumah tangga, dengan wajah penuh semangat. Program ini memberikan Solusi buat ibu-ibu pengrajin yakni diterimanya bantuan forna sebagai alat bantu masaknya sagu lempeng guna meningkatkan produktivitas.
Program ini juga memperkenalkan teknologi sederhana berupa oven pengering. Alat ini terbukti ampuh memangkas waktu produksi: dari pengeringan tradisional selama dua hari menjadi hanya 3–5 jam. Dengan cara ini, produksi meningkat hingga 40 persen dan kualitas produk lebih terjaga.
Dari Dapur ke Media Sosial
Tidak berhenti di dapur, ibu-ibu Desa Kali Upa juga mendapat pelatihan manajemen usaha. Mereka belajar mencatat biaya produksi, menentukan harga jual, dan membuat kemasan yang lebih menarik. Produk sagu lempeng kini dijual Rp 25.000 per kemasan, jauh lebih tinggi dibandingkan singkong mentah.
Yang lebih menarik, warga juga diajarkan memanfaatkan media sosial untuk promosi. Facebook, WhatsApp, dan Instagram kini menjadi “etalesa digital” bagi sagu lempeng Desa Kali Upa. “Awalnya kami ragu, tapi ternyata banyak orang luar desa yang tertarik pesan lewat WhatsApp. Rasanya seperti punya toko online sendiri,” kata Ibu Dortea yang biasa di sapa Ibu Amu.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Manfaat program ini langsung terasa. Dalam sebulan, produksi bisa mencapai 50–60 kemasan. Pendapatan tambahan pun masuk ke kas keluarga, membantu kebutuhan sekolah anak-anak dan kebutuhan rumah tangga. Tidak hanya itu, semangat warga untuk menjaga identitas pangan lokal semakin kuat.
Menurut tim pelaksana PKM, program ini bukan sekadar mengajarkan resep atau alat baru, tetapi membangun keberdayaan masyarakat. “Kami ingin masyarakat percaya diri dengan produk lokal mereka. Kalau singkong bisa diolah dengan baik, maka ia bukan lagi makanan kelas dua, melainkan kebanggaan daerah,”ujar salah satu dosen pendamping yaitu Ibu Margaretha Tabita Tuny, S.Si.,M.Sc.
Harapan untuk Masa Depan
Kedepan, warga Desa Kali Upa berharap sagu lempeng bisa masuk ke pasar yang lebih luas, bahkan menjadi oleh-oleh khas Halmahera Utara. Pemerintah desa pun mulai mendukung dengan rencana pembentukan kelompok usaha bersama agar produksi bisa lebih terorganisir.
Kisah Desa Kali Upa membuktikan satu hal: ketika pangan lokal diberi sentuhan inovasi, ia bisa menjadi jalan menuju kesejahteraan. Dari singkong dengan nama lokalnya Adalah Kasbi yang dulu dianggap sederhana, kini lahir sagu lempeng varian rasa yang menjadi simbol kebanggaan sekaligus sumber penghasilan baru bagi masyarakat.(rif)